Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kisah Laksamana Cheng Ho Sang Penemu Benua

31 Agustus 2015   13:15 Diperbarui: 31 Agustus 2015   13:15 8913
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada tahun 1421 Armada Cina dengan ribuan kapal raksasanya telah memulai penjelajahan menjangkau ujung-ujung bumi yang lain, jauh sebelum penemu benua dari bangsa Eropa dan bangsa-bangsa lain memulainya. Dengan membawa misi damai, mereka berangkat ke seluruh dunia, berpuluh-puluh tahun sebelum hal itu terpikirkan oleh para penemu benua dari Eropa. Bahkan satu abad sebelum Colombus mengelilingi dunia, orang Cina sudah lebih dulu memulainya. Siapa yang memimpin Armada besar Cina menjelajahi dunia pada masa itu? Dialah Cheng Ho, seorang nahkoda muslim yang membawa pesan perdamaian dan toleransi dalam setiap pelayarannya ke berbagai tempat di dunia. Kali ini, saya ingin menulis kisah Cheng Ho ini dengan sudut pandang sedikit berbeda dari kisah-kisah mengenai Cheng Ho yang dapat kita baca dari berbagai ragam buku sejarah. Saya berkeinginan menulis kembali tentang si Cheng Ho ini, sebetulnya adalah karena untuk kesekian kalinya saya menyempatkan diri berkunjung ke Semarang, dan lagi-lagi Kelenteng peninggalan Cheng Ho mesti saya kunjungi, namanya Sam Poo Kong. Maka terbesitlah keinginan untuk kembali menuangkan kisah Cheng Ho ini lewat tulisan. Kalau tulisan ini lumayan panjang, karena memang butuh kedalaman untuk dapat meresapi kisah Cheng Ho ini.

Menurut catatan sejarah, Cheng Ho lahir tahun 1371 di desa He Dai di provinsi Yunnan. Nama yang pertama kali diberikan orang tuanya pada saat lahir adalah Ma He. Ayahnya adalah seorang petugas desa, dan keturunan mereka berasal dari suku Hui yang dikenal kebanyakan adalah beragama Islam. Sewaktu muda, ayahnya si Cheng Ho (Ma He) itu sudah pernah naik haji, dan sejak kecil pun Cheng Ho sudah diajari bahasa Arab sampai mahir. Mereka adalah muslim yang taat dan berjiwa besar.

Semasa Cheng Ho kecil, pemerintahan Cina dikuasai oleh bangsa Mongol. Namun pada masa itu rupa-rupanya telah terjadi banyak pemberontakan terhadap suku Mongol, dan salah satu yang terhebat adalah pemebrontakan Zhu Yuanzhang di sekitar tahun 1352. Akhirnya, pemberontakan tersebut membuahkan hasil juga, alhasil pada tahun 1368 Zhu Yuanzhang berhasil menguasai Ta-Tu, ibukota Mongol. Setelah berhasil mengusir penguasa Mongol, maka dengan segera Zhu Yuanzhang mengangkat dirinya menjadi kaisar baru, dan tentu saja ia juga mendirikan dinasti baru, yang kemudian diberi nama Dinasti Ming. Pada saat menjadi kaisar, Zhu Yuanzhang memiliki seorang anak bernama Zhu Di. Anak inilah yang kelak akan membuat banyak perubahan besar di Cina, bersama-sama dengan Ma He alias Cheng Ho.

