"Aku tidak akan berani berkata seperti apa yang dilontarkan kepala desa tadi sehabis warga merajam tubuhku ini. Dia dengan pongahnya mengatakan bahwa temanku itu tidak pantas tinggal di kampungku, ia katanya lebih pantas tinggal di neraka, karena ia melacur secara sadar". Kepala desa yang sungguh sangat pantas dikasihani. Dia tidak sadar apa yang ia lakukan dan ucapkan.
***
Kita memang terlalu sering menjustifikasi keberadaan seseorang, dan kerap kali langsung memberi label tertentu. “Lonte” adalah label yang memang sudah begitu melekat dalam diri seorang perempuan yang menjajakan diri demi apapun.
Dalam sebuah surat, yang dititipkannya sebelum akhirnya pemuda kurus kerempeng itu membawa pergi perempuan kawannya itu ke luar kampung itu, dia menulis rangkaian tulisan panjang dan getir.
Surat itu lalu dititipkan ke kawan baik, tetangganya itu. Isi surat itu antara lain bercerita tentang kekesalan hatinya atas perlakuan hidup yang sering tidak adil dan tak mengenal kompromi. Kalau kita bisa berkompromi dengan “lonte berdasi”, kenapa tidak dapat berkompromi dengan kawannya itu?
Negeri ini bisa diam membisu, bahkan diam seribu bahasa bila “lonte berdasi” ketangkap tangan. Terkadang mereka itu bak malaikat turun dari sorga dengan pakaian kebesaran serba mahal, namun hati mereka belum tentu baik. Apa baiknya? Uang rakyat dimakan habis. Mereka duduk dengan gagahnya di setiap rapat anggota dewan. Dewan apapun itu, pemuda kerempeng ini tak peduli, yang pasti sudah sangat sering dia lihat di layar TV kelakuan para abdi negeri yang bobrok. Ada di antara mereka yang hobi jalan-jalan, menebar pesona dan sok keren di negeri orang, padahal banyak yang terlupakan di negeri sendiri.
Banyak di antara ‘lonte-lonte berdasi’ ini yang sangat sibuk menjual diri. Ada juga di antara mereka yang sibuk di kantor-kantor penguasa, tak jarang mereka terlihat keluar masuk pintu ‘kerajaan’. Mereka sering tersenyum amat sangat manis ketika ada yang datang mencegat mereka, lalu menyorot atau wawancarai mereka. Sudah pasti senyum malaikat akan terkembang, dan nada bicara dibuat seberkesan mungkin. Barangkali saja banyak yang akan terkesan, begitu mungkin pikir mereka. Persoalan betul atau tidak yang dia umbar, itu urusan belakang.
Para lonte berdasi ini tidak bermain di wilayah kemaluan, namun mereka justru tidak punya malu sama sekali. Tidak ada ke-malu-an lagi disetiap saat mereka melakukan dosa.
Para lonte ini hanya memikirkan diri sendiri, mereka melacurkan harga diri mereka, melacurkan kewenangan dan kekuasaan mereka. Mereka itu adalah pelacur-pelacur professional. Pelacur-pelacur intelek, yang tidak punya lagi rasa malu! Ini sebetulnya adalah pelacuran tingkat tinggi.
Menyulam rasa percaya kita terhadap perempuan setengah baya yang melacurkan diri demi hidup anak-anaknya memang tidak mudah. Tetapi apakah kita sanggup menaruh rasa percaya sedalam-dalamnya kepada para lonte berdasi atau lonte berkelas itu?
Siapkah kita menaruh kepercayaan untuk diwakili para lonte ini? Akankah dan siapkah mereka menjadi perwakilan kita sesungguhnya dan seutuhnya? Yang waras tentu akan berkata “Tidaaaaaaak!”