Mohon tunggu...
Miftachul Khawaji
Miftachul Khawaji Mohon Tunggu... Seniman - Guru

Tukang gambar dan kadang suka nulis.. 👨‍🎓Islamic History and Civilization 2016

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Syekh Ihsan Jampes dan Irsyadul Ikhwan: Toleransi dan Moderasi di Tengah Kontroversi Rokok

23 Mei 2023   07:43 Diperbarui: 23 Mei 2023   08:16 953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Biografi Singkat Syekh Ihsan Jampes

Syekh Ihsan Jampes merupakan salah satu ulama yang cukup berpengaruh dalam penyebaran ajaran Islam di wilayah Nusantara pada abad ke-20 Masehi. Meskipun terkenal pendiam dan tidak suka publikasi, ulama asal Kediri ini merupakan ulama Nusantara bertaraf internasional yang memiliki banyak karya dalam berbagai fan keilmuan. Salah satu karangan beliau yang cukup terkenal adalah kitab Sirajut Thalibin yang merupakan syarah dari kitab Minhajul Abidin karya Imam al-Ghazali. Kitab karya Syekh Ihsan ini menjadi salah satu bacaan wajib bagi para mahasiswa Universitas al-Azhar yang ingin mendalami pemikiran tasawuf Imam al-Ghazali.

Syekh Ihsan lahir pada tahun 1901 M dari pasangan KH. Muhammad Dahlan dan Nyai Artimah di sebuah desa bernama Putih, Kecamatan Gampeng Rejo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Jika garis keturunannya ditelusuri ke atas, dari jalur kakek, yaitu Kyai Shaleh, merupakan keturunan seorang Sultan di daerah Kuningan (Jawa Barat) yang memiliki nasab sampai ke Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sedangkan nenek beliau, Nyai Istianah, dari jalur ayah masih memiliki garis keturunan dari Panembahan Senopati sang pendiri Kerajaan Mataram Islam, dan dari jalur ibu, Nyai Istianah masih keturunan dari seorang kiai kharismatik dari Ponorogo, yaitu Kiai Hasan Besari, pengasuh Pondok Pesantren Tegalsari yang memiliki nasab sampai ke Raden Rahmat atau biasa dikenal dengan Sunan Ampel.

Terlahir dari trah yang kental dengan aroma pesantren, masa kecil Syekh Ihsan bisa disebut unik dan berbeda dengan kebiasaan kaum santri pada umumnya. Meskipun tetap melakukan ngaji sorogan kepada ayahnya, Syekh Ihsan kecil yang dipanggil Bakri ini terkenal nakal. Di antara kebiasaannya yaitu sering menonton pertunjukan wayang dan juga gemar melakukan judi. Tentunya sebuah kebiasaan yang dianggap tabu di dunia pesantren. Meskipun demikian, kebiasaan Bakri ini tidak semuanya bernilai buruk. Terbukti ketika Bakri dapat membaca karakter-karakter manusia dengan mendalami perwatakan dari tokoh wayang yang dipelajarinya. Hal inilah yang memudahkannya dalam mendalami dunia tasawuf, dimana dunia tasawuf tidak lepas dari karakter dan thabiat-thabiat nafsu, yang semua itu tidak lepas dari sifat-sifat dasar manusia. Selain itu, dalam hal berjudi Bakri hanya mau berjudi dengan bandar yang kaya raya, dan tak pernah ikut menikmati hasil taruhannya ketika ia memenangkan perjudian itu. 

 Akan tetapi, perbuatan judi dan menonton wayang tetap saja merupakan perbuatan yang dinilai buruk, terutama di kalangan pesantren. Hal inilah yang membuat geram sang nenek, hingga pada suatu hari diajaklah Bakri berziarah ke makam kakek buyutnya di daerah Pacitan, yang mana semenjak saat itu kehidupan Bakri berubah drastis. Ia memutuskan untuk meninggalkan kebiasaan buruknya, untuk kemudian memperdalam wawasan keilmuan di bidang agama.

Dorongan kuat untuk mengembara mencari ilmu pun muncul, hingga akhirnya Syekh Ihsan memutuskan untuk menimba ilmu di beberapa pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di antaranya yaitu Pesantren Jamsaren Solo, Pesantren KH. Dahlan Semarang, Pesantren Mangkang Semarang, Pesantren Punduh Magelang , Pesantren Gondanglegi Nganjuk, dan Pesantren Bangkalan Madura di bawah asuhan mahaguru ulama Nusantara kala itu, Syekh Kholil bin Abdul Latif Bangkalan.

Tekad dan perjuangan Syekh Ihsan dalam menuntut ilmu membawa hasil yang tidak mengecewakan. Ia sukses menjadi seorang alim yang tidak hanya terkenal di Jawa, namanya begitu masyhur dan berkibar di seluruh penjuru dunia Islam melalui karyanya yang paling fenomenal, Sirajut Thalibin. Kitab yang menjadi referensi mancanegara ini menarik perhatian Raja Faruk, penguasa Mesir kala itu, sehingga ia mengutus seorang bawahannya ke Dusun Jampes hanya untuk menyampaikan keinginannya agar Syekh Ihsan bersedia mengajar di Universitas Al-Azhar. Meskipun keinginan dari Raja Faruk tersebut tidak dapat dipenuhi oleh Syekh Ihsan dengan alasan masih ingin mengabdikan dirinya di tanah kelahirannya melalui pendidikan Islam di Pesantren yang dipimpinnya.

Sekilas Tentang Kitab Irsyadul Ikhwan

Semenjak muda, Syekh Ihsan terkenal gemar membaca. Baginya, tiada hari tanpa membaca. Bermacam-macam buku dan karangan ia baca, baik yang berbahasa Arab maupun Indonesia. Seiring dengan kegemarannya membaca, tumbuh pula hobi menulis, sehingga hari-harinya di samping mengajar di pesantren selalu diisi dengan kegiatan membaca dan menulis.

Apa yang ditulis merupakan cerminan dari apa yang telah dibaca. Begitulah yang dikatakan oleh banyak orang. Hal ini pula yang berlaku pada Syekh Ihsan. Ulama besar yang memiliki minat baca tinggi ini merupakan seorang penulis yang memiliki banyak karya dari berbagai macam cabang keilmuan. Dari yang bertema tasawuf, astronomi, tafsir, fikih, sastra, dan berbagai cabang keilmuan lainnya. 

Tidak diragukan lagi, salah satu karya Syekh Ihsan yang paling fenomenal adalah kitab Sirajut Thalibin yang merupakan syarah dari kitab Minhajul Abidin karya Imam al-Ghazali. Di samping itu, ada pula karangan beliau yang cukup menarik untuk dikaji, yaitu kitab Irsyadul Ikhwan li bayani syurbil qohwah wad dukhan.

Kitab Irsyadul Ikhwan ini merupakan sebuah kitab yang mengupas tentang kopi dan rokok ditinjau dari segi hukum Islam. Ada dua kemungkinan alasan Syekh Ihsan menulis kitab ini. Pertama, kopi dan rokok memang sering dijadikan teman setia para santri ketika belajar maupun berdiskusi. Selain itu, kopi dan rokok juga merupakan teman setia Syekh Ihsan tatkala beliau asyik membaca dan menulis karya-karyanya di malam hari. Kedua, di daerah Kediri dan sekitarnya kala itu ada beberapa pabrik kopi dan rokok. Yang paling besar adalah pabrik rokok Gudang Garam. Dapat dikatakan, bahwa kitab Irsyadul Ikhwan ini ditulis sebagai wujud kepekaan Syekh Ihsan Jampes terhadap keadaan sosial di sekitarnya.

Sebagaimana tradisi intelektual pesantren pada umumnya, banyak kitab maupun risalah yang ditulis berdasarkan setting sosial maupun budaya di sekitar lingkungan pesantren, dimana dalam hal ini pesantren sering disebut sebagai pusat jaringan intelektual sekaligus pusat transmisi Islam di Nusantara.

Kitab ini sejatinya merupakan adaptasi puitik dari kitab Tadzkiratul Ikhwan fi Bayanil Qahwah wad Dukhan karangan KH. Ahmad Dahlan Semarang, yang kemudian disusun menjadi bait-bait syair yang diberi penjelasan. Hal inilah yang menunjukkan salah satu kelebihan Syekh Ihsan dalan dunia sastra, dimana dengan syair-syair indah ini, isi dan maksud dari risalah tersebut dapat lebih mudah dinikmati oleh pembacanya.

Tidak terlalu tebal, hanya berisikan empat bab, dan tidak lebih dari 50 halaman. Di balik kesederhanaannya ini, Syekh Ihsan mampu menuangkan gagasan-gagasannya yang bernilai sastra tinggi juga terkandung nilai-nilai yang menarik untuk dijadikan bahan kajian di era ini. Kitab ini memuat seluk beluk kopi dan rokok, mulai dari sejarah, polemik, hingga hukum mengkonsumsinya dari sudut pandang fikih.

Kitab Irsyadul Ikhwan
Kitab Irsyadul Ikhwan


Nilai Moderasi dan Toleransi dalam Kitab Irsyadul Ikhwan

Menjadi seorang intelektual tentunya berbeda daripada sekedar menjadi manusia awam. Seorang awam cenderung hanya melihat pada kepentingan sesaat, maka tidak demikian halnya dengan seorang intelektual. Kaum intelektual dituntut untuk memiliki pemikiran yang visioner dan luas. Ia tidak boleh gegabah dalam melihat segala sasuatu, serta harus mampu mencari manfaat-manfaat yang lebih besar atas suatu hal yang ada di sekitarnya. Karena salah satu tugas kaum intelektual adalah menggunakan ilmunya untuk kemaslahatan yang besar, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk kehidupan di sekitarnya.

Agar dapat mewujudkan tujuan dari ilmu tersebut, maka seorang intelektual diharuskan dapat hidup menyatu dengan masyarakat, dapat membaca keadaan di sekitarnya, serta dapat memberi solusi terhadap suatu permasalahan yang ada. Hal inilah yang dilakukan oleh Syekh Ihsan dalam penulisan kitab Irsyadul Ikhwan ini, dimana kopi dan rokok tidak dapat dilepaskan dari tradisi yang sangat kental di sekitar tempat tinggal beliau.

Tradisi minum kopi yang biasanya juga ditemani rokok ini memang merupakan kebiasaan yang sudah mengakar di daerah sekitaran Jawa Timur seperti Kediri, Nganjuk, Tulungagung dan Blitar. Terutama di kawasan pesantren, dimana tradisi ngopi merupakan suatu hal yang sudah sangat akrab dijumpai di antara kebiasaan para santri. Ditambah dengan banyak dijumpainya pabrik-pabrik rokok di sekitarnya.

Dalam sebuah kesempatan, Syekh Ihsan pernah duduk dalam satu majlis dengan seorang kiai yang berpandangan ekstrim terhadap kopi dan rokok. Kiai tersebut berpandangan bahwa kopi dan rokok adalah sesuatu yang haram. Bahkan, dalam majlis itu Syekh Ihsan mendapat kritikan pedas atas kebiasaannya minum kopi dan merokok tersebut. Menanggapi pendapat tajam ini, Syekh Ihsan hanya tersenyum seakan tiada beban. Akan tetapi, ketika kesempatan telah memungkinkan, Syekh Ihsan menuangkan pandangannya mengenai kopi dan rokok dalam sebuah risalah yang berjudul Irsyadul Ikhwan. Dalam hal ini, Syekh Ihsan hendak menunjukkan bahwa perang sehat antara ulama yaitu melalui pertarungan sebuah karya secara ilmiah, bukan hanya berkoar-koar dan debat kusir belaka.

Sebuah risalah yang berbentuk syair ini diawali dengan sebuah muqaddimah yang memuat intisari dari sebuah hadits yang diriwatkan oleh Baihaqi yang artinya: "Perselisihan di antara umatku adalah rahmat."

Perdebatan mengenai rokok dan kopi memang telah dimulai sejak awal sejarah kemunculan keduanya, baik ketika bersentuhan dengan peradaban Eropa maupun ketika bertemu dengan Peradaban Islam. Dalam sejarah Islam sendiri, perselisihan pendapat tidak hanya terjadi dalam hal kopi dan rokok, hampir di semua aspek kehidupan yang tidak ada dalil qath'inya bisa dipastikan terjadi perbedaan pendapat. Dan hal tersebut sudah ada sejak awal kemunculan Islam itu sendiri, karena pada dasarnya perbedaan adalah sunnatullah yang tidak mungkin dapat dihindari, yang mana jika kita sadari, pahami dan sikapi dengan tepat dan bijak, justru akan menjadi rahmat bagi kaum muslim sebagai bagian dari kekayaan khazanah Islam.

Dalam banyak tulisan disebutkan bahwa perselisihan dalam hal furu' bukanlah suatu hal yang berbahaya jika disikapi dengan bijaksana, bahkan dari perbedaan ini dapat muncul inovasi-inovasi terbaru yang dapat menimbulkan suatu kemajuan. Berbeda keadaannya jika perbedaan dalam hal furu' tadi ditanggapi dengan penuh fanatisme bahwa pendapat kelompoknya lah yang paling benar, sembari menyalahkan kelompok lainnya tanpa dapat membedakan apa itu furu' dan apa itu ushul. Hal ini sangat berbahaya, karena perbuatan seperrti itulah yang menjadi salah satu sumber perpecahan umat Islam yang dapat melemahkan keberadaan Islam itu sendiri. 

Dengan dimuatnya sebuah hadits tentang perbedaan adalah rahmat di awal muqaddimah kitab ini, dapat diketahui bahwasannya Syekh Ihsan ingin menegaskan kembali mengenai perbedaan pandangan dalam urusan kopi dan rokok merupakan suatu hal lumrah yang seharusnya disikapi dengan bijak tanpa mengedepankan ego dan fanatisme yang membabi buta, sehingga dapat dimunculkan sikap toleran terhadap kelompok-kelompok yang memiliki pandangan yang berbeda.

Dari muqaddimah ini pula kita diingatkan bahwasannya tidak semua perbedaan itu buruk. Sebuah perbedaan bisa bernilai kebaikan maupun sebaliknya, tergantung dari sebab yang menimbulkan perbedaan, akibat yang terjadi, serta bagaimana perbedaan itu disikapi.

Pada bab pertama, Syekh Ihsan menuliskan secara singkat mengenai sejarah maupun manfaat dari kopi dan rokok beserta polemik-polemiknya. Dalam bab ini digambarkan secara singkat bahwa hukum kopi dan rokok telah menjadi perselisihan ulama dari masa-masa awal kemunculannya. Hanya saja, perselisihan tentang rokok lebih mengemuka dibandingkan dengan polemik mengenai kopi. Namun, pada akhirnya para ulama mutaakhirin menyerah dan menyatakan mauquf, alias tidak dipastikan halal-haramnya. Mengenai kelanjutan perselisihan pendapat mengenai rokok dijelaskan lebih luas dalam pembahasan di dua bab selanjutnya, sedangkan dalam bab pertama ini lebih difokuskan dalam permasalahan kopi.

Dalam menanggapi permasalahan kopi maupun rokok, Syekh Ihsan tidak tergesa-gesa menghukumi keduanya hanya dengan melihat satu sudut pandang saja. Terlebih dahulu beliau mengemukakan pendapat-pendapat ulama terdahulu, baik dari pihak yang pro maupun kontra disertai dengan hujjah-hujjahnya. Sehingga secara tidak langsung, Syekh Ihsan mencoba membawa para pembacanya agar berpikiran mengenai suatu permasalahan secara menyeluruh. 

Dalam keterangannya juga memuat manfaat-manfaat maupun madharat-madharat yang mungkin dapat ditimbulkan oleh keduanya, sehingga dengan ini para pembaca disuguhkan suatu hal yang dapat disesuaikan mana yang lebih cocok dengan keadaannya masing-masing. Sebagai contoh, kopi memiliki manfaat untuk membangkitkan kekuatan otak dan meningkatkan kerja pikiran, sehingga sangat cocok bagi para seniman, budayawan, maupun pemikir. Di lain sisi, kopi berbahaya bagi mereka yang mengidap penyakit empedu, darah tinggi, dan penyakit kuning. Sehingga orang-orang dengan riwayat penyakit seperti yang disebutkan di atas tidak disarankan untuk mengkonsumsi kopi.

Dalam konteks hukum merokok dan minum kopi ini, Syekh Ihsan menggunakan kaedah fiqhiyah "li al-wasailiyah yu'thi laha hukm al-maqashidiyah", yaitu setiap perantara memiliki hukum yang sama dengan tujuan. Dalam arti, hukum minum kopi dan merokok tergantung pada tujuannya. Jika keduanya dilakukan sebagai sarana ibadah, maka hukumnya akan dinilai sebagai ibadah. Jika untuk sesuatu yang haram maka hukumnya haram, dan seterusnya.

Dengan digambarkannya berbagai manfaat maupun madharat dari kopi dan rokok yang disertai dengan hujjah-hujjahnya, kitab ini layak dijadikan pegangan bagi para pecandu kopi maupun rokok, bahwa apa yang dilakukan sesuai seleranya tersebut memiliki landasan hukum. Serta dapat pula dijadikan pedoman bagi mereka yang kurang berselera dengan kedua hal tersebut agar tidak mudah menyalahkan pihak yang berbeda pendapat dengan yang dianutnya. Karena pada dasarnya, muara perbedaan pendapat mengenai hukum meminum kopi maupun merokok ini berdasarkan dari bagaimana menyikapi persoalan kemanfaatan dan kemudharatannya.

Syekh Ihsan pada dasarnya menghukumi makruh terhadap polemik rokok. Syekh Ihsan dalam hal ini kembali mengambil sikap moderat, yakni mengambil sikap yang hati-hati dengan menyesuaikan konteks terhadap siapa yang melakukannya. Diharapkan para pembaca risalah Irsyadul Ikhwan ini dapat menyimpulkan hukumnya sesuai dengan keadaanya masing-masing tanpa menyalahkan pihak yang berbeda pendapat, karena telah dipaparkan berbagai macam manfaat maupun madharat dari masing-masingnya. Sehingga dalam kasus hukum merokok dan minum kopi ini, Syekh Ihsan tidak terkesan menggurui pihak manapun.

Dengan mengambil sikap moderat dan toleran inilah diharapkan umat Islam mampu memperkuat keberadaannya dengan meminimalisir perpecahan-perpecahan yang ditimbulkan oleh perbedaan-perbedaan yang ada. Karena untuk dapat bersatu tidak harus menjadi satu, namun dapat menjalin kerjasama dan ukhuwah di semua wilayah. Kerjasama ini selain lebih terlihat menyejukkan, sekaligus dapat menguatkan kekuatan umat Islam yang memang masih terpuruk di mata negara-negara non-Islam.

Kontribusi Syekh Ihsan yang dituliskan dalam kitab Irsyadul Ikhwan ini nampaknya sangat berpengaruh bagi keadaan sosio-kultural masyarakat setempat. Mengingat Syekh Ihsan hidup dalam kultur masyarakat yang beragam disertai banyaknya petani tembakau dan pabrik rokok. Dengan mengambil sikap moderat ini, dirasakan fatwa akan lebih menyejukkan bagi masyarakat, sebab mereka tidak disuguhkan pada satu pendapat, serta tidak terkesan memaksakan.

Sikap moderat yang diambil Syekh Ihsan ini selain dapat melestarikan tradisi intelektual pesantren melalui karyanya yang termuat dalam kitab kuning, sekaligus menegaskan bahwasannya kaum intelektual harus mampu memberikan solusi alternatif yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang ada di sekitarnya dengan cara yang menyejukkan. Dengan ini, tujuan perdamaian pun dapat dicapai dengan mudah, karena gesekan-gesekan antara dua kutub yang berseberangan telah diminimalisir. Begitulah sebenarnya tujuan dari ide dasar moderasi, yakni mencari persamaan yang ada dan bukan justru mempertajam perbedaan. Karena keberagaman dalam beragama adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihilangkan.

Bab terakhir dalam kitab Irsyadul Ikhwan ini menjelaskan beberapa permasalahan fikih yang ada kaitannya dengan rokok, seperti dalam hal bersuci, puasa, dan lain sebagainya.

Sebagaimana yang telah dijelaskan di bab sebelumnya, hukum merokok bersifat dinamis, dapat berubah sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu, sebagaimana ilmu fikih dan ijtihad itu sendiri yang bersifat dinamis dan selalu mengiringi dinamika kehidupan. Sebagai contoh yaitu hukum merokok di dalam masjid. Ada sebagian ulama yang mengharamkan merokok di dalam masjid. Ada pula yang mengatakan bahwa keharaman merokok di dalam masjid tidaklah mutlak. Dijelaskan dalam kitab Irsyadul Ikhwan ini bahwa hukum haram ini baru berlaku jika merokok di sana dapat menimbulkan orang lain sakit hati ataupun dapat mengotori masjid. Jadi, selagi kedua hal tersebut dapat dihindari maka tidak masalah merokok di dalam masjid. Akan tetapi, menjaga diri untuk tidak merokok di dalam masjid tentunya lebih baik meskipun dapat menjaga dari dua perkara di atas, karena merokok di masjid dinilai kurang menghormati keberadaan masjid sebagai tempat beribadah.

Dalam salah satu contoh di atas, sekali lagi Syekh Ihsan memaparkan pendapat-pendapat dari dua sudut pandang sekaligus, disertai dengan alasan rasional dalam menghukuminya. Hal ini tentunya mengarahkan para pembacanya agar bersikap hati-hati dalam melangkah. Dengan ini juga Syekh Ihsan mampu menggambarkan bahwa perselisihan pendapat yang ada bukan sekedar perbedaan yang kosong, melainkan perbedaan yang timbul atas sebuah pilihan berdasarkan ilmu pengetahuan. Perbedaan yang dilandasi pengetahuan tersebut diharapkan mampu memunculkan sikap toleransi, saling menghormati dan menghargai, sehingga perbedaan menjadi rahmatan lil 'alamin yang tentunya dapat menumbuhkan perdamaian dan kedamaian di semua pihak. Baik dari lingkup terkecil, yaitu kedamaian dalam diri sendiri, hingga lingkup paling luas, yaitu kedamaian dunia.

Dengan ini juga, Syekh Ihsan secara tidak langsung mengantarkan kita pada suatu pemahaman bahwa hukum Islam secara umum (tidak hanya permasalahan kopi dan rokok) sebenarnya bukanlah sesuatu yang kaku, melainkan fleksibel, situasional, kondisional, dan penuh toleransi. Maka tak salah jika menyebut kitab Irsyadul Ikhwan ini sebagai sumber inspirasi, moderasi dan toleransi di tengah kontroversi. 

Rokok dan Kopi di antara Para Tokoh Besar

Berbicara mengenai kopi dan rokok, maka tak lengkap rasanya jika tidak mengaitkannya dengan beberapa tokoh besar dunia yang memiliki kedekatan dengan kedua benda tersebut.

Salah satu tokoh besar yang terkenal memiliki kebiasaan minum kopi dan merokok yaitu presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno. Salah satu quote yang dari Bung Karno mengenai kopi dan rokok misalnya, "Aku lebih senang dengan pemuda yang merokok dan minum kopi sambil diskusi mengenai bangsa ini daripada pemuda kutu buku yang hanya memikirkan diri sendiri".

Bung Karno memiliki kebiasaan minum kopi tubruk pada pagi hari. Bahkan, Bung Karno sampai menjadwalkan minum kopi bersama dengan beberapa rekan dan bawahannya. Tentunya hal ini dilakukan sebagai penghangat diskusi kala itu.

Aroma kopi tubruk yang pekat inilah yang menggelorakan semangat Bung Karno sewaktu muda di Bandung. Di kemudian hari, rasa sedap kopi senantiasa menemaninya sebagai sikap egaliter penyambung lidah rakyat. Bung Karno juga mempercayai bahwa meminum kopi memiliki dampak positif bagi otaknya. Terbukti sampai tuanya pun Bung Karno masih memiliki ingatan yang kuat.

Selain gemar minum kopi, Bung Karno juga dikenal sebagai tokoh yang gemar merokok. Bahkan dalam beberapa tulisan disebutkan bahwa Bung Karno memiliki selera khusus dalam memilih merk rokok.

Kebiasaan merokok Bung Karno ini juga merupakan suatu alat diplomasi tatkala beliau melakukan politik luar negerinya. Di antara kisah yang cukup terkenal yaitu kedekatan Bung Karno dengan Presiden Kuba, Fidel Castro.

Sebagai sesama pemimpin, keduanya memiliki banyak kesamaan karakter dan juga pemikiran. Dalam suatu kunjungan Bung Karno pada tahun 1960, keduanya terlibat dalam diskusi dan percakapan hangat yang tentunya ditemani dengan rokok masing-masing.

Di lain kesempatan, atas saran Fidel Castro, Che Guevara mendatangi Bung Karno ke Indonesia untuk berguru. Tak lupa, Che membawakan cerutu, rokok khas Kuba, sebagai oleh-oleh untuk Bung Karno. Diskusi antar keduanya pun berjalan hangat sambil menikmati cerutu yang dibawakan oleh Che tadi.

Tak hanya Sukarno, Indonesia memiliki tokoh besar lainnya yang memiliki kegemaran merokok. Adalah Agus Salim, tokoh diplomat ulung yang terkenal memiliki kemampuan menguasai banyak bahasa ini pernah dalam suatu kesempatan menggunakan rokok sebagai "alat diplomasi" ketika ia diutus mewakili Bung Karno untuk menghadiri upacara penobatan Ratu Inggris, Elizabeth, tahun 1953.

Dalam acara tersebut, Agus Salim melihat Pangeran Philip agak canggung menghadapi khalayak ramai yang hadir. Ia tampak belum terbiasa menempatkan diri sekedar sebagai pasangan ratu. Karena kecanggungannya tersebut, Pangeran Philip lalai meladeni tamu-tamu asing yang datang jauh-jauh untuk menghormati acara penobatan istrinya. Untuk melepas ketegangan Pangeran Philip, Agus Salim kemudian menghampirinya sambil mengayun-ayunkan rokoknya di sekitar hidung pangeran Philip. Agus Salim kemudian berkata "Paduka, adakah paduka mengenal aroma rokok ini?"

Menanggapi hal tersebut, Sang Pangeran mengaku tidak mengenal aroma rokok itu. Sambil tersenyum, Agus Salim mengatakan "inilah sebabnya 300-400 tahun lalu, bangsa Paduka mengarungi lautan untuk mendatangi negeri kami."

Berkat "alat diplomasi" tersebut, sang Pangeran pun tersenyum dan membuatnya lebih luwes bergerak untuk meladeni tamu-tamunya.

Dari beberapa kisah keterlibatan kopi dan rokok dengan para tokoh besar diatas dapat dipetik hikmah bahwa segala perbedaan dapat menjadi suatu hal yang menimbulkan kebaikan jika disikapi dan digunakan dalam posisi yang tepat dan baik. Dengan menghilangkan perselisihan kecil dalam urusan kopi dan rokok, diharapkan pula dapat menjadikan kita rukun dalam perbedaan pendapat di lain konteks. Dengan itu, upaya mewujudkan perdamaian dunia melalui pesantren akan dapat diwujudkan.

Daftar Pustaka

Bawazir, Tohir. (2015). Jalan Tengah Demokrasi. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Effendi, Sulaiman. (2014). Tokoh-tokoh Dunia yang Mempengaruhi Pemikiran Bung Karno. Yogyakarta: Palapa.

Hadi, Murtdho. (2008). Jejak Spiritual Kiai Jampes. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.

Haqiqi, M. Fitra. (2014). 50 Ulama Agung Nusantara 1. Jombang: Ash-Shofa.

Jampes, Ihsan. (2010). Kitab Kopi dan Rokok. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.

___________. (n.d.). Irsyadul Ikhwan. Kediri: PP. Al-Ihsan.

Kementerian Agama RI. (2019). Moderasi Beragama. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI.

Mastuki HS, dkk. (2006). Intelektualisme Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka.

Mujib, Ahmad. (2012). Bangkitkan Islam Bangkitkan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Penerbit Santri.

Nuh, Abdullah bin. (1965). Uchuwah Islamyah. Jakarta: Yayasan Lembaga Penyelidikan Islam.

Sa'duddin, Ahmad. (2018). Fikih Tembakau. Jakarta: LAKPESDAM PBNU.

Sarwat, Ahmad. (2019). Halal Haram Rokok. Jakarta: Rumah Fiqih Publishing.

Shihab, Umar. (2017). Beda Madzhab Satu Islam. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Solahudin, Muhammad. (2014). 5 Ulama Internasional dari Pesantren. Kediri: Nous Pustaka Utama.

Sularto. (2004). Haji Agus Salim (1884-1954) Tentang Perang Jihad dan Pluralisme. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Tim Forum Kajian Ilmiah AFKAR. (2018). Kritik Ideologi Radikal. Kediri: Lirboyo Press.

Wasesa, Swadesta Arya. (2014). Soekarno: Dipuja Dibunuh dan Dikenang. Yogyakarta: Trans Idea Publishing.

Wasid. (2016). Tasawuf Nusantara Kiai Ihsan Jampes. Surabaya: Pustaka Idea.

Referensi Internet:

https://www.kompasiana.com/amp/ahlanmukhtarisoamole/5c8146186ddcae32502f3d12/egoisme-intelektual-menganalisis-dan-beronanisasi.

Diakses pada Jumat, 11 Oktober 2019 21:00 WIB.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun