"Aku ingat betul, sudah 20 lamaran kerja temanku itu ditolak. 19 diantaranya, tegas-tegas menolaknya karena latar belakang bapaknya, yang katanya disinyalir bekas anggota PKI"
Sambil bercerita, ia bersihkan ingus yang terus mengalir di hidungnya, dan air mata yang terlanjur ikut menetes pula.
Ia tak putus-putusnya bercerita…
"Tidak juga lupa dalam ingatanku, saat anaknya yang kedua sakit, si Shadia mungil itu, Rumah Sakit menolaknya, karena tidak sanggup membayar...."
"Kamu tahu, Seminggu yang lalu kejadian yang sama menimpa temanku itu, si Shadia, anak keduanya kembali sakit lagi....tapi ia lagi-lagi di tolak puskesmas yang tak jauh dari tempat tinggalnya, dengan tentu saja alasan yang tak pernah jelas. Mungkin saja karena alasan biaya berobat tak akan terbayar. Shadia meninggal tiga hari kemudian, menorehkan luka mendalam bagi ibunya!"
"Ini bertambah parah lagi, setelah kehilangan anaknya, ia kemudian diusir tuan rumah karena dituduh mencuri uang pemilik rumah".
"Jadi, salahkah aku menampung perempuan itu dirumahku untuk sementara waktu saja?"
"Salahkah aku menampung temanku dirumahku, ketika semua pintu seakan tertutup buat dia? Ketika semua tangan tak lagi ramah untuk diulurkan, dan ketika semua hati terlalu sombong untuk sekedar berbagi rasa?"
"Aku tidak mau menjadi orang yang sempurna seperti itu"
"Aku mau menjadi orang yang mau berbagi, yang mau memberi, yang memiliki tidak sekedar simpati tapi juga mampu berempati"
"Aku tidak akan melihat perempuan itu sebagai seorang lonte. Aku melihatnya sebagai temanku yang butuh pertolongan. Hanya sesederhana itu"