Mohon tunggu...
Anna Maria
Anna Maria Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer | Teacher | Heritage Lover | Kebaya Indonesia

Love my life, my family, my friends, my country, my JESUS CHRIST

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perjuangan Kembali Menuju Tahap Akhir

4 Agustus 2016   18:31 Diperbarui: 4 Agustus 2016   18:59 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tidak tahu siapa saja yang membaca tulisan saya ini. Mungkin akan bosan dengan 'keluhan' saya mengenai kasus kartu kredit saya yang di'bobol'. 

Saya berharap, teman atau kalian yang bekerja di Bank Mandiri, Bank Mega, atau di bank manapun, juga bank sentral Indonesia (Bank Indonesia) melihat tulisan ini. Saya berharap kalian mengubah sedikit sudut pandang Anda, bahwa tidak semua nasabah bermasalah, tapi butuh perlindungan. 

Saya tidak tahu apakah Anda akan tetap membebankan kesalahan sistem Anda atau bisa jadi perlakuan Anda kurang baik kepada nasabah, dan orang di luar sana yang sedang 'mencuri' lagi, semua beban kesalahan itu kepada saya. Whateva! Status saya tetap di posisi benar karena tidak memakai satu transaksi pun di tagihan tersebut. TOLONG BACA SAMPAI AKHIR DAN ARTIKEL SELANJUTNYA. 

(astagah, hidup gw drama bingit sumpaah)

Cerita singkatnya, saya punya dua kartu kredit, 1 dari Bank Mega, dan 1 lagi dari Bank Mandiri. Keduanya terdapat transaksi yang saya tidak tahu itu kok muncul ditagihan sampai limit saya dihabiskan. 

Kartu kredit Bank Mega didapat karena pengajuan aplikasi melalui marketing yang selalu bolak balik datangi ke kantor saya waktu itu dan telponin terus, dan keputusannya saya mau ambil karena butuh untuk keperluan keluarga (yang saya baru paham ternyata kartu itu hanya bisa untuk belanja, apalagi saya tahu itu tidak pakai PIN). Setelah saya tahu itu hanya dipakai untuk belanja saja dan tidak pakai PIN, saya menyampaikan kekecewaan saya ke marketing, dan beliau meresponi: "aktifkan saja dulu mbak, nanti baru dinonaktifkan lagi." Kata teman saya menguatkan, tanda tangan di kartu kredit itu dicek jika tidak sesuai, jadi itu aman. Baguslah jika begitu. Kenyataannya, tanda tangan tidak sama pun, CS Anda malah bilang: itu kan salah merchant. Lho? Serem bgt tanda tangan saya dipalsukan kok reaksi Anda begitu?

Sedangkan kartu kredit Mandiri didapat saat saya ditelpon dari pihak Mandiri yang mengatakan saya mendapat hadiah kartu kredit dari tabungan bisnis saya di Mandiri, tidak lama setelah kartu Mega saya aktifkan.

Soal kronologi sebenarnya saya lelah juga harus cerita berulangkali. Intinya, kartu waktu itu masih ada pada saya dan saya tidak menggunakan kedua kartu tersebut untuk transaksi yg ditagihkan kepada saya.

Satu kartu Bank Mega pernah saya pakai sekali, untuk mencoba bagaimana caranya pakai kartu kredit, waktu itu untuk membeli sepatu di Payless Plaza Semanggi, saya sudah melunasinya. Yah pas saya butuh sepatu karena sudah tidak ada yang layak pakai lagi, saya punya cash hanya saja waktu itu saya ingin mencoba. Ini kali pertama saya pakai kartu kredit. Saya tidak paham betul bagaimana sistemnya hanya bisa bayar nanti. 

Kemudian, kartu kredit Bank Mandiri saya baru aktifkan setelah saya pertimbangkan bertanya kepada CS apakah ini kartu bisa ambil cash. Saudara CS mengatakan bisa dan pakai PIN. Keputusannya saya aktifkan dan saya harus menunggu PIN, berarti aman. Ok donk kan PIN hanya saya yang tahu, kenyataannya? Oh my!

Saya berencana menutup keduanya setelah kembali dari Solo. Karena kesibukan mengurus pindahan kantor yang tutup, saya lupa menonaktifkan. Tapi kartu selalu saya bawa-bawa aman (dompet saya waktu itu di tempat pensil digabung dengan kartu nama dan alat tulis), ini cara aman supaya tidak ada yang mengira bahwa itu barang berharga. 

Ternyata semua perkiraan saya salah. Masih dalam masa sibuk mengurus barang-barang kantor yang dipindah, pagi itu saya menerima tagihan. Dua tagihan kartu kredit atas nama saya, dan saya panik mencari kartu kredit yang masih aman di tempat pensil. Saya kira itu PIN yang akhirnya datang. Saya bingung bagaimana caranya bisa transaksi tapi tanpa PIN, (untuk kartu Mandiri). entah saya salah tangkap, atau saya dibohongi CS. 

Selama tiga tahun mengalami proses panjang, saya dilempar sana sini dan dikecewakan pelayanan yang buruk dari kedua bank. Tapi saya pun tidak melupakan bantuan dari teman-teman dan pihak bank yang masih ada berbaik hati menolong saya mengarahkan, terus terang saya bingung karena itu pertama kali saya pakai kartu kredit. 

Menuju Tahap Akhir

Setelah mengadu sana sini, ke lapor.go.id ditangani BUMN, lapor kepolisian, lapor ke yayasan perlindungan konsumen, berusaha lapor ke Pak Presiden di website lapor presiden yang (mungkin) masih error sampai sekarang, sampai akhirnya saya ke BI.

Sayangnya saya tidak tahu di awal bahwa BI menyediakan jasa seperti ini, ya bukan saya saja, beberapa nasabah di Bank Mega waktu saya ajak ngobrol punya masalah serupa dan mereka tidak tahu apa-apa tentang bantuan yang diberikan BI. Jadi merasa wajar saya kecolongan mau menyanggupi membayar tagihan Bank Mega, saya tertekan dan melihat mama pun yang sudah banyak masalah itu ikutan dicaci maki dan ditekan. Yah mama hanya melindungi anaknya, yang dia percaya memang saya tidak mungkin melakukan hal kejahatan macam itu. 

Dalam kekalutan, saya menghubungi Bapak Pulo Siregar, dari lembaga bantuan hukum yang membantu kasus seperti ini. Beliau membantu saya mengarahkan, dan mengurangi jumlah biaya jasanya karena kondisi ekonomi keluarga yang sedang kekurangan. Tetapi, maaf Pak Pulo, saya sepertinya harus menghadapi ini sendirian, karena ada sesuatu di luar masalah ini (masalah saya tetap dibebankan atau terbebas), dan itu juga untuk kebaikan teman-teman perbankan harus tahu. Mereka tahu, pak. Tapi budeg! Jika mereka ndak budeg, mereka akan mendapatkan untung kelimpahan, selain uang tentu juga kepercayaan dari nasabah. Ya ampun pak, tapi mereka itu lagi budeg, gak papa kali ya klo nanti bawain korek kuping siapa tau banyak congeknya. 

Hasil menunggu analisa dari Bank Indonesia tetap menyatakan bahwa semua itu dibebankan kepada saya, disebut juga bahwa kartu saya yang terbukti yang dimasukan ke mesin EDC. Sedangkan saya menerima itu dengan kondisi balik lagi ke kalut, nangis semalaman, kok  gw rasanya kayak menerima surat putus dari pacaarr.. Seperti ditinggalkan pacar, dan rasanya semua gak masuk akal ketika dia meninggalkan gw yang cantik dan baik ini demi yg lain, iya gak masuk akal bagaimana caranya bilang : ini kartu masih ada di gw gak pernah keluar dari tempat pensil, situ gak percaya klo itu tempat pensil itu masih di tas? kok nuduh keluargaku yang make. Eh mereka ijin lho klo mau minjem duit. Nemu lima ratus aja bilang: "ini 500 punya siapa ? Gw pake ya.. masukin celengan, boleh gak?" 

Terus Anda tanya lagi: "orang terdekat mbak?" maksudnya:" itu pacar, tunangan, suami?" Saya jawab dengan hati pedih; "mas waktu di surat tagihan ini, waktu saya baru putus beberapa bulan sebelumnya.. saya waktu itu jomblo mas, jomblo.. mas ngerti gak sih saya waktu itu jomblooo..gak jadi tunangan, apalagi jadi suamiii.. "

Yah gak apa-apa sih, saya tahu pekerjaan anda itu berat. Ngurusin nasabah banyak kan seluruh Indonesia, dan ya melihat hal serupa eh gak taunya dipake sama sodara atau patjaarr.. Masalahnya tolong Anda pahami juga, kan ini saya nemu fenomena aneh.. kok bisa begini, saya itu melapor lho, bukan menghindar dari kenyataan. Kalau saya pakai ngapain saya repot-repot sampai ke BI dan berusaha ke pak presiden, kan mending nyicil bayar atau yaa minta keringanan krn kondisi ekonomi yang lagi seret. 

Belanja itu bukan tipe saya mas/mbak, kecuali belanja sayur di tukang sayur (beneran lho), gw belum pernah lihat tukang sayur bawa mesin EDC sih sampai saat ini. Saya lihat di sini tagihan tertulis FO (mungkin ya factory outlet entah dimana itu kan gak lengkap, yg gw inget ada tulisan FO), jujur mbak/mas saya malu mengakui bahwa baju dan sepatu saya pakai sampai saat ini seringnya minjem kakak,adek, mama, dan juga dikasih dari sepupu. Saya pernah minjem uang? pernah. tapi saya senengnya ke teman atau saudara dan itu untuk keperluan bisnis, alias untuk barang yang bisa dijual lagi. Sialnya saya baru tahu soal bunga kredit itu beda sama tabungan debit, jd yaa benar juga pilihan saya untuk pinjam teman/saudara itu ndak dipakein bunga untuk balikinnya, yang penting saya kembalikan lagi ke mereka krn mereka juga membutuhkan. 

Oh, kyknya juga ada yg pake nama motor2 itu.. haduh, pak/bu. Anda ngeledek saya? Saya itu gak bisa naik sepeda, apalagi motor. Saya gak bisa nyetir apalagi tahu soal hubungannya dengan itu. Lalu ngapain saya belanja motor2an.

Nah bagaimana dibilang juga itu saya yang pakai, sedangkan toko dan barangnya aja saya gak tau. Satu toko saya tahu itu karena Anda sendiri yg kasih tanda bukti saat saya datang ke customer service. Saya cek tanda tangan beda, tapi kok masih di acc, lho kata teman saya yang pakai dari bank lain itu tanda tangan dicek dan dikonfirmasi. kok saya tidak dapat kabar apapun? Berarti bank Anda tidak aman donk ya. 

Jadi intinya adalah, maaf karena saya tidak pernah pakai kartu kredit dari bank Anda untuk transaksi apapun, saya tidak mau membayar apapun. Saya waktu itu baru mengaktifkan dan menunggu PIN. Saya pun sudah mengajukan bukti. Jadi saya berniat sampai akhir tidak akan membayar tagihan yang bukan saya pelakunya.

Silahkan jika BI blacklist nama saya, silahkan jika saya Anda tekan (meskipun saya tidak mau tapi mau bagaimana lagi), atau Anda mau pukuli saya sampai mati, seperti kasus salah satu bank? silahkan. Karena posisi saya benar, dan status saya BENAR. Anda bilang saya salah, dan harus bayar? silahkan (saya tetap tidak akan bayar). Status Anda itu hanya berlaku di dunia, tapi (maaf ya saya bawa NamaNya) TUHAN tahu bahwa saya itu benar, tidak ada seorang pun di dunia ini yang bisa mengambil status benar saya (dalam kasus ini). Tidak ada satupun yang merenggut kebahagiaan apalagi keputusan saya saya meskipun Anda tekan. lho karena saya benar kok.

Perasaan Saya 

Seperti saya bilang, hidup saya seperti drama. Tidak akan seru jika tidak membahas soal perasaan saya di sini. Perasaan saya hancur,saudara-saudara. Karena terus terang saya waktu itu sudah mulai akrab, dan senang dengan Bank Mandiri. Produknya bagus-bagus, untuk nasabah dgn kondisi keuangan yaa dibilang melimpah juga enggak, mereka masih bisa pakai produk deposito, juga TRM (my favorite), pelayanannya pun juga ramah dan bersahabat. Ohya, saya juga punya beberapa teman, sahabat, bahkan keluarga di Bank Mandiri. Saya punya dua rekening di tabungan Mandiri, karena saya percaya Anda. 

Karena saya menyukai Bank Mandiri, saya melaporkan keganjilan pada website Anda. waktu itu saya dikirimkan email 'penipuan' saya kira dari Mandiri, saya tapi kok aneh, coba klik wah halaman serupa tp alamatnya jd berubah.. Lalu saya melaporkan bahwa ada phising (saya cari tahu apa istilahnya). Saya beri saran untuk menyampaikan itu kepada Anda, supaya tolong beritahu kepada seluruh nasabah lain supaya tidak meng-klik ini. Terakhir saya lihat website Anda pun ada pemberitahuan. Bisa jadi, ada banyak nasabah juga yang menyampaikan hal serupa. Cukup responsif, jadi saya semakin sayang ya sepertinya.

Tapi keramah tamahan Anda berubah menjadi seringai yang kejam, bahkan terus menusuk saya. Saya trauma dan (maaf) jijik sejijik2nya dengan Bank Mandiri atas perilaku Anda kepada saya, karena kasus ini tidak dilayani dengan baik. Rasanya saya ingin menuntut Anda atas gangguan psikologis yang terjadi pada saya ketika mendengar/melihat apapun tentang Bank Mandiri, (maaf) dan apapun yang berhubungan dengan bank. Saya gemetaran, dan saya bisa menangis tiba2 jika teringat akan bank anda, mual dan mules berlebihan menuju demam (krn asam lambung memang tinggi) stress saya kumat. Saya paranoid deg2an lihat kiriman pos ke saya atau email yang ada tulisan bank. Eh maaf saya gak lebay, tapi itu yang terjadi dengan saya. 

Saya baru saja mengajukan mediasi ke Bank Indonesia. Deg2an nya bukan main, saya takut terus terang takut. Takut bukan karena salah. Tapi saya takut ditekan lagi, lalu saya bertindak yang aneh-aneh, seperti nangis, meronta, ngamuk, dsb. Saya takut malah jadi kacau. Padahal saya kan hanya mw nyampein : gak mau bayar krn bukan saya kok. (tegas ya itu). Bahkan saya ingin menyampaikan sesuatu yang itu juga untuk pelayanan bank.

Kalau bank Mega, yaudahlah ya saya no comment. Maaf nama lw udah juelek buanget, ngetnya 1000x. Lho, bukan cuma di saya, kebayakan orang dan pihak yang bekerjasama dengan Anda itu udah eneg sama Anda.  Cuma ada dua orang dari bank Mega yang begitu baik menolong saya dan itu akan saya ingat dan doakan terus, debt collector dan  satu orang staff collection. semoga mereka tetap berada di jalur yang benar. Dan Bank Mega, harus cepat berbenah untuk ini. Kata siapa lw bisa bertahan selamanya? Emang lw tau masa depan? Sudah pelayanan tidak baik, banyak kasus, itu aja udah jelek, belom lagi Anda dicaci maki dan disumpahin banyak orang. Bertobatlah! waktunya sudah dekat.  Anda mau bilang saya pencemaran nama baik? Mending dibilang kenyataan, atau mending anda terima saran dan berbenah lalu banyak doa dan kepercayaan nasabah mengalir kepada Anda? tapi ya, semoga saat ini pun pelayanan Anda juga lebih baik. Semoga benar. 

Ironinya, saya yang gak suka dengan bank, semakin didekatkan dengan orang-orang perbankan. Khususnya dalam bidang pekerjaan yang sedang saya geluti dan itu passion saya, mau gak mau kan kelihatan tulisan Bank Mandiri dan Bank Indonesia di museum-museum atau cagar budaya yang Anda miliki. Dengan perasaan tidak keruan tentunya, sangat karena efek phobia terhadap bank itu belum sembuh. Saya tidak paham, tapi akhirnya menangkap pesan: saya tidak boleh jijik dan dendam dengan siapapun dan apapun itu. Bisa jadi memang ini bukan hanya melulu soal saya, tetapi juga orang lain, yaitu nasabah lain dan juga bank-bank di Indonesia (termasuk Bank Indonesia). 

Saya hanya berbicara dari sudut pandang nasabah yang merasa sangat dirugikan.  

Oh, saya tetap tidak peduli dengan keputusan Anda. Lho, saya punya hak sebagai nasabah, juga sebagai manusia, dan itu tidak bisa diganggu gugat, meskipun Anda lembaga besar. Saya menyerