'Sekarang Harus kejang-kejang dulu di IGD baru bisa pakai BPJS pak'
Ya kalimat itu meluncur dengan sangat enteng dari salah seorang petugas medis di sebuah rumah sakit di Kediri, Jawa Timur.
Rabu sore kemarin, kami tergopoh gopoh, putra kami panas tinggi sampai 40,5 dan sudah 2 hari. Kami kuatir sebelumnya kalau panas di atas 39 dia kejang, apalagi sekarang disertai muntah dan sempat diare.Â
Obat yang kami tebus dari dokter tak mempan turunkan panas. Muntah dan pucat disertai panas makin menjadi, dagu dan dekat leher bengkak. Kami putuskan bawa ke RS Bhayangkara Kediri.
Dengan cekatan 3 petugas medis memeriksa, dan menyebut ini adalah gondong, setelah diskusi mereka memutuskan menolak rawat inap pakai BPJS.Â
Kami sudah jelaskan, bukan soal gondongnya, tapi efek panasnya yang bisa buat kejang karena sudah di atas 40.
Terjadi percakapan di antara kami dan petugas medis.
Saya: kenapa gak bisa rawat inap pakai BPJS? Sebelumnya anak kami sudah pernah dirawat di sini pakai BPJS dengan kondisi sakit yang sama.
Petugas RS: Sekarang ada peraturan baru per Nopember kemarin kalau tidak memenuhi kriteria BPJS tidak bisa rawat inap pakai bpjs, harus umum (bayar).
Saya: anak saya kan panas tinggi 40,5
Petugas: memang menurut medis kalau di atas 36 itu masuk kategori sudah panas, tapi maaf syarat dari BPJS harus 41.
Saya: anak saya punya riwayat kejang, Kami kuatir kalau tidak dirawat intensif di RS bisa kejang.
Petugas: kalau pakai BPJS sekarang syaratnya kejang-kejangnya harus di IGD pak.
Saya:.... (saya diam..dalam hati: ini aturan absurd atau memang sebegininya sekarang?)
Kata petugas ini peraturan bpjs, bukan RS. Kl mau ke faskes 1 saja (setingkat klinik atau puskesmas).
Kami keluar IGD sambil menggendong putra kami yg masih panas. Tanpa sengaja ketemu tetangga depan IGD.
"Tadi ngantar adik ke IGD tapi ditolak pakai bpjs. Dia sakit lambung parah, muntah2, sakit kl gerak, trs td ditanya apa masih bisa jalan, karena masih bisa jalan gak bisa pakai bpjs, harus umum (bayar)".
Saya pulang sambil monolog.
Terlepas dari kejadian ini.
Bukannya kesehatan itu hak paling dasar yang dijamin negara? Tapi di negeri ini jaminan kesehatan malah dibebankan kepada warganya dengan dalih gotong royong bayar iuran ratusan ribu rupiah tiap bulan.
Jika tanggung jawab kesehatan dibebankan ke individu-individu, sudah seharusnya akses kesehatan dipermudah, kualitas layanan ditingkatkan.Â
Bukan lebih buruk dibanding tahun lalu, apa karena BPJS defisit? Pelayanan kok itung untung rugi. Kecuali semangat bpjs adalah perusahaan swasta? Bukan kan.
Dulu adagium orang miskin dilarang sakit sangat melekat, mahalnya biaya untuk berobat ke RS tidak bisa diakses mereka yang kesulitas secara ekonomi (baca:miskin).
Sekarang memang ada BPJS kesehatan yang mengcover biaya pengobatan serta perawatan, tapi apa yang saya alami dan beberapa pengalaman orang lain, hari ini orang miskin memang tidak dilarang sakit, namun dilarang untuk dirawat di rumah sakit, cukup puskesmas saja, atau faskes tingkat satu yang kualitasnya tidak lebih baik dibanding puskesmas.
Soal fasilitas rawat inap? tidak semua faskes 1 punya rawat inap. Â
Jika sakit Anda masih belum mengancam nyawa, maka kartu BPJS hanya berlaku di faskes tingkat 1 seperti puskesmas, klinik, atau dokter praktik.
BPJS hanya berlaku di RS jika Anda dalam kondisi  gawat darurat.
Berdasarkan Permenkes tersebut, gawat darurat adalah keadaan klinis yang membutuhkan tindakan medis segera untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan.
Â
Pasal 3 Permenkes Nomor 47 Tahun 2018 mengatur, pelayanan kegawatdaruratan harus memenuhi kriteria gawat darurat yang meliputi:
Mengancam nyawa,
membahayakan diri dan orang lain atau lingkungan
Adanya gangguan pada jalan napas, pernapasan, dan sirkulasiÂ
Adanya penurunan kesadaran Adanya gangguan hemodinamik (berkaitan dengan aliran darah, jantung, dan pembuluh darah) Memerlukan tindakan segera.
Jadi untuk 'menikmati' layanan serta fasilitas rawat inap di RS, Anda harus memenuhi syarat-syarat tersebut. Jika sakit Anda tanggung meskipun sesakit apapun yang Anda rasakan, itu sepanjang tidak memenuhi kriteria gawat darurat ya cukup dirawat di puskesmas saja, atau sekadar minum obat saridon, paramex, maagh, atau obat-obat di toko kelontong lainnya.
Inilah fakta kelas layanan kesehatan kita, layanan di negara yang digaung-gaungkan sebagai negara mulai beranjak dari negara berkembang menuju negara maju?Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H