Sosrokartono termasuk ke dalam salah satu tokoh yang mampu menyinkronkan antara Islam dan Jawa tanpa harus meninggalkan salah satunya. Hal ini terbukti dari kesehariannya yang senantiasa memegang teguh ajaran agama serta menjunjung tinggi adat-istiadat kebudayaan Jawa.[16]
Meskipun Sosrokartono dikenal sebagai sosok yang lembut, namun ketika berkaitan kepercayaan serta kebudayaannya ia sangat tegas. Terbukti ketika ia disuruh oleh pengajarnya di Leiden, Prof. Dr. H. Kern, untuk memberi sambutan dalam Kongres Bahasa ke 25 di kota Gent, Belgia. Isi pidatonya tersebut berupa kritikan-kritikan terhadap pemerintah kolonial yang menjajah hindia-belanda, serta seruan bagi seluruh pemuda Bumiputera untuk senantiasa meningkatkan pengetahuan mereka agar dapat segera terlepas dari jerat kebodohan dan penjajahan. Dikarenakan saat itu hampir semua sumber keilmuan berbahasa Belanda, maka Sosrokartono menyarankan bagi seluruh pemuda bangsa bumiputera agar mempelajari bahasa Belanda, bukan untuk mengganti bahasa mereka, akan tetapi sekedar untuk dapat menyerap keilmuan yang sebagian besar berbahasa Belanda.
Dalam pidatonya itu Sosrokartono menegaskan: “sama sekali bukan maksudku untuk membuat kalian menjadi orang belanda. Pada hakikatnya, kalian harus tetap orang-orang Jawa. Tentu saja kalian dapat menguasai kemajuan Eropa tanpa melenyapkan kepribadian dan ciri khas kebangsaan. Bahasa sendiri harus dimiliki di samping bahasa asing. Bukan untuk menggantinya melainkan untuk memperkaya pengetahuan kita. Oleh karena itu, dengan ini kutegaskan bahwa saya menyatakan siapa saja sebagai musuh yang hendak membuat kita sebagai bangsa Eropa atau setengah Eropa, dan yang hendak menginjak-injak tradisi dan adat kita yang luhur itu. Selama sang surya dan bulan masih bersinar mereka akan senantiasa aku tantang.”[17]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H