Apalagi, jangan-jangan, justru nama Tuhan dan atas nama agama maka banyak hal kemudian dipolitisasi. Hati-hati. Saya hanya ingin mengatakan bahwa pilkada bukan segala-galanya, dan pilkada bukanlah arena perang agama. Kalau Anda mau angkat bedil dan senapan, bukan di pilkada tempatnya.
Kalau ingin berperang, silakan singsingkan lengan bajumu dan perangilah kemiskinan, buta huruf, korupsi, kesewenang-wenangan, kesenjangan, dan segala hal yang masih menghantui negeri yang katanya kaya ini. Itu.
Berteriak-teriak dalam sebuah demonstrasi tak jelas, bukanlah merupakan jalan keluar. Untuk apa Anda berteriak-teriak sementara Anda sendiri kemungkinan besar nggak ngerti apa yang sedang Anda teriakkan. Apalagi, ketika berteriak-teriak justru Anda mengancam, ingin menggantung dan membunuh orang. Kalau hal seperti itu terjadi, maka saya berani pastikan bahwa itu adalah demonstrasi paling norak yang pernah terjadi dalam sejarah kita berbangsa.
Saya sih sederhana saja melihatnya, setiap kali saya melihat orang-orang (dari agama manapun) berteriak-teriak mengatasnamakan kebenaran yang diyakini olehnya, lantas kemudian mengutip ayat sana sini dalam membenarkan ‘opini politik’ dirinya dalam momentum politik seperti pilgub DKI kali ini, maka bagi saya mereka semua tak lebih dari oportunis-oportunis yang memperalat agama dan kitab suci.
Mengais rejeki di atas penderitaan banyak orang yang nantinya bakalan terganggu akibat ulah segelintir orang rakus kekuasaan itu. Politikus-politikus semacam ini sangat nggak layak dapat bagian dalam pemerintahan sebetulnya, useless!
Dunia yang Paradoksal dan Orang-orang Munafik
Ada istilah yang mengatakan simul iustus et peccator, yang artinya: sekaligus benar dan sekaligus berdosa. Ini antara lain disebabkan karena dunia tempat kita hidup adalah juga dunia yang paradoksal.
Paradoks adalah satu hal yang terdiri dari dua kenyataan yang satu sama lain bertolak-belakang. Misalnya: seorang berbadan tegap, besar, gagah, otot-ototnya seperti Arnold Schwarzeneger. Bayangan kita, tentunya orang seperti itu sudah pasti adalah orang yang keras, kokoh, tidak gampang goyah. Tapi kemudian kita lihat orang ini sedang menangis dengan hebatnya, menangisi kucingnya yang baru saja mati. Ini disebut paradoks. Di dunia yang paradoksal ini, sebenarnya kehidupan kita sendiri juga adalah sebuah paradoks!
Kita menikmati namun kita bersedih. Kita kuat namun kita lemah. Kita menyukai tetapi sering membenci. Kita diam saja tetapi turut mendukung. Kita tidak memihak yang satu namun menghujat yang lain. Kita mendamaikan namun kita menyerang. Kita bersenang namun kita menentang. Kita berkata seolah benar tetapi kita melakukan yang tidak benar. Kita memaafkan namun enggan mengampuni dan melupakan. Itulah kehidupan kita.
Bisa jadi kini memang kita lagi dalam suasana perang, akan tetapi, hey kawan, kita ini tidak sementara berperang melawan kandidat lain dalam kotestasi pilgub DKI ini. Kita tidak lagi berjuang dengan mengangkat bedil dan senapan demi menggantung dan membunuh. Perang kita bukan melawan darah dan daging.
Tetapi perang kita yang sesungguhnya adalah melawan tipu muslihat, pembodohan demi pembodohan. Perang melawan perusak keragaman dan kebersamaan. Perang melawan perusak kerukunan. Jadi jangan salah sasaran. Suasana damai pilkada ini harus tetap terjaga. Kalau ada provokator ya kita lawan. Kalau ada pemecah belah ya kita lawan. Perang kita adalah melawan mereka-mereka yang tidak menghendaki Jakarta maju. Mereka yang tidak ingin Jakarta membangun. Yang tidak suka Jakarta aman dan damai. Perang melawan kemunafikan dan orang-orang munafik.