2. Joko Pring
Sebagaimana istilah Mandor Klungsu, istilah Joko Pring ini juga merupakan nama samaran yang digunakan oleh Sosrokartono dalam suratnya yang bertanggal 11 Oktober 1931 saat ia berkunjung ke Sumatera untuk yang ketiga kalinya. Istilah Joko Pring ini juga memiliki penafsiran yang dikaitkan dengan ilmu dan laku dari Sosrokartono.
Kata Joko merupakan Bahasa Jawa yang berarti Jejaka, sedangkan Pring merupakan Bahasa Jawa yang berarti “bambu”, yang dalam bahasa Krama disebut Deling, yang dalam keroto boso dapat berarti juga kendel lan eling, yaitu berani dan ingat. Hal inilah yang ditunjukkan oleh Sosrokartono selama masa hidupnya. Contohnya yaitu ketika ia mengemukakan pidato yang berisi kritikkan dan tuntutannya terhadap pemerintah kolonial yang disampaikan dalam kongres Bahasa ke 25 di Gent, Belgia. Apa yang disampaikan dalam pidato tersebut juga disampaikan lagi oleh Sosrokartono kepada Willem Rooseboom sebelum diberangkatkan ke Nusantara sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Dalam tafsiran lain, bambu dijadikan juga sebagai sebuah simbol bahwa hal yang baik adalah sesuatu yang seimbang, selaras dan serasi. Ibarat bambu yang baik adalah bambu yang lurus, jejeg, dan tidak bengkok-bengkok. Bambu juga dapat diartikan sebagai sebuah pengharapan agar apa yang diperjuangkannya dapat terus tumbuh dan berkembang, karena bambu selalu tumbuh dan memperbanyak diri.
Bambu sendiri memiliki banyak jenis, akan tetapi pada hakikatnya sama-sama bambu dengan kegunaannya masing-masing. Dalam suratnya tertulis “pring padha pring, weruh padha weruh, eling padha eling, eling tanpo nyanding.” Ini menyimbolkan keberagaman bentuk dan sifat manusia yang berbeda-beda. Akan tetapi dibalik keberagaman tersebut pada hakikatnya adalah sama, yaitu manusia. Dan kita sesama manusia dituntut untuk saling mengerti dan saling mengingatkan dalam kondisi apapun.[8]
3. Ngawulo Marang Kawulane Gusti
Ajaran ini merupakan visi hidup dari Sosrokartono. Sebagaimana yang sudah disinggung di atas, bahwa yang terpenting bagi Sosrokartono adalah kesejahteraan sosial, bukan individu. Sosrokartono bisa saja memilih untuk menetap di Eropa dengan kemampuannya dalam menguasai banyak bahasa, terbukti ia sempat mendapatkan pekerjaan yang bergaji tinggi di Eropa kala itu dengan kemampuannya tersebut. Akan tetapi Sosrokartono lebih memilih untuk mengabdi kepada masyarakat yang membutuhkan pertolongan dengan mendirikan balai pengobatan Dar-Oes Salam di Bandung. Dalam pengabdiannya dalam dunia pengobatan ini, Sosrokartono sama sekali tidak mau menerima bayaran dari hasil kerja kerasnya tersebut. Bahkan Sosrokartono senantiasa melakukan tirkakat seperti berpuasa dan hanya makan dua butir cabai setiap hari sebagai sarana agar ia dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Inilah salah satu wujud laku Sosrokartono dalam melaksanakan tugasnya selain sebagai seorang hamba juga sekaligus sebagai khalifah fil ard.[9]
4. Falsafah Alif
Keberadaan sang Alif begitu sentral dalam kehidupan Sosrokartono. Sang Alif dijadikan “wakil” atau simbol bagi Sang Maha Kuasa yang biasanya digunakan sebagai media untuk melayani dan menolong sesamanya. Alif yang memiliki bentuk sederhana dan tegak ini melambangkan “tauhid” yang menyimbolkan bahwa Tuhan itu Maha Esa. Alif juga menyimbolkan jiwa yang lurus dan jujur sebagai hasil dari laku catur murti.[10]
5. Catur Murti
Sosrokartono memiliki pegangan hidup yang dinamakan Catur Murti, yaitu bersatunya empat gejala jiwa utama, yaitu pikiran yang benar, perasaan yang benar, perkataan yang benar dan perbuatan yang benar. Apabila Catur Murti ini tidak berjalan seimbang antara satu dengan lainnya, maka manusia tidak akan dapat mendekatkan diri kepada Tuhannya serta tidak dapat dengan tulus melayani sesamanya.[11] Catur Murti ini juga dapat diartikan sebagai ilmu kehati-hatian, karena agar keempatnya dapat senantiasa selaras harus berfikir secara mendalam sebelum melakukan tindakan, sehingga perbuatan yang dihasilkan adalah perbuatan yang lurus seperti Alif. Itulah sebabnya semasa hidupnya Sosrokartono dikenal sangat berhati-hati, baik dalam perkataan maupun perbuatan, serta tidak akan mengucapkan apa-apa yang tidak ia ketahui.[12]