Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Apakah Menyindir Kasar = Tidak Punya Etika?

8 Oktober 2015   18:25 Diperbarui: 9 Oktober 2015   17:04 2647
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lebih baik teguran keras yang nyata-nyata diungkapan daripada kasih yang tersembunyi, demikian kata sebuah ujar-ujar. Lagipula, kalaupun ada ungkapan (maaf) ’bajingan’ dan ‘brengsek’ itu tepat sasaran, kenapa harus tidak boleh diungkapkan? Seorang penjahat tetaplah penjahat. Seorang ‘bajingan’ akan tetap bajingan, dan semua yang berprilaku ‘brengsek’ akan tetap brengsek, sekalipun ungkapan dan sebutan manis Anda sematkan pada diri mereka.

Gaya Bahasa

Setiap orang punya gaya bahasa masing-masing, dan karakternya masing-masing tentunya. Gaya bahasa atau majas ini tentu saja lahir dan tercipta oleh karena betapa kayanya bahasa yang kita miliki. Jadi tidak ada salahnya kita menggunakannya.

Gaya bahasa/majas ini baik secara langsung ataupun tidak, kerap kali dipakai untuk melakukan komunikasi dengan orang lain, menyapa, menegur, dan atau memberi kritikan serta masukan. Hal ini lumrah dan sah-sah saja, tidak ada larangan menggunakan berbagai bentuk majas tersebut.

Tujuannya apa? Ya tentu saja supaya pendengar, atau orang yang dituju itu cepat paham dan mengerti. Majas yang dipakai bisa saja berupa perbandingan, sindiran halus maupun yang sangat kasar sekalipun. Sehingga dengan demikian diharapkan pesan yang ingin disampaikan benar-benar mampu menohok, menampar, dan mengena langsung ke orang yang dituju dan bisa dipahami secara jelas. Paling tidak orang tersebut paham dan mahfum betapa marahnya orang yang menegur itu, kalau sudah memakai majas sarkasme (sindiran dan teguran kasar) itu. Maka cepat-cepatlah ia mesti perbaiki diri.

Kita mengenal ada gaya bahasa atau majas perbandingan, misalnya majas alegori (kiasan), metafora, eufimisme (ini menarik, akan kita bahas selanjutnya nanti), dan lainnya.

Ada juga majas sindiran, misalnya saja ironi, sarkasme (yang sering digunakan Ahok), satir, sinisme, dan lain sebagainya.

Kemudian selanjutnya ada majas penegasan, umpamanya pleonase, tautology, klimaks, stigmatisme, apofasis, repetisi, dan lain-lainnya.

Masih ada lagi majas pertentangan, ini misalnya ada pada paradoks, antithesis, oksimoron, anakronisme, dan sebagainya.

Nah, saya tergelitik membahas lebih lanjut tentang gaya bahasa eufemisme ini (ungkapan yang diperhalus). Eufimisme sering dipakai agar supaya tidak menyinggung perasaan seseorang. Ada juga yang mengartikan bahwa eufemisme adalah sebagai ungkapan yang bersifat tidak berterus terang.

Eufemisme atau juga pseudo eufemisme bisa jadi memang manusiawi. Kita, dengan segala adat ketimuran kita tentu saja akan cepat ‘jatuh cinta’ dengan gaya bahasa ini. Kalau di dunia Barat justru sebaliknya,tidak ada rasa ketidaksukaan yang ditutup-tutupi dengan ber-eufimisme ria. Pengguna eufimisme di satu sisi, adalah berusaha sedapat mungkin menghindar kata-kata kasar dan keras, agar supaya mereka itu tidak menyakiti atau menyinggung perasaan orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun