What the heck is going on with this Pilkada DKI Jakarta? Ada yang bilang pilgub DKI rasa pilpres. Tidak berlebihan memang, tetapi semakin ke sini semakin terasa pilgub ini justru bernuansa perang. Saya prihatin sungguh-sungguh dengan keadaan ini.
Aroma dan suasa pilgub DKI Jakarta ini benar-benar tercium lain daripada yang lain. Aromanya santer peperangan. Saling serang, saling hujat, dan saling ancam pun bermunculan. Intensitas dan keriuhan pilgub ini memang melebihi yang biasa-biasa saja.
Ini bisa jadi akan menjelma menjadi pilgub paling fenomenal dalam sejarah republik ini berdiri. Di lain provinsi, pilgub hanya ibarat nonton konser musik klasik. Tetabuhan alat musik pukulnya sedikit, iramanya sepoi-sepoi bikin nyaman untuk tidur.
Nah, pilgub DKI ini ibarat lagi nonton konser musik rock. Irama dan alunan musiknya begitu menggetarkan, menghentak sampai kedalaman ruang batin. Bahkan yang nonton pun ikut teriak-teriak, lompat-lompat dan sradak sruduk sendiri. Semuanya terbangun. Yang udah tua dan rambut putih pun ikut nimbrung. Yang nggak punya KTP Jakarta bahkan terus pasang aksi. Heboh tingkat dewa.
Jujur saja, dalam pilgub kali ini saya melihat sudah mulai banyak manusia-manusia yang pekerjaannya sebagai politisi dan kegiatan utamanya banyak bacot alias yang ‘hanya’ tahu ngebacot melulu tiap hari. Nggak jelas banget! Serius. Mereka menjadi kompor. Menjadi gas. Dan, menjadi pemicu. Membaca banyak statement-statement yang jauh dari menyejukkan. Ini benar-benar memuakkan. Bikin rasa muntah.
Saking hebatnya mereka ngebacot, maka unsur agama pun tak jarang dibawa-bawa, iman pun turut dibawa-bawa juga. Apakah mereka sungguh-sungguh, atau iman dan keagamaan hanya dipakai sebagai alat saja. Digunakan sebagai sarana ‘pemuas dahaga’ dan demi kepentingan kelompok atau partai? Apa urusannya pilkada DKI ini dengan keimanan sodara? Santai saja kali. Emangnya dengan ‘kebenaran’ pilkada ini maka sodara-sodara ketika habis mencoblos maka bakalan masuk sorga? Ngaca dulu lah kita rame-rame!
Keimanan dan keagamaan sodara dalam pilkada ini sama sekali tidak akan menjamin sodara masuk sorga, percaya deh. Ya, kalu perbuatan sodara tidak menunjukkan bahwa sodara itu adalah orang beriman mana bisa masuk sorga, kan begitu. Secara lebih liberal lagi, bagi saya pribadi Agama juga tidak menjamin siapapun bisa masuk sorga, saya yakin 1 juta persen itu. Sebab hanya iman sodara yang dapat membawa sodara ke sorga, bukan karena agama. Orang ber-Tuhan dan orang ber-agama itu bedah jauh loh, jangan salah. Banyak orang ber-agama yang perbuatan dan tingkah lakunya sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia itu ber-Tuhan.
Ada ujar-ujar yang berkata begini, “Tidak semua yang berteriak Tuhan…..Tuhan…..akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan mereka yang melakukan kehendak Tuhan…” Silakan mengatakan saya liberal, tetapi sungguh, dari dalam lubuk hati saya yang paling dalam saya kasihan dan miris dengan keadaan di negeri ini.
Ada begitu banyak orang yang terlalu berkutat pada sensasi sehingga lupa esensi. Mereka ‘adu jotos’ pada tataran kulit luar, terpesona pada bungkus namun melupakan isi. Memanfaatkan ‘Kebenaran Ilahi’ untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Kepentingan mengenyangkan perut sendiri, menebalkan isi dompet sendiri. Mereka lupa, Tuhan di atas sana tidak buta.
Banyak orang berteriak lantang dalam nama TUHAN. Kedengarannya manis seakan-akan membela nama Tuhan. Memperdengarkan bahwa Tuhan itu Maha Besar dan Maha Agung, tetapi apa lalu kemudian tindakan dan sepak terjang orang-orang yang teriak-teriak ini benar-benar mencerminkan kebesaran dan keagungan Tuhan? Belum tentu.
Sodara, Tuhan itu tidak perlu dibela. Dia sudah Maha Agung dan Maha Besar dari sononya. Bukankah juga dia yang empunya dunia dan segala isinya? Jadi nyantai aja kali, Tuhan gak usah seakan-akan dan seolah-olah mau dibela-bela. Dia lebih dari sekedar sanggup untuk membela diriNya jikalau memang ada yang menistakan dirinya sedemikian rupa.
Apalagi, jangan-jangan, justru nama Tuhan dan atas nama agama maka banyak hal kemudian dipolitisasi. Hati-hati. Saya hanya ingin mengatakan bahwa pilkada bukan segala-galanya, dan pilkada bukanlah arena perang agama. Kalau Anda mau angkat bedil dan senapan, bukan di pilkada tempatnya.
Kalau ingin berperang, silakan singsingkan lengan bajumu dan perangilah kemiskinan, buta huruf, korupsi, kesewenang-wenangan, kesenjangan, dan segala hal yang masih menghantui negeri yang katanya kaya ini. Itu.
Berteriak-teriak dalam sebuah demonstrasi tak jelas, bukanlah merupakan jalan keluar. Untuk apa Anda berteriak-teriak sementara Anda sendiri kemungkinan besar nggak ngerti apa yang sedang Anda teriakkan. Apalagi, ketika berteriak-teriak justru Anda mengancam, ingin menggantung dan membunuh orang. Kalau hal seperti itu terjadi, maka saya berani pastikan bahwa itu adalah demonstrasi paling norak yang pernah terjadi dalam sejarah kita berbangsa.
Saya sih sederhana saja melihatnya, setiap kali saya melihat orang-orang (dari agama manapun) berteriak-teriak mengatasnamakan kebenaran yang diyakini olehnya, lantas kemudian mengutip ayat sana sini dalam membenarkan ‘opini politik’ dirinya dalam momentum politik seperti pilgub DKI kali ini, maka bagi saya mereka semua tak lebih dari oportunis-oportunis yang memperalat agama dan kitab suci.
Mengais rejeki di atas penderitaan banyak orang yang nantinya bakalan terganggu akibat ulah segelintir orang rakus kekuasaan itu. Politikus-politikus semacam ini sangat nggak layak dapat bagian dalam pemerintahan sebetulnya, useless!
Dunia yang Paradoksal dan Orang-orang Munafik
Ada istilah yang mengatakan simul iustus et peccator, yang artinya: sekaligus benar dan sekaligus berdosa. Ini antara lain disebabkan karena dunia tempat kita hidup adalah juga dunia yang paradoksal.
Paradoks adalah satu hal yang terdiri dari dua kenyataan yang satu sama lain bertolak-belakang. Misalnya: seorang berbadan tegap, besar, gagah, otot-ototnya seperti Arnold Schwarzeneger. Bayangan kita, tentunya orang seperti itu sudah pasti adalah orang yang keras, kokoh, tidak gampang goyah. Tapi kemudian kita lihat orang ini sedang menangis dengan hebatnya, menangisi kucingnya yang baru saja mati. Ini disebut paradoks. Di dunia yang paradoksal ini, sebenarnya kehidupan kita sendiri juga adalah sebuah paradoks!
Kita menikmati namun kita bersedih. Kita kuat namun kita lemah. Kita menyukai tetapi sering membenci. Kita diam saja tetapi turut mendukung. Kita tidak memihak yang satu namun menghujat yang lain. Kita mendamaikan namun kita menyerang. Kita bersenang namun kita menentang. Kita berkata seolah benar tetapi kita melakukan yang tidak benar. Kita memaafkan namun enggan mengampuni dan melupakan. Itulah kehidupan kita.
Bisa jadi kini memang kita lagi dalam suasana perang, akan tetapi, hey kawan, kita ini tidak sementara berperang melawan kandidat lain dalam kotestasi pilgub DKI ini. Kita tidak lagi berjuang dengan mengangkat bedil dan senapan demi menggantung dan membunuh. Perang kita bukan melawan darah dan daging.
Tetapi perang kita yang sesungguhnya adalah melawan tipu muslihat, pembodohan demi pembodohan. Perang melawan perusak keragaman dan kebersamaan. Perang melawan perusak kerukunan. Jadi jangan salah sasaran. Suasana damai pilkada ini harus tetap terjaga. Kalau ada provokator ya kita lawan. Kalau ada pemecah belah ya kita lawan. Perang kita adalah melawan mereka-mereka yang tidak menghendaki Jakarta maju. Mereka yang tidak ingin Jakarta membangun. Yang tidak suka Jakarta aman dan damai. Perang melawan kemunafikan dan orang-orang munafik.
(Atas permintaan banyak kawan saya supaya nggak usah pake ayat, maka saya hilangkan saja ayatnya)
Siapa orang-orang munafik itu? Tentu saja mereka yang selalu berkata lain di bibir lain di dalam hati. Mereka yang manis dalam bertutur namun jahat dalam bertindak. Mereka yang apa yang diucapkan tidak sejalan dengan apa yang dilakukan.
Bukannya saya membenci orang yang santun loh ya. Hanya saja, berhati-hatilah terhadap segala kemunafikan yang dibungkus tutur kata yang sedap didengar. Gaya Bahasa yang penuh sopan santun artifsial semata. Banyak sekali kemunafikan dibungkus kesantutan. Contohnya kan sudah banyak. Mereka begitu santun di depan layar kaca, penuh kata-kata ‘bijak’, tetapi eh masuk penjara juga karena korupsi.
Seperti yang saya sudah sentil di atas, kita jangan mudah kagum pada sampul luar tanpa pernah melihat isinya dulu. Kita jangan terpaku pada bungkus, lantas kemudian mengabaikan isi. Jangan pernah tertipu oleh apa yang nampak dari luarnya saja. Apalagi dalam dunia politik, Heeemmmm.
Saya teringat ungkapan kocak tentang politik oleh Groucho Marx, dia bilang begini, “Politics is the art of looking for trouble, finding it everywhere, diagnosing it incorrectly and applying the wrong remedies.” Hahaha apakah memang seperti itu? Biarlah politisi kita yang menjawabnya.
Mari, kita tundukkan kepala barang sejenak, lalu renungkanlah dalam-dalam, apakah Anda rela Jakarta hancur ‘hanya’ oleh sekedar permainan politik para politikus demi syahwat berkuasa mereka dengan ‘menghalalkan segala cara’? Kalau saya nggak rela sih. Ayo, sudahi saja perbincangan ini, dan mari kita seruput kopi sore ini sembari menikmati pisang goreng ala tangan masing-masing. Uenak tenan! ---Michael Sendow---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H