Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Apakah Menyindir Kasar = Tidak Punya Etika?

8 Oktober 2015   18:25 Diperbarui: 9 Oktober 2015   17:04 2647
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sarkasme (www.slideshare.net)"][/caption]

Dalam salah satu artikel saya, tulisan saya itu rupanya oleh beberapa orang ternyata ‘kelihatan’nya sepertinya bagi mereka, bahwa saya itu mendukung kata-kata kasar Ahok. Kata-kata kasar yang ia lontarkan ketika ia sementara menyemprot seseorang yang korup, malas, dan lain sebagainya di lingkungannya. Saya dianggap menyetujui Ahok berbicara kasar. Saya lalu kemudian menerima banyak komentar top markotop. Beberapa di antaranya mengatakan dan menjustifikasi bahwa Ahok itu kasar, dan kata-katanya tidak sopan. Di beberapa komentar dan artikel lain saya juga menemukan label Ahok tidak punya etika.

Sampai di sini, 'antena' saya tiba-tiba mendengung (belum pernah mendengar antena mendengung kan?). Seketika mengirimkan signal ‘waspada’ untuk tidak membalas komentar secara serampangan saat itu. Jadi saya balas saja beberapa komentar seadanya saja. Oleh karenanya, maka lahirlah tulisan ini. Lebih baik semua tanggapan itu saya tanggapi lewat jendela ini saja. Supaya saya boleh leluasa menulis, ya menulis sedikit panjang dan tak kurang lebarnya. Dan lagi, supaya saya dapat berbagi pemikiran saya lebih leluasa dan nyaman, daripada sekedar berkomentar pendek.

Kalau umpamanya ada yang tidak setuju, ya silakan tulis tanggapan Anda, atau sesegera mungkin tutup jendela ini supaya mata Anda tidak jadi kabur, dan hati Anda terhindar dari kekalapan. Masing-masing kita boleh berbeda pendapat bukan?

So, shall we start now? Okay. Go ahead, Mike!

Begini saudara-saudara sekalian. Saya sejak kecil sudah diajarkan tentang apa itu etika (bedakan dengan etiket ya, itu dua hal yang sangat berbeda). Dan lalu supaya saya harus beretika, kalau tidak maka kuping saya akan ditarik-tarik oleh orang tua saya. Sakitnya minta ampun kalau sudah digituin. Sakitnya sampai di sini…... Ya, di situ!

Seiring berkembangnya waktu, saya dibina, kemudian dituntut untuk terus menerus harus punya etika, dan mesti punya pendirian juga. Orang tua saya sangat keras dalam hal ini. Nah, suatu ketika saya pernah diperhadapkan pada situasi yang dilematis. Itu semasa SMA. Waktu itu, saya tahu betul bahwa ada sesuatu yang tidak beres yang sementara terjadi (tepat di hadapan mata dan hidung saya). Di satu sisi, secara etika, saya harus berdiri di atas kebenaran dan dengan lantang mengatakan salah itu salah, benar itu benar. Di sisi yang lain, saya juga akan merasa amat bersalah kalau harus berkata kasar, menghardik atau membentak oknum itu, karena dia itu pernah menolong saya bla..bla..bla. Intinya dia itu kawan baik saya. Seorang kawan yang amat baik. Mana yang harus saya pilih? Etika mana yang kemudian akan saya langgar?

Mari kita lanjut dulu. Menurut kamus, maka etika (ethics) atau moral philosophy itu dikatakan adalah sebagai, “The branch of philosophy that involves systematizing, defending, and recommending concepts of right and wrong conduct. The term ethics derives from the Ancient Greek word ethikos, which is derived from the word ethos (habit, “custom”).

Sekarang kita paham dan menjadi mengerti. Etika itu sederhananya adalah sebuah konsep benar atau salah, baik atau buruk yang terus berproses. Ia tidak statis, namun punya dinamika. Dan yang paling penting, etika itu bukan seperti sulap sim sala bim, tiba-tiba seseorang yang tidak punya etika langsung menjadi beretika. Etika itu lahir karena sebuah kebiasaan (habit), dan prilaku yang terus menerus terbentuk. Seseorang mempunyai etika karena umpamanya sejak kecil dia sudah melakukan hal itu, diajari, dikonsepi, dan melakukan rutinitas itu secara konsisten. Orang yang terbiasa rajin, sikapnya rajinnya akan terjaga menjadi sebuah kebiasaan. Orang yang terbiasa korup, ya ujung-ujungnya akan korupsi melulu.

Lebih lanjut, dikatakan bahwa etika itu adalah sebuah ‘cabang’ dari ilmu filsafat. Mari kita telisik kalimat ini, “Ethics investigates the questions “What is the best way for people to live?” and “What actions are right or wrong in particular circumstances?” In practice, ethics seeks to resolve questions of human morality, by defining concepts such as good and evil, right and wrong, virtue and vice, justice and crime.” Di sini jelas terang benderang darimana berawal, dan kemana ia bakalan bermuara.

So, kembali ke masalah etika ini. Apakah orang yang menegur kasar (memakai ungkapan sarkasme) maka serta merta dapat dianggap sebagai tidak sopan, lalu kemudian dicap tidak beretika? Salah kaprah. Justru yang tidak beretika, umpamanya adalah pejabat-pejabat yang malas, tidak mau bekerja, yang korup, dan entah apalagi, (ada yang korupsinya sangat konsisten dan berkesinambungan). Jadi, bukannya orang yang menegur pejabat-pejabat korup tersebut, sekeras dan sekasar apapun tegurannya itu yang kemudian dilabeli tidak punya etika. Kita jangan membolak-baliknya. Kalau dia kasar tanpa sebab, ya kita pantas marah atau tersinggung. Lha, kalau tegurannya benar adanya serta tepat sasaran, mau apa kita?

Lebih baik teguran keras yang nyata-nyata diungkapan daripada kasih yang tersembunyi, demikian kata sebuah ujar-ujar. Lagipula, kalaupun ada ungkapan (maaf) ’bajingan’ dan ‘brengsek’ itu tepat sasaran, kenapa harus tidak boleh diungkapkan? Seorang penjahat tetaplah penjahat. Seorang ‘bajingan’ akan tetap bajingan, dan semua yang berprilaku ‘brengsek’ akan tetap brengsek, sekalipun ungkapan dan sebutan manis Anda sematkan pada diri mereka.

Gaya Bahasa

Setiap orang punya gaya bahasa masing-masing, dan karakternya masing-masing tentunya. Gaya bahasa atau majas ini tentu saja lahir dan tercipta oleh karena betapa kayanya bahasa yang kita miliki. Jadi tidak ada salahnya kita menggunakannya.

Gaya bahasa/majas ini baik secara langsung ataupun tidak, kerap kali dipakai untuk melakukan komunikasi dengan orang lain, menyapa, menegur, dan atau memberi kritikan serta masukan. Hal ini lumrah dan sah-sah saja, tidak ada larangan menggunakan berbagai bentuk majas tersebut.

Tujuannya apa? Ya tentu saja supaya pendengar, atau orang yang dituju itu cepat paham dan mengerti. Majas yang dipakai bisa saja berupa perbandingan, sindiran halus maupun yang sangat kasar sekalipun. Sehingga dengan demikian diharapkan pesan yang ingin disampaikan benar-benar mampu menohok, menampar, dan mengena langsung ke orang yang dituju dan bisa dipahami secara jelas. Paling tidak orang tersebut paham dan mahfum betapa marahnya orang yang menegur itu, kalau sudah memakai majas sarkasme (sindiran dan teguran kasar) itu. Maka cepat-cepatlah ia mesti perbaiki diri.

Kita mengenal ada gaya bahasa atau majas perbandingan, misalnya majas alegori (kiasan), metafora, eufimisme (ini menarik, akan kita bahas selanjutnya nanti), dan lainnya.

Ada juga majas sindiran, misalnya saja ironi, sarkasme (yang sering digunakan Ahok), satir, sinisme, dan lain sebagainya.

Kemudian selanjutnya ada majas penegasan, umpamanya pleonase, tautology, klimaks, stigmatisme, apofasis, repetisi, dan lain-lainnya.

Masih ada lagi majas pertentangan, ini misalnya ada pada paradoks, antithesis, oksimoron, anakronisme, dan sebagainya.

Nah, saya tergelitik membahas lebih lanjut tentang gaya bahasa eufemisme ini (ungkapan yang diperhalus). Eufimisme sering dipakai agar supaya tidak menyinggung perasaan seseorang. Ada juga yang mengartikan bahwa eufemisme adalah sebagai ungkapan yang bersifat tidak berterus terang.

Eufemisme atau juga pseudo eufemisme bisa jadi memang manusiawi. Kita, dengan segala adat ketimuran kita tentu saja akan cepat ‘jatuh cinta’ dengan gaya bahasa ini. Kalau di dunia Barat justru sebaliknya,tidak ada rasa ketidaksukaan yang ditutup-tutupi dengan ber-eufimisme ria. Pengguna eufimisme di satu sisi, adalah berusaha sedapat mungkin menghindar kata-kata kasar dan keras, agar supaya mereka itu tidak menyakiti atau menyinggung perasaan orang lain.

Namun pada tataran tertentu, eufemisme ini dapat mengaburkan makna sehingga makna semula tidak terwakili lagi oleh bentuk atau konsep yang menggatikannya. Pergeseran makna ini tentu akan memberikan pengaruh terhadap masyarakat umum. Itulah kemudian maka banyak kali muncul kata-kata yang sudah begitu diperhalus, padahal tujuannya bukan itu. Eufimisme dapat mereduksi makna.

Seperti yang sudah saya tulis di atas, seorang penjahat akan tetap penjahat seberapa sopanpun Anda memanggil atau menegur dia. Justru gaya ini acap kali membuat ruang kesadaran seseorang tertutup rapat. Karena selalu diperhalus, ya orang itu tidak akan sadar-sadar juga. Orang malas dan para koruptor tidak boleh ditegur pakai gaya eufimisme, mereka harus ‘ditampar’ pakai gaya sarkasme. Mungkin seperti itulah.

Tujuan awal yang baik eufemisme ini adalah untuk bersopan santun. Namun, di balik semua itu ada hal-hal yang lantas kemudian keluar dari tujuan semula. Kadang sopan santun artificial itu dipakai sangat lebay. Sikap sopan santun semu lalu kemudian marak muncul dimana-mana. Terkadang hanya sekedar mencari simpati. Terkadang pula hanya kamuflase menutup-nutupi kejahatan yang sudah membukit, bahkan menggunung.

Memang tujuan penggunaan eufemisme adalah untuk bersopan santun. Tetapi jangan Anda salah, banyak yang menggunakannya untuk menipu. Saya pernah baca sebuah tulisan menarik yang berjudul eufemisme adalah sopan santun yang menipu.

Akhir kata, apakah kata-kata teguran kita yang kasar (karena memakai majas sarkasme) lalu kemudian kita menjadi tidak beretika. Atau perbuatan-perbuatan rutin yang kita lakukanlah yang menunjukkan apakah kita punya etika atau tidak? Terserah Anda mau memilih yang mana. Apakah kembali, Anda akan terpaku dan terpana hanya pada bungkus (kulit), atau lebih memilih untuk memeriksa isi (konten) terlebih dahulu. ---Michael Sendow---

"Sarcasm helps me overcome the harshness of the reality we live, eases the pain of scars and makes people smile" --- Mahmoud Darwish

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun