Mohon tunggu...
Miftachul Khawaji
Miftachul Khawaji Mohon Tunggu... Seniman - Guru

Tukang gambar dan kadang suka nulis.. 👨‍🎓Islamic History and Civilization 2016

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Filsafat Jawa ala R.M.P. Sosrokartono (Kakak kandung R.A. Kartini & Guru spiritual Ir. Soekarno)

4 Mei 2023   16:10 Diperbarui: 4 Mei 2023   16:14 1235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Di era ini, hampir segala sesuatu terbagi ke dalam dua corak umum, yaitu Barat dan Timur. Baik hal-hal yang berupa pemikiran, gaya hidup, maupun produk-produk kebudayaan lainnya. Dunia filsafat tak luput pula dalam pembagian yang berdasarkan corak-corak tersebut. Filsafat Barat yang diidentikkan dengan sesuatu yang mengedepankan rasionalisme dan empirisme, sedangkan Filsafat Timur yang pada umumnya diidentikan dengan pola pikir yang tidak jauh dengan dunia metafisika. Dalam kaitannya dengan hal ini, Filsafat Jawa dapat dikelompokkan ke dalam corak Timur, dimana pada umumnya Filsafat Jawa sangat erat kaitannya dengan ilmu laku orang Jawa yang tidak dapat dipisahkan dengan dunia spiritualitas yang bertujuan untuk dapat mencapai kesempurnaan hidup.[1]

Dalam dunia Filsafat Jawa sendiri terdapat banyak tokoh yang memiliki pemikiran-pemikiran serta kontribusi yang penting bagi keberlangsungannya. Termasuk diantaranya yaitu Drs. Raden Mas Panji Sosrokartono. Namanya memang tidak terlalu terkenal jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh Filsafat Jawa lainnya. Bahkan, Sosrokartono tidak jauh lebih terkenal dibanding adiknya sendiri, Raden Ajeng Kartini. Padahal, dalam sejarahnya justru Sosrokartono lah yang menjadi mentor sekaligus memiliki peran besar dalam kehidupan adiknya tersebut.

Memiliki nama yang kurang tenar bukan berarti Sosrokartono adalah manusia biasa-biasa saja. Dalam sejarahnya, sosrokartono banyak memiliki andil besar dalam upaya menumbuhkan kesadaran nasionalisme di tengah keadaan di mana Indonesia saat itu masih dijajah oleh Belanda. Bahkan, mahasiswa asal Jawa pertama di Belanda ini dapat disebut sebagai “guru spiritual” bagi bapak proklamator Indonesia, Ir. Soekarno. Tidak hanya itu, kiprahnya di luar negeri juga tidak kalah mengesankan. Dengan kemampuannya menguasai banyak bahasa (polyglot), ia sukses meniti karirnya di luar negeri sebagai penerjemah di Liga Bangsa Bangsa, dan pernah pula menjadi wartawan perang dunia pertama.

Dari kiprahnya di luar negeri tersebut, sebenarnya Sosrokartono dapat hidup mewah dari hasil upah pekerjaannya. Akan tetapi, ia lebih memilih untuk kembali ke tanah air kelahirannya dan menempuh jalan spiritual dengan mengabdikan dirinya untuk kehidupan sosial. Selama menjalani laku spiritualnya inilah lahir ajaran-ajaran yang bernilai tinggi yang masih dapat relevan dengan segala keadaan zaman. Ajaran-ajarannya ini sebagian dituangkan ke dalam kalimat-kalimat singkat berbahasa Jawa yang merupakan refleksi dari nilai-nilai kehidupan yang dijalaninya.

Riwayat Hidup Singkat R.M.P. Sosrokartono

Raden Mas Panji Sosrokartono dilahirkan pada tanggal 10 April 1877, di Mayong, Jepara. Ia terlahir dari keluarga bangsawan yang memiliki keteguhan dalam memegang agama dan tradisi, namun juga berpikir progressif serta cinta ilmu pengetahuan. Ayahnya merupakan Bupati Jepara, Kakeknya dari jalur ayah merupakan seorang bupati Demak, sedangkan kakek dari jalur ibu merupakan seorang pengasuh pesantren di daerah Telukawur, Jepara. Tak heran jika sejak kecil Sosrokartono sudah mendapatkan pendidikan formal maupun agama di sekolah-sekolah bentukan Belanda maupun dengan mendatangkan guru mengaji.

Sosrokartono juga terlahir dengan beberapa kelebihan lain selain dari jalur keturunan. Sejak kecil Sosrokartono sudah memiliki semacam kekuatan magis semacam indigo, ia juga menguasai sekitar 36 bahasa[2], serta cinta akan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Dengan kemampuan dan kelebihannya tersebut, tak heran jika Sosrokartono mampu menjadi orang pertama asal Indonesia yang menjadi mahasiswa di Belanda. Ia juga sempat mendirikan Indische Vereeniging, sebuah benih-benih pergerakan nasional yang dibentuk di pusat negeri penjajah itu. Organisasi ini juga sempat melakukan kontak dengan Budi Utomo di tanah air dalam hal menggaungkan semangat nasionalisme dan kemerdekaan tanah air.

Sosrokartono melalangbuana di dunia Eropa sekitar 28 tahun. Setelah mendapatkan gelar Doktorandus-nya di Leiden, ia sempat meneruskan pendidikannya ke jenjang S2, namun harus terkendala karena perbedaan pemikiran dengan dosennya, Snouck Hurgronje. Akhirnya ia memutuskan untuk tidak melanjutkan studinya dan kemudian bekerja. Ia juga melakukan beberapa korespondensi dengan teman-temanya di Eropa, hal inilah yang kemudian membuat surat-surat Kartini dikompilasikan dan kemudian mampu dikenal luas.

Di Eropa, Sosrokartono sempat menjadi wartawan perang dunia pertama, dimana ia mampu meliput sebuah pertemuan yang sangat rahasia antara Jerman dan Perancis kala itu. Tulisannya tersebut terbit pada hari berikutnya di koran The New York Herald.

Paska perang dunia pertama, dibentuklah Liga Bangsa-Bangsa yang kelak menjadi Perserikatan Bangsa-Bangsa paska berakhirnya perang dunia kedua. Di sanalah Sosrokartono pernah menggunakan kepandaiannya dalam hal bahasa, yaitu sebagai penerjemah di Lembaga Bangsa-Bangsa tersebut. Bahkan kemudian ia diangkat sebagai kepala penerjemah dari beragam bahasa. Akan tetapi, Sosrokartono menjalani pekerjaan di LBB tersebut tidak lama. Meskipun digaji dengan angka yang tinggi, ia merasa kering dan gersang secara spiritualnya, sehingga akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari lembaga tersebut.

Setelah 28 tahun menjelajah Eropa, Sosrokartono memutuskan untuk kembali ke tahan airnya pada tahun 1925, dan kemudian menetap di Bandung. Di Bandung inilah ia mendirikan pusat kesehatan di sebuah kontrakan bernama “Darussalam”. Di kontrakan  Darussalam inilah Sosrokartono mengabdikan dirinya untuk masyarakat luas. Ia dikenal sebagai orang yang mampu mengobati berbagai penyakit hanya dengan menggunakan air dan tulisan Alif. Tak heran jika banyak masyarakat yang berdatangan setiap harinya di kontrakan Darussalam tersebut. Akan tetapi, Sosrokrtono sama sekali tidak bersedia dibayar. Sekalipun ia menerima pemberian dari pasiennya, pasti langsung ia bagikan kepada yang membutuhkan.

Kegiatan pengobatan di Darussalam ini berjalan hingga akhir hayat Sosrokartono. Namanya kala itu dikenal begitu luas, bahkan berulang kali diundang ke Sumatera untuk mengobati orang-orang di sana. Tidak hanya itu, Sosrokartono juga menjalin kontak dengan beberapa tokoh pergerakan, di antaranya yaitu Sukarno, Ki Hajar Dewantoro, dan tokoh-tokoh dari Budi Utomo. Di antara tokoh-tokoh masa pergerakan ini, Sukarno merupakan salah satu tokoh yang menaruh rasa hormat dan kagum yang tinggi terrhadap Sosrokartono. Antara keduanya memang sering terlibat pembicaraan dan diskusi uang seru dan hangat.[3]

Di tengah ketenaran namanya itu, Sosrokartono tidak lantas membanggakan dirinya serta kemampuannya tersebut. Ia justru sering melakukan tirakat dan tidak berkenan jika namanya ditinggi-tinggikan. Sosrokartono juga pernah diajak bekerjasama oleh penjajah dengan ditawari jabatan tinggi, namun ia lebih memilih untuk memegang teguh prinsipnya untuk mengabdi sepenuhnya kepada kemanusiaan.

Setelah sekian lama menjalani laku spiritual dan asketisme yang diwujudkan dalam bentuk mengabdi, melayani dan menolong sesama hingga masa tuanya, Sosrokartono akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya pada 8 Februari 1952 di Darussalam, dan dikebumikan di komplek makam keluarga Sedomukti di Kudus.

Paska meninggalnya Sosrokartono, ajaran-ajarannya dikompilasikan dan disusun oleh para pecintanya yang disebut komunitas Sosrokartanan. Komunitas ini memiliki jsa besar dalam menuliskan gagasan-gagasan Sosrokartono yang kebanyakan hanya berupa tulisan-tulisan singkat dan yang bersumber dari laku yang diajarkan oleh Sosrokartono sendiri. Akan tetapi, komunitas ini tidak bertahan lama. Karena semakin banyak generasi penerus bangsa yang tidak cinta dengan sejarah dan perjuangan bangsanya sendiri, sehingga komunitas ini tidak mampu bertahan karena tidak ada generasi bangsa yang meneruskannya.[4]

Filsafat dan Ajaran R.M.P. Sosrokartono

Pada dasarnya, Sosrokartono selalu menyebut dirinya tidak memiliki ajaran tertentu. Ia pun mengaku bahwa dalam menjalani ilmu lakunya ia tidak memiliki guru dan juga murid[5]. Ajaran-ajaran Sosrokartono yang ada hingga sekarang ini pada dasarnya hanyalah berupa ungkapan dalam bentuk pernyataan-pernyataan singkat dan selebihnya diambil berdasarkan laku dan tindakannya sehari-hari yang mana antara ajaran satu dengan lainnya pada dasarnya memiliki keterikatan. Sosrokartono sendiri tidak menjelaskan secara rinci mengenai ungkapan-ungkapan serta perilaku yang dilakukannya, sehingga tidak sedikit dari ajaran-ajaran Sosrokartono yang ada di masa sekarang ini merupakan hasil dari penafsiran-penafsiran yang bersifat subjektif.[6] 

Berikut ini beberapa ajaran yang disarikan dari ungkapan-ungkapan maupun laku dari Sosrokartono.

1. Mandor Klungsu

Mandor Klungsu merupakan nama samaran yang digunakan oleh Sosrokartono dalam surat bertanggl 12 Mei 1931 yang ditulisnya untuk warga Monosuko ketika dalam kunjungnnya yang pertama ke Sumatera atas undangan Sultan Langkat. Istilah Mandor Klungsu ini memiliki beberapa penafsiran, karena Sosrokartono sendiri tidak menjabarkannya secara rinci.

Kata klungsu berasal dari Bahasa Jawa yang memiliki arti biji buah asam. Biji buah asam ini bentuknya kecil. Akan tetapi, dibalik tampilan luarnya itu, pada hakikatnya terkandung sesuatu yang besar, karena dari biji klungsu yang kecil tersebut dapat tumbuh sebuah pohon asam yang besar, rindang dan kokoh. Pohon asam sendiri memiliki banyak manfaat dan khasiat pada hampir seluruh bagiannya. Sebagai contoh yaitu buah asam sendiri yang biasa digunakan sebagai bahan obat-obatan tradisional yang dapat digunakan untuk mengobati banyak penyakit. Hal ini bisa jadi berkaitan dengan salah satu laku dari Sosrokartono sendiri yang semasa hidupnya mengabdikan diri pada dunia pengobatan. Dari sini dapat dipetik kesimpulan bahwa klungsu yang digunakan oleh Sosrokartono sebagai nama samaran memiliki makna bahwa yang terpenting dalam hidup itu dilihat bukan berdasarkan bentuk fisik maupun status sosial, melainkan seberapa bergunanya seseorang bagi orang lainnya.

Sedangkan kata mandor dapat diartikan pula bahwa orang yang bijak adalah orang yang tetap merasa rendah hati meskipun dengan segala kelebihan yang dimilikinya. Karena pada dasarnya seorang mandor hanya bertugas untuk mengawasi suatu pekerjaan yang dipasrahkan oleh bos atau pemilik proyek. Sebagaimana yang dilakukan oleh Sosrokartono yang tidak membangga-banggakan status sosialnya sebagai anak bangsawan, ia juga yang tidak membangga-banggakan dirinya yang seorang polyglot dan berpendidikan tinggi. Tetapi Sosrokartono justru menjalani hidupnya sebagai orang biasa, karena yang terpenting baginya adalah dapat berguna bagi sesamanya. Inilah wujud pengabdian diri kepada sesama yang dalam ajaran Sosrokartono disebut dengan konsep ngawulo marang kawulane Gusti, yang mana hal ini sesuai dengan tugas manusia dalam agama Islam selain menjadi hamba Tuhan juga sekaligus sebagai khalifah fil ard.[7]

2. Joko Pring

Sebagaimana istilah Mandor Klungsu, istilah Joko Pring ini juga merupakan nama samaran yang digunakan oleh Sosrokartono dalam suratnya yang bertanggal 11 Oktober 1931 saat ia berkunjung ke Sumatera untuk yang ketiga kalinya. Istilah Joko Pring ini juga memiliki penafsiran yang dikaitkan dengan ilmu dan laku dari Sosrokartono.

Kata Joko merupakan Bahasa Jawa yang berarti Jejaka, sedangkan Pring merupakan Bahasa Jawa yang berarti “bambu”, yang dalam bahasa Krama disebut Deling, yang dalam keroto boso dapat berarti juga kendel lan eling, yaitu berani dan ingat. Hal inilah yang ditunjukkan oleh Sosrokartono selama masa hidupnya. Contohnya yaitu ketika ia mengemukakan pidato yang berisi kritikkan dan tuntutannya terhadap pemerintah kolonial yang disampaikan dalam kongres Bahasa ke 25 di Gent, Belgia. Apa yang disampaikan dalam pidato tersebut juga disampaikan lagi oleh Sosrokartono kepada Willem Rooseboom sebelum diberangkatkan ke Nusantara sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Dalam tafsiran lain, bambu dijadikan juga sebagai sebuah simbol bahwa hal yang baik adalah sesuatu yang seimbang, selaras dan serasi. Ibarat bambu yang baik adalah bambu yang lurus, jejeg, dan tidak bengkok-bengkok. Bambu juga dapat diartikan sebagai sebuah pengharapan agar apa yang diperjuangkannya dapat terus tumbuh dan berkembang, karena bambu selalu tumbuh dan memperbanyak diri.

Bambu sendiri memiliki banyak jenis, akan tetapi pada hakikatnya sama-sama bambu dengan kegunaannya masing-masing. Dalam suratnya tertulis “pring padha pring, weruh padha weruh, eling padha eling, eling tanpo nyanding.” Ini menyimbolkan keberagaman bentuk dan sifat manusia yang berbeda-beda. Akan tetapi dibalik keberagaman tersebut pada hakikatnya adalah sama, yaitu manusia. Dan kita sesama manusia dituntut untuk saling mengerti dan saling mengingatkan dalam kondisi apapun.[8]

3. Ngawulo Marang Kawulane Gusti

Ajaran ini merupakan visi hidup dari Sosrokartono. Sebagaimana yang sudah disinggung di atas, bahwa yang terpenting bagi Sosrokartono adalah kesejahteraan sosial, bukan individu. Sosrokartono bisa saja memilih untuk menetap di Eropa dengan kemampuannya dalam menguasai banyak bahasa, terbukti ia sempat mendapatkan pekerjaan yang bergaji tinggi di Eropa kala itu dengan kemampuannya tersebut. Akan tetapi Sosrokartono lebih memilih untuk mengabdi kepada masyarakat yang membutuhkan pertolongan dengan mendirikan balai pengobatan Dar-Oes Salam di Bandung. Dalam pengabdiannya dalam dunia pengobatan ini, Sosrokartono sama sekali tidak mau menerima bayaran dari hasil kerja kerasnya tersebut. Bahkan Sosrokartono senantiasa melakukan tirkakat seperti berpuasa dan hanya makan dua butir cabai setiap hari sebagai sarana agar ia dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Inilah salah satu wujud laku Sosrokartono dalam melaksanakan tugasnya selain sebagai seorang hamba juga sekaligus sebagai khalifah fil ard.[9]

4. Falsafah Alif

Keberadaan sang Alif begitu sentral dalam kehidupan Sosrokartono. Sang Alif dijadikan “wakil” atau simbol bagi Sang Maha Kuasa yang biasanya digunakan sebagai media untuk melayani dan menolong sesamanya. Alif yang memiliki bentuk sederhana dan tegak ini melambangkan “tauhid” yang menyimbolkan bahwa Tuhan itu Maha Esa. Alif juga menyimbolkan jiwa yang lurus dan jujur sebagai hasil dari laku catur murti.[10]

5. Catur Murti

Sosrokartono memiliki pegangan hidup yang dinamakan Catur Murti, yaitu bersatunya empat gejala jiwa utama, yaitu pikiran yang benar, perasaan yang benar, perkataan yang benar dan perbuatan yang benar. Apabila Catur Murti ini tidak berjalan seimbang antara satu dengan lainnya, maka manusia tidak akan dapat mendekatkan diri kepada Tuhannya serta tidak dapat dengan tulus melayani sesamanya.[11] Catur Murti ini juga dapat diartikan sebagai ilmu kehati-hatian, karena agar keempatnya dapat senantiasa selaras harus berfikir secara mendalam sebelum melakukan tindakan, sehingga perbuatan yang dihasilkan adalah perbuatan yang lurus seperti Alif. Itulah sebabnya semasa hidupnya Sosrokartono dikenal sangat berhati-hati, baik dalam perkataan maupun perbuatan, serta tidak akan mengucapkan apa-apa yang tidak ia ketahui.[12]

6. Ilmu Kantong Bolong

Ajaran ilmu kantong bolong ini sejatinya merupakan salah satu implementasi dari visi hidup Sosrokartono sendiri, yaitu ngawulo marang kawulane Gusti. Ilmu kantong bolong merupakan simbol dari kehidupan yang mengutamakan pertolongan kepada sesama. Diibaratkan bahwa kantong adalah tempat menyimpan uang, ketika kantong itu bolong alias berlubang, maka tidak akan mengakibatkan uang atau kekayaan lainnya hanya dinikmati oleh pribadi saja, melainkan senantiasa ingat akan sesamanya. Ilmu ini dapat diterapkan jika sifat ego pribdi dalam diri manusia kalah dengan hasrat untuk menolong sesama. Hal ini tercermin dalam perilaku keseharian Sosrokartono, dimana ia senantiasa memiliki kesadaran sosial tinggi sebagaimana yang tercantum dalam visi hidupnya.[13]

7. Prinsip Perjuangan Lahir (Sugih Tanpo Bondo, Digdaya Tanpo Aji, Nglurug Tanpo Bala, Menang Tanpo Ngasoraken)

Prinsip ini mengajarkan bahwa kekayaan tidak diukur berdasarkan hal-hal yang bersifat material. Prinsip suguh tanpo bondo bagi Sosrokartono berarti kaya batin atau kaya ilmu, sehingga manusia bisa mencapai kebahagiaan hakiki. Sosrokartono bisa saja memilih hidup di Eropa dengan pekerjaannya saat itu yang bergaji tinggi. Namun ia lebih memilih mengabdi ke masyarakat di tanah airnya tanpa bayaran. Sekalipun ada yang memberi imbalan akan langsung dibagikan kepada yang membutuhkan. Pun demikian ketika Sosrokartono dimintai untuk mengajar di Taman Siswa Bandung maupun Perguruan Rakyat Jakarta. Sosrokrtono bersedia untuk mengajar dengan mengajukan syarat “jangan sampai dibayar”, tetapi cukup diberi tiket pulang pergi Bandung-Jakarta.

Sosrokartono merasa tidak memiliki kesaktian tertentu, Digdaya tanpo aji. Karena baginya yang dimaksud kesaktian adalah selarasnya antara pikiran, perasaan, perkataan, dan perbuatan. Dengan demikian, Sosrokartono hanya mengandalkan kekutan Tuhan sebagaimana yang ia katakan: ”tanpo aji-aji, tanpo ilmu, saya tidak takut, sebab payung saya Gusti saya, perisai saya Gusti saya.”

Sakti tanpa aji juga dapat diartikan bahwasannya dalam menghadapi orang yang tidak menyukai kita cukup dengan kasih sayang sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Saw. Sehingga lama kelamaan musuh pun akan luluh sendiri. Dengan demikian, maka tak perlu lagi menyerang dengan membawa pasukan, nglurug tanpo bolo. Hal inilah yang diterapkan juga oleh Sosrokartono dalam laku hidupnya. Maka ketika musuh kalah tidak akan merasa dihinakan, karena dari prinsip-prinsip di atas akan melahirkan prinsip “menang tanpo ngasoraken”.[14]

8. Prinsip Perjuangan Batin (Trimah Mawi Pasrah, Suwung Pamrih Tebih Ajrih, Langgeng Tan Ono Susah Tan Ono Bungah, Anteng Manteng Sugeng Jeneng)

Prinsip ini pada dasarnya juga berkaitan serta meliputi ajaran-ajaran Sosrokartono lainnya. Bagi Sosrokartono, Trimah mawi pasrah berarti rela dengan apa yang telah terjadi, menerima dengan apa adany segala yang sedang terjadi, serta pasrah terhadap apa yang akan terjadi. Karena yang dicari oleh Sosrokartono bukanlah kekayaan material, bukan ketenaran dan status sosial, melainkan kesejahteraan masyarakat. Itulah Suwung pamrih, sehingga orang yang tidak memiliki pamrih apa-apa dalam melakukan perbuatannya tidak akan merasa takut atau khawatir terhadap kehidupannya, itulah tebih ajrih. Karena kehidupannya sudah dipasrahkan kepada Gustinya.

Dengan ini, bahagia dalam kehidupan sosrokartono adalah ketika ia mampu menolong orang lain, dan merasa susah ketika orang lain kesusahan, itulah langgeng tan ono susah tan ono bungah. Setalah melakukan prinsip-prinsip ini, maka yang akan diraih adalah anteng, yaitu ketenangan. Dengan senantiasa fokus dan bersungguh-sungguh (manteng) untuk menolong sesama, maka akan dicapailah sugeng jeneng alias kesentosaan, dimana Tuhan akan memberikan rahmat dan kasih sayangnya.[15]

9.    Identitas Islam-Jawa

Meskipun dikenal sebagai orang yang pernah kurang lebih 28 tahun menjelajahi eropa serta menguasai sekitar 36 bahasa, tidak membuat Sosrokartono kehilangan identitas aslinya sebagai seorang Jawa dan seorang muslim. Sebagai seorang yang terlahir dalam keluarga yang memegang teguh nilai budaya sekaligus kuat dalam beragama, telah mencetak pribadi Sosrokartono yang teguh dalam memegang nilai-nilai agama dan budayanya itu. Sebagaimana yang pernah diucapkannya: ”ingkang tansh kula mantepi yaiku  agami kula lan kejawen kula. Inggih bab kalih menika ingkang kula luhuraken.”.

Sosrokartono termasuk ke dalam salah satu tokoh yang mampu menyinkronkan antara Islam dan Jawa tanpa harus meninggalkan salah satunya. Hal ini terbukti dari kesehariannya yang senantiasa memegang teguh ajaran agama serta menjunjung tinggi adat-istiadat kebudayaan Jawa.[16]

Meskipun Sosrokartono dikenal sebagai sosok yang lembut, namun ketika berkaitan kepercayaan serta kebudayaannya ia sangat tegas. Terbukti ketika ia disuruh oleh pengajarnya di Leiden, Prof. Dr. H. Kern, untuk memberi sambutan dalam Kongres Bahasa ke 25 di kota Gent, Belgia. Isi pidatonya tersebut berupa kritikan-kritikan terhadap pemerintah kolonial yang menjajah hindia-belanda, serta seruan bagi seluruh pemuda Bumiputera untuk senantiasa meningkatkan pengetahuan mereka agar dapat segera terlepas dari jerat kebodohan dan penjajahan. Dikarenakan saat itu hampir semua sumber keilmuan berbahasa Belanda, maka Sosrokartono menyarankan bagi seluruh pemuda bangsa bumiputera agar mempelajari bahasa Belanda, bukan untuk mengganti bahasa mereka, akan tetapi sekedar untuk dapat menyerap keilmuan yang sebagian besar berbahasa Belanda.

Dalam pidatonya itu Sosrokartono menegaskan: “sama sekali bukan maksudku untuk membuat kalian menjadi orang belanda. Pada hakikatnya, kalian harus tetap orang-orang Jawa. Tentu saja kalian dapat menguasai kemajuan Eropa tanpa melenyapkan kepribadian dan ciri khas kebangsaan. Bahasa sendiri harus dimiliki di samping bahasa asing. Bukan untuk menggantinya melainkan untuk memperkaya pengetahuan kita. Oleh karena itu, dengan ini kutegaskan bahwa saya menyatakan siapa saja sebagai musuh yang hendak membuat kita sebagai bangsa Eropa atau setengah Eropa, dan yang hendak menginjak-injak tradisi dan adat kita yang luhur itu. Selama sang surya dan bulan masih bersinar mereka akan senantiasa aku tantang.”[17]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun