Ada seorang pemuda yang hampir mati dihajar warga sekampung. Pemuda kurus kerempeng itu bak lagi dihukum rajam secara sepihak oleh karena kedapatan memberi tumpangan kepada seorang wanita pelacur. Wanita itu rupa-rupanya dibiarkan tinggal di rumahnya, di desa kecil nun jauh di sana.
Sehabis dihajar, pemuda itu disuruh pulang dan harus segera mengusir wanita itu pergi jauh. Sembari menarik-narik kakinya yang berjalan agak pincang, pemuda ini berjalan pulang. Ia pun akhirnya sampai di depan rumahnya. Sebelum melangkah masuk, ia bertemu dengan karibnya yang juga adalah tetangga sebelah rumah.
“Aku mau dibunuh sama warga seisi kampung bang ", demikian dia berbisi ke telinga karibnya itu. Ia berbisik dengan nada lelah, getir, dan putus asa.
"Apa salahmu?" Tanya karibnya itu.
"Aku membawa seorang perempuan yang pernah menjadi pelacur ke kampung ini".
Dan asal tahu saja, perempuan yang memiliki profesi ganda sebagai single mother dan pelacur itu adalah teman lama pemuda kurus kerempeng itu, bahkan semasa mereka masih SMP. Perempuan itulah yang banyak menolongnya kala itu.
"Lha, kenapa berani-beraninya kau bawah perempuan itu?"
"Kawan, tak taukah kamu, bahwa sesungguhnya perempuan yang mereka sebut lonte itu juga manusia?"
“Ia temanku, dan profesinya itu dilakoninya bukan karena keinginan hatinya semata, tetapi ada desakan kebutuhan untuk bertahan hidup. Saya tahu dirinya sejak lama"
“...... Kalau saja keparat-keparat koruptor dan penguasa negeri ini lebih mau mengerti, mungkin ia tidak akan seperti itu! Dia melakukan semuanya demi tiga orang anaknya, bukan untuk apapun yang lain”.
Pemuda kurus itu terus berceloteh panjang lebar. " Aku sedih, teman lamaku yang kalian panggil dan sebut-sebut sebagai lonte itu, ternyata dia itu harus membiayai tiga anak yang masih kecil lantaran suaminya diperlakukan tidak adil, sementara itu dia sendiri tidak punya pekerjaan apapun".
"Aku ingat betul, sudah 20 lamaran kerja temanku itu ditolak. 19 diantaranya, tegas-tegas menolaknya karena latar belakang bapaknya, yang katanya disinyalir bekas anggota PKI"
Sambil bercerita, ia bersihkan ingus yang terus mengalir di hidungnya, dan air mata yang terlanjur ikut menetes pula.
Ia tak putus-putusnya bercerita…
"Tidak juga lupa dalam ingatanku, saat anaknya yang kedua sakit, si Shadia mungil itu, Rumah Sakit menolaknya, karena tidak sanggup membayar...."
"Kamu tahu, Seminggu yang lalu kejadian yang sama menimpa temanku itu, si Shadia, anak keduanya kembali sakit lagi....tapi ia lagi-lagi di tolak puskesmas yang tak jauh dari tempat tinggalnya, dengan tentu saja alasan yang tak pernah jelas. Mungkin saja karena alasan biaya berobat tak akan terbayar. Shadia meninggal tiga hari kemudian, menorehkan luka mendalam bagi ibunya!"
"Ini bertambah parah lagi, setelah kehilangan anaknya, ia kemudian diusir tuan rumah karena dituduh mencuri uang pemilik rumah".
"Jadi, salahkah aku menampung perempuan itu dirumahku untuk sementara waktu saja?"
"Salahkah aku menampung temanku dirumahku, ketika semua pintu seakan tertutup buat dia? Ketika semua tangan tak lagi ramah untuk diulurkan, dan ketika semua hati terlalu sombong untuk sekedar berbagi rasa?"
"Aku tidak mau menjadi orang yang sempurna seperti itu"
"Aku mau menjadi orang yang mau berbagi, yang mau memberi, yang memiliki tidak sekedar simpati tapi juga mampu berempati"
"Aku tidak akan melihat perempuan itu sebagai seorang lonte. Aku melihatnya sebagai temanku yang butuh pertolongan. Hanya sesederhana itu"
"Aku tidak akan berani berkata seperti apa yang dilontarkan kepala desa tadi sehabis warga merajam tubuhku ini. Dia dengan pongahnya mengatakan bahwa temanku itu tidak pantas tinggal di kampungku, ia katanya lebih pantas tinggal di neraka, karena ia melacur secara sadar". Kepala desa yang sungguh sangat pantas dikasihani. Dia tidak sadar apa yang ia lakukan dan ucapkan.
***
Kita memang terlalu sering menjustifikasi keberadaan seseorang, dan kerap kali langsung memberi label tertentu. “Lonte” adalah label yang memang sudah begitu melekat dalam diri seorang perempuan yang menjajakan diri demi apapun.
Dalam sebuah surat, yang dititipkannya sebelum akhirnya pemuda kurus kerempeng itu membawa pergi perempuan kawannya itu ke luar kampung itu, dia menulis rangkaian tulisan panjang dan getir.
Surat itu lalu dititipkan ke kawan baik, tetangganya itu. Isi surat itu antara lain bercerita tentang kekesalan hatinya atas perlakuan hidup yang sering tidak adil dan tak mengenal kompromi. Kalau kita bisa berkompromi dengan “lonte berdasi”, kenapa tidak dapat berkompromi dengan kawannya itu?
Negeri ini bisa diam membisu, bahkan diam seribu bahasa bila “lonte berdasi” ketangkap tangan. Terkadang mereka itu bak malaikat turun dari sorga dengan pakaian kebesaran serba mahal, namun hati mereka belum tentu baik. Apa baiknya? Uang rakyat dimakan habis. Mereka duduk dengan gagahnya di setiap rapat anggota dewan. Dewan apapun itu, pemuda kerempeng ini tak peduli, yang pasti sudah sangat sering dia lihat di layar TV kelakuan para abdi negeri yang bobrok. Ada di antara mereka yang hobi jalan-jalan, menebar pesona dan sok keren di negeri orang, padahal banyak yang terlupakan di negeri sendiri.
Banyak di antara ‘lonte-lonte berdasi’ ini yang sangat sibuk menjual diri. Ada juga di antara mereka yang sibuk di kantor-kantor penguasa, tak jarang mereka terlihat keluar masuk pintu ‘kerajaan’. Mereka sering tersenyum amat sangat manis ketika ada yang datang mencegat mereka, lalu menyorot atau wawancarai mereka. Sudah pasti senyum malaikat akan terkembang, dan nada bicara dibuat seberkesan mungkin. Barangkali saja banyak yang akan terkesan, begitu mungkin pikir mereka. Persoalan betul atau tidak yang dia umbar, itu urusan belakang.
Para lonte berdasi ini tidak bermain di wilayah kemaluan, namun mereka justru tidak punya malu sama sekali. Tidak ada ke-malu-an lagi disetiap saat mereka melakukan dosa.
Para lonte ini hanya memikirkan diri sendiri, mereka melacurkan harga diri mereka, melacurkan kewenangan dan kekuasaan mereka. Mereka itu adalah pelacur-pelacur professional. Pelacur-pelacur intelek, yang tidak punya lagi rasa malu! Ini sebetulnya adalah pelacuran tingkat tinggi.
Menyulam rasa percaya kita terhadap perempuan setengah baya yang melacurkan diri demi hidup anak-anaknya memang tidak mudah. Tetapi apakah kita sanggup menaruh rasa percaya sedalam-dalamnya kepada para lonte berdasi atau lonte berkelas itu?
Siapkah kita menaruh kepercayaan untuk diwakili para lonte ini? Akankah dan siapkah mereka menjadi perwakilan kita sesungguhnya dan seutuhnya? Yang waras tentu akan berkata “Tidaaaaaaak!”
Ada kelakar yang bilang begini, perempuan lonte itu merusak dirinya sendiri lalu memberi kenikmatan dan kesenangan bagi orang lain. Lonte berdasi itu merusak dan membuat orang lain menderita demi kenikmatan dan kesenangan dirinya sendiri. Walahualam.
***
Pemuda kurus itu lalu sampai di stasiun kereta pukul 07.00, menuju kota dimana ia akan menitipkan kawannya ke sebuah rumah tumpangan, milik sepupunya.
Dari kejauhan stasiun kereta itu, sayup-sayup terdengar lirik lagunya Iwan Fals:
... Lonteku...
Hembusan angin malam waktu itu
Bawa lari ku dalam dekapanmu
Kau usap luka di sekujur tubuh ini
Sembunyilah-sembunyi ucapmu...
Nampak jelas rasa takut di wajahmu
Saat petugas datang mencariku...
Reff. Lonteku... Terima kasih
Atas pertolonganmu di malam itu
Lonteku...
Dekat padaku Mari kita lanjutkan cerita hari esok...(Iwan Fals)
---Michael Sendow---
Sumber: http://www.kompasiana.com/michusa/kasihanilah-lonte-itu-doa-si-mamat_5500a1d3a333115372511833
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H