Bertahun-tahun kemudian, di usia yang masih sangat muda yaitu 21 tahun, Zhu Di sudah memimpin pasukannya untuk menyerang pusat kekuatan Mongol yang masih cukup kuat di Yunnan saat itu. Ia ditugasi ayahnya untuk maju pada setiap pertempuran hebat. Yunnan sendiri adalah tempat dimana Cheng Ho dan seluruh keluarganya tinggal. Pada penyerangan tersebut semua tentara dewasa Mongol dibunuh, lalu kemudian para tawanan anak-anak sebagian besar dikebiri dan diharuskan untuk ikut ‘wajib militer’ pada saat itu. Entah sebagai tentara Cina, ataupun harus menjadi pelayan di kekaisaran dan di istana. Salah seorang anak yang ditawan dan dilatih adalah si Cheng Ho ini. Kelak anak ini juga akan menjadi orang terlatih dan kepercayaannya Zhu Di, bersama-sama mengubah Cina dan meninggalkan nama besar untuk dikenang dunia. Cheng Ho dibawa ke rumah Zhu Di ketika ia baru berusia 12 tahun. Di rumah itu ia lantas dijadikan pelayan. Saat itu Zhu Di sudah berusia 23 tahun dan telah diangkat menjadi Pangeran Yen, lalu dialah yang memerintah di Provinsi Utara Cina di ibu kota Mongol terdahulu yaitu Ta-Tu, dan kemudian dalam perjalannnya ia mengganti nama kota tersebut menjadi Beijing. Kemanapun Zhu Di pergi, Cheng Ho selalu diajaknya. Cheng Ho bertumbuh semakin besar dan menjadi kepercayaannya Zhu Di. Ia ikut dalam banyak pertempuran dan belajar tentang banyak hal. Ia tumbuh menjadi pemuda tampan dan gagah perkasa.

Seiring berjalannya waktu, banyak masalah mulai muncul dalam kehidupan Zhu Di. Masalah terberat adalah ketika pihak kekaisaran yang tidak lagi menyukai Zhu Di sangat ingin menangkapnya hidup-hidup. Hal ini terjadi ketika ayahnya yang mantan kaisar itu sudah meninggal dunia, dan yang menjadi kaisar setelahnya adalah saudara tirinya sendiri. Pada saat itu ia memang sudah mendapat informasi bahwa pihak istana mengincar untuk segera menangkap dirinya. Atas nasehat orang-orang kepercayaannya akhirnya ia menyamar sebagai pengemis dan gelandang untuk supaya dapat terhindar dari kejaran pasukan kekaisaran. Hal ini tidak bisa diterima akal sehatnya, dan tentu saja kejadian tersebut membuat amarah meluap dalam diri Zhu Di. Bayangkan saja ayahnya adalah mantan seorang kaisar, namun setelah ayahnya meninggal ia lalu diperlakukan seperti itu. Sikap hatinya tidak menerima diperlakukan seperti itu, ia pun berpikir untuk melakukan sesuatu.

Singkat cerita ia pun mempersiapkan pasukannya secara diam-diam untuk menyerang kekaisaran. Cheng Ho sendiri, sebagai orang kepercayaan Zhu Di saat itu sudah mempersiapkan sekitar 800 laki-laki yang diperlengkapi dengan senjata dan baju besi. Mereka siap menyerang istana kapan saja diperintahkan. Namun rupa-rupanya persiapan mereka sudah tercium oleh Sang Kaisar baru, Zhu Yunwen. Kaisar baru itu pun tentu saja tidak tinggal diam, ia memerintahkan dan mengirim sekitar 500.000 pasukan untuk menumpas Zhu Di, saudara tirinya itu. Dalam perjalanan mereka menuju Beijing, cuaca dingin menjadi penghambat utama, dan oleh karena kurang persiapan maka ada banyak pasukan Zhu Yunwen yang mati kedinginan. Sesampainya mereka di Beijing, kedatangan mereka langsung saja disambut pasukan Zhu Diyang sudah siap sedia. Pasukan Zhu Di memenangkan pertempuran itu dengan mudah.

Lima tahun kemudian Zhu Di menyerang ke Nanjing, dan dengan segala kekuatan yang pasukannya miliki ia kemudian berhasil merampas istana. Setelah perampasan itu ia lalu mengangkat dirinya menjadi kaisar dengan gelar Yong Le. Belum berapa lama menjadi kaisar ia langsung mengangkat orang-orang terdekatnya untuk menjadi abdi-abdi kepercayaan di istananya, termasuk Cheng Ho tentunya. Cheng Ho bahkan diangkat menjadi kepala rumah tangga istana. Sebetulnya nama Cheng Ho berawal dari pemberian nama oleh Zhu Di setelah dia menjabat kaisar. Sebelumnya nama yang dipakai tetaplah Ma He sampai suatu ketika nama Cheng Ho itu diberikan, tatkala Zhu Di sudah resmi menjadi kaisar. Kita semua mungkin hanya mengenalnya sebagai Cheng Ho saja.

Cheng Ho dan Pelayarannya

Dalam menjalankan pemerintahannya, maka Kaisar Zhu Di sangatlah menekankan prinsip persahabatan dengan bangsa-bangsa lain. Tetapi ia juga punya mimpi besar untuk dapat memperkenalkan Cina sampai ke ujung bumi. Salah satu ambisi besarnya adalah untuk memiliki armada laut yang besar serta kuat, dan armada tersebut kelak akan dikirim sampai ke ujung bumi, untuk menemukan benua-benua lain. Cheng Ho diangkat menjadi kepala komandan salah satu armada perangnya. Misi besar tersebut harus terlaksana. Cheng Ho juga dipilih untuk menuntaskan misi besar itu. Persiapan besar pun segera dilakukan. Atas komando dan pimpinan Cheng Ho maka pasukan Zhu Di dapat membuat sekitar 250 kapal harta, 1350 kapal prajurit, 1350 kapal tempur, 400 kapal barang, dan ratusan kapal kecil dan besar lainnya. Ini semua akan dipakai untuk mewujudkan mimpi besar Kaisar Zhu Di atau Yong Le tersebut. Setelah siap, dimulailah pelayaran pertama armada besar Cina itu. Dan tentu yang memimpin pelayaran itu adalah Laksamana Cheng Ho. Ia tak lupa juga mengikutsertakan para penulis, termasuk penulis hebat kenalannya. Penulis yang kelak akan mengabadikan apapun yang terjadi dalam perjalanan tersebut lewat tulisan-tulisannya. Penulis kenalan yang dipakai Cheng Ho menemani dirinya bernama Ma Huan.

Nah, sebelum melakukan perjalanan panjang dan penuh resiko itu, Cheng Ho menyempatkan diri untuk kembali ke Yunnan demi menyambangi makam ayahnya di sana. Cheng Ho memang sangat mengagumi sosok ayahnya itu. Di atas nisan pada makam ayahnya, Cheng Ho pun menulis demikian, “…Ayah Ma tidak tertarik pada kekuasaan ataupun kedudukan. Ia puas hidup seperti orang kebanyakan. Juga berani dan tegas dalam kehidupan sehari-hari. Ketika ia menemukan mereka yang tidak beruntung, ia secara rutin menawarkan mereka perlindungan dan bantuan…” Setelah itu, ia langsung kembali untuk segera menyiapkan perjalanan panjang mengarungi samudera.

Apa tujuan lain ekspedisi Cheng Ho ini sebetulnya? Banyak. Ada ambisi niaga, ekspansi diplomasi politik dan kebanggaan teknologi Tiongkok di bidang maritim, kedokteran, farmasi, pangan, tekstil dan keramik. Tetapi sebenarnya tujuan paling utama dan dhasyat dari Cheng Ho sendiri adalah “Bangsa-bangsa lain kami temui” seperti yang tertulis di atas prasastinya. Juga tentunya, “Budaya-budaya bangsa lain kami pelajari”.

Akhirnya perjalanan pun dimulai. Kapal besar yang dinahkodai Cheng Ho itu memiliki panjang mencapai tak kurang dari 146 meter dan lebarnya sekitar 50 meter. Ukuran kapal tersebut hampir 7 kali lipat lebih besar dari kapal yang dipakai Vasco Da Gama, yaitu dengan panjang hanya sekitar 23 meter dan lebar tak lebih dari 5 meter. Di kapalnya Cheng Ho, telah disediakan juga 60 kamar khusus untuk para pengiring yang ikut, seperti orang-orang penting kerajaan termasuk juga buat para pejabat dan ‘duta besar’ bangsa lain yang ikut serta dalam pelayaran itu. Dalam alur perjalanannya, Cheng Ho ini telah menempuh tujuh ekspedisi maritim untuk menemukan benua-benua. Kebanyakan buku sejarah hanya mencatat nama penjelajah lain semisal Christopher Colombus dan Vasco da Gama. Padahal Cheng Ho juga sudah ada satu abad lebih dulu dari Colombus. Kapal Cheng Ho sepuluh kali lebih panjang dari kapal Colombus. Armada Cheng Ho seratus kali lebih besar dari armada Colombus. Dampak yang ditimbulkan juga berbeda. Ekspedisi Cheng Ho berbuah persahabatan dan pertukaran ilmu pengetahuan, sedangkan ekspedisi Colombus menularkan penyakit dan menimbulkan penjajahan. (Baca juga tulisan sejenis di sini:Potensi Budaya

Dapat kita telusuri bahwa sejumlah kapal yang dibawa Cheng Ho turut bersamanya memang sangat besar dan sudah sangat siap. Ada kapal harta yang diperuntukkan bagi pejabat kerajaan, diperkirakan dapat menampung muatan seberat 7000 ton. Ada Kapal Kuda, kapal ini dipakai untuk mengangkut kuda bagi para pasukan berkuda, selain itu juga kapal ini membawa banyak barang-barang keperluan lainnya dalam perjalanan, termasuk upeti-upeti. Kapal Perbekalan juga turut dibawa. Ribuan ton makanan, daging, sayuran dan berbagai bahan makanan dibawa di kapal ini. Ada juga kapal prajurit yang tentu saja berisi prajurit tempur. Selain itu ada juga Kapal Tempur yang ikut serta, kapal ini berfungi menjaga semua armada bawaan Cheng Ho dari segala macam gangguan yang sekiranya muncul atau menghadang. Kapal Pengangkut Air membawa persediaan air bersih dan air minum untuk persediaan seluruh armada selama dalam perjalanan masuk dalam rombongan besar ini. Ada juga beberapa kapal dayung kecil yang turut ikut serta, berfungis sebagai kapal penarik bila nanti dibutuhkan.

Untuk ikut bersamanya selama dalam perjalanan panjang itu, Cheng Ho juga tak lupa mempersiapkan bgeitu banyak orang. Ada sekitar 30.000 pelaut, ratusan pejabat Ming, 180 tabib, ahli feng shui, pembuat layar, pandai besi, tukang kayu, penjahit, navigator, pembuat peta, ahli perbintangan, koki, ahli tanaman, serta juga para penerjemah dengan berbagai latar belakang dan beragam agama. Lalu, berangkatlah mereka semua mengarungi samudera luas, siang dan malam berada di lautan lepas.

Pelayaran yang dilakukan Cheng Ho ternyata tidak memakan waktu 1 bulan saja, bahkan setelah berbulan-bulan berlayar barulah mereka menemukan daratan pertama. Mereka mendarat pertama kali di Kerajaan Campa di Vietnam. Ini adalah diplomasi dan perdagangan pertama oleh armada Cheng Ho di belahan dunia selain Cina.Terjadilah perdagangan dan tukar menukar cindera mata. Hubungan diplomatik pun mulai terbangun. Mereka disambut hangat di sana.

Mereka kemudian melanjutkan perjalanan menuju dan sampai ke beberapa kerajaan lain, seperti di Kerajaan Siam, kemudian mereka juga singgah di Kelantan dan Pahang di Kerajaan Malaka. Setelah mengetahui bahwa wilayah di sekitar kerajaan Malaka banyak juga dihuni oleh orang Islam, Cheng Ho pun membantu mereka mendirikan beberapa Mesjid di sana. Bahkan ada beberapa awak kapal Cheng Ho yang kemudian tinggal menetap di Malaka oleh karena menikah dengan warga setempat, tentu ini semua atas seijin Cheng Ho.

Dari Kerajaan Malaka, kini armada yang dipimpin Cheng Ho menuju Pulau Jawa di bagian Timur. Namun di Pulau Jawa ini, armada dan pasukan Cheng Ho mendapat sambutan tidak bersahabat. Ketika mereka merapat di bibir pantai, tanpa diduga mereka langsung diserang pasukan setempat. Usut punya usut ternyata saat itu sementara terjadi pertikaian hebat di wilayah yang mereka darati tersebut. Ada sekitar 170 orang awak kapal Cheng Ho yang mati terbunuh. Pada saat itu ada pertikaian antara pasukan Raja Wirabumi dan pasukan Raja Wikramawardhana. Karena kesalahpamahan tersebut Raja Wikramawardhana akhirnya meminta maaf kepada Cheng Ho, pada saat itu pasukannya mengira awak kapal Cheng Ho adalah pasukannya Raja Wirabumi.

Setelah kapal Cheng Ho mendarat, ia dan awak kapalnya kembali melakukan perdagangan dan diplomasi. Cheng Ho menyebarkan agama Islam kepada rakyat setempat. Selanjutnya Cheng Ho meneruskan perjalanannya sampai mencapai kawasan Palembang. Di sana ia kemudian bertemu dengan keturunan Cina lainnya yang sudah terlebih dahulu menetap di sana selama beberapa generasi. Dari sana, Cheng Ho meneruskan perjalanan sampai ke Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Di Aceh ia bertemu orang-orang Islam yang sudah ada di sana sejak lama. Habis dari Aceh, Cheng Ho mengarungi lautan berbulan-bulan lamanya, sampai akhirnya tibalah dia di Kerajaan Ceylon (Srilanka). Ia mendirikan tugu di sana dengan tiga bahasa yaitu Cina, Tamil, dan Persia. Ini adalah simbol toleransi dan perdamaian. Setelah hampir setahun berlayar, Cheng Ho mencapai Calicut di India. Dari India Cheng Ho dan pasukannya bersiap-siap untuk kembali ke Cina melaporkan semua hasil perjalanan mereka kepada Kaizar Zhu Di.

Setelah pelayaran pertama itu menuai sukses, Kaisar Zhu Di memerintahkan mereka untuk memulai pelayaran yang ke dua. Nah, pelayaran yang kedua ini dilakukan mereka dengan tetap menempuh jalur yang sama dengan pelayaran pertama. Pada tahun 1409 Cheng Ho dan pasukannya menyelesaikan pelayaran ke dua mereka. Di tahun yang sama tersebut mereka juga masih terus melanjutkan dengan pelayaran ke tiga, namun dengan rute yang tetap sama. Cheng Ho terus membina hubungan baik dan bersahabat dengan raja-raja di setiap kawasan yang ia kunjungi.

Pada tahun 1411, ketika pelayaran ketiganya akan berakhir, ia menyempatkan diri menyerahkan patung Budha ke sejumlah tempat ibadah kerajaan-kerajaan Budha yang sempat ia singgahi. Ini tentu saja menunjukkan sikap Cheng Ho yang penuh toleransi dan penghargaan tinggi pada agama-agama lain, kendatipun ia sendiri adalah seorang muslim. Pulang ke Cina tahun 1411 tersebut, Cheng Ho dan orang-orangnya menulis lalu membukukan semua hasil perjalanan mereka. Catatan mengenai sejarah, geografi, adat istiadat, dan juga kebudayaan-kebudayaan bangsa lain dibukukan. Ada juga ratusan novel sudah dihasilkan di ibukota Beijing, padahal bangsa Eropa baru memulainya 30 tahun kemudian. Budaya berkembang pesat dalam pemerintahan kekuasaan Zhu Di. Cina semakin terbuka dan berkembang pesat.

Zhu Di memang brilian. Ia juga yang memerintahkan pembangunan Kota Terlarang untuk menjadi area khusus kekaisaran, yang tetap bertahan sampai saat ini. Kaisar yang berpikiran maju ini juga memerintahkan untuk membangun kembali tembok Cina yang sudah sempat rusak karena serangan rakyat Mongol bertahun-tahun yang lalu sebelum mereka menguasai Cina. Ditengah-tengah usahanya Kaisar Zhu Di menyatukan wilayah-wilayah Cina, maka Cheng Ho dan pasukannya kembali melanjutkan ekspedisi ke empat mengarungi samudera raya pada tahun 1413. Pada pelayaran kali ini, Cheng Ho dan pasukannya berhasil mencapai kawasan baru yang berbeda dari perjalanan mereka sebelumnya, yaitu melintasi Laut Arab dan singgah di kota Hormuz di Iran. Setelah ekspedisi ke empat ini usai, Cheng Ho masih melanjutakannya dengan pelayaran yang ke lima. Pada pelayaran ini, ia dan pasukannya berhasil mencapai Pantai Swahili di Afrika. Setelah ekspedisi ke lima selesai, mereka semua kembali ke Beijing pada tahun 1419 dan menetap cukup lama tanpa ada pelayaran apapun.

Setelah vakum cukup lama, Kaisar Zhu Di kemudian menugaskan Cheng Ho untuk melakukan ekspedisi paling besar dalam sejarahnya. Ia menghendaki Cheng Ho dan pasukannya mengelilingi seluruh dunia, tidak hanya pada rute-rute tertentu saja, seperti sebelum-sebelumnya. Cheng Ho menyanggupinya. Maka dengan sigap Cheng Ho mengumpulkan laksamana-laksamana handal dan utama di bawahnya, dan lalu ia membagi tugas buat mereka semua. Kali ini mereka akan berlayar secara berpencar untuk mencapai belahan dunia yang berbeda-beda. Ada 4 laksamana handal dan paling hebat yang dipilih Cheng Ho. Ada yang ditugasi berlayar ke Barat Laut, kemudian yang lain ditugaskan mengambil jalur Khatulistiwa Barat Daya, sementara laksamana yang lainnya lagi ditugaskan untuk pergi ke Samudera Hindia sampai ke Utara Afrika. Komando Utama tetap ada di tangan Laksamana Agung Cheng Ho.

Setelah waktu yang sudah ditentukan tiba, Cheng Ho dan armadanya kembali melalui jalur pelayaran mereka yang biasa, sampai mencapai Mogadishu di Afrika.Setelah mencapai Samudera Hindia, Cheng Ho dan ketiga armada bawahannya berpisah jalan untuk menempuh jalur yang sudah ditentukan sejak awal. Dalam perjalanan kali ini banyak sekali hal baru yang mereka jumpai. Umpamanya, dalam perjalanan tersebut mereka menemukan penunjuk Bintang Selatan, yaitu Bintang Canopus dan lalu menemukan juga Bintang Crucis Alpha yang menjadi penunjuk Garis Bujur. Para kartografer dan ahli-ahli yang ikut dalam pelayaran itu juga mencatat serta melukiskan hewan-hewan khas yang mereka jumpai tatkala mendarat di Australia, hewan khas itu adalah Kanguru. Banyak hal-hal baru juga yang mereka catat dan dokumentasikan. Setelah ekspedisi ke enam usai mereka pun kembali ke Cina.

Cheng Ho semakin bertambah tua usianya. Namun semangatnya tak pernah patah. Sepulangnya ke Cina, ternyata di Cina telah terjadi pergantian kaisar, dan Zhu Di tidak lagi menjabat. Kaisar yang baru tidak menghendaki adanya ekspedisi laut apapun. Padahal dalam hati Cheng Ho masih menyisahkan satu impian lagi, ia masih mau melakukan satu ekspedisi lagi sebagai ekpedisi ke tujuh dan yang terakhirnya. Lama ia harus menunggu sampai waktunya tiba. Pada tahun 1431, ketika usianya sudah semakin menua dan sudah lanjut usia, kesempatan itupun akhirnya dating juga. Ia dapat melakukan ekspedisi terakhirnya.

Dalam ekspedisi terakhirnya ini Cheng Ho mengatakan kepada Ma Huan, penulis yang senantiasa menemani dirinya itu satu keinginan hati. Katanya kepada Ma Huan, “Dalam perjalanan terakhir ini, ada satu hal yang sangat ingin aku penuhi. Aku ingin melihat ka’bah untuk yang pertama dan terakhir kalinya….Aku ingin kita berlayar sampai ke negeri itu.” Tetapi ia lalu mengatakan kepada Ma Huan bahwa sebagai pemimpin yang bertanggungjawab ia tidak dapat meninggalkan kapal yang ia pimpin barang sedetik saja. Jadi ia tidak dapat meninggalkan kapal untuk turun pergi melihat ka’bah meskipun hatinya sangat ingin melakukan itu. Makanya ia membawa Ma Huan kali ini dengan tugas khusus untuknya. Cheng Ho mengatakan bahwa pada saat kapalnya mencapai Afrika dan akan kembali pulang ke Cina, ia bermaksud berlayar melewati Tanah Arab sekali lagi. Pada saat mencapai Arab ia menyuruh Ma Huan untuk pergi ke Mekkah dan melukiskan ka’bah bagi dirinya. Setelah berbulan-bulan berlayar Cheng Ho mencapai Swahili di Afrika. Dalam perjalanan pulang itulah dia kemudian menugaskan Ma Huan untuk pergi ke Mekkah dan melukiskan Ka’bah untuk dirinya. Di Mekkah, Ma Huan menulis dan menggambarkan kondisi kota tersebut, ia juga pergi ke Masjidil Haram dan menggambarkan ka’bah yang akan dipersembahkan kepada Laksamana Agung Cheng Ho ketika pulang nanti.

Pada usia 62 tahun Cheng Ho meninggal dunia dalam perjalanan pulangnya dari ekspedisi terakhirnya. Ia dimakamkan di laut sebagaimana layaknya seorang pelaut besar dimakamkan. Sisa armada yang dipimpinnya kembali pulang ke Cina dengan hati bersedih karena baru saja kehilangan seorang pemimpin besar. Seorang laksamana agung. Setelah Cheng Ho meninggal, Cina dan kekaisaran Ming semakin menutup diri dari dunia luar. Catatan pelayaran dan banyak catatan penting peninggalan Kaisar Zhu Di dimusnahkan dan dibakar. Ini tentu menyebabkan dunia tak banyak mengetahui jasa besar Cheng Ho dan semua armada kapal yang dipimpinnya itu.

Cheng Ho meninggalkan sejumlah peninggalan penting, baik bagi rakyat Cina maupun bagi seluruh dunia. Ia meninggalkan sebuah sistem navigasi, arah pelayaran, dan juga berbagai penemuan penting lainnya. Ia mewariskan sikap toleransi dan persahabatan antar bangsa. Peninggalan Cheng Ho di berbagai kawasan yang pernah disinggahi dan tinggali juga masih terus ada sampai sekarang. Mesjid-mesjid, Kelenteng, Kuil, prasasti-prasasti yang dibangunnya beberapa diantaranya bahkan masih ada sampai sekarang. Kebaikan hatinya, pengabdiannya yang luar biasa, ketulusan hatinya akan tetap tinggal di hati setiap mereka yang pernah mengetahui kisah hidupnya, perjalanannya dan semua ekspedisi hebatnya.

Tujuh kali Cheng Ho berlayar bolak-balik dalam kurun waktu 1405-1432. Di tiap negeri ia mempelajari seluk-beluk budaya setempat. Menurut catatan hariannya, di Semarang ia terpesona menonton wayang kulit namun terkejut melihat keris di pinggang para pria. Di Surabaya ia terheran-heran melihat burung yang berbicara seperti manusia. Di Palembang dan Banda Aceh ia juga mendapatkan pengalaman budaya yang unik bagi dirinya. Ia juga mengamati kehidupan agama-agama. Ia memperkenalkan agama Islam, namun penuh toleran terhadap agama lain. Di berbagai tempat ia membangun rumah ibadah untuk agama-agama lain. Di Sri Lanka terdapat prasasti doa Cheng Ho yang lintas agama. Data Ekspedisi Cheng Ho antara lain dapat dibaca lengkap di buku setebal lima ratus halaman berjudul 1421—The Year China Discovered the World tulisan Gavin Menzies, seorang kapten kapal Inggris.

Salah satu prasasti Di Liu – Chia – Chang tertulis demikian, “…Kami telah melintasi lautan luas dari 10.000 Li dan telah menyaksikan gelombang tinggi seperti gunung di lautan yang menjulang tinggi ke langit. Kami telah mengamati wilayah barbar yang jauh, tersembunyi dalam transparansi cahaya asap biru, sementara layar kapal kami, dengan angkuh membentang bagai awan. Siang dan malam melanjutkan perjalanan, cepat bagaikan bintang, melintasi ombak yang ganas itu…” ---Michael Sendow---

---

(Dari berbagai sumber data)

Ilustrasi: alshafa.files.wordpress.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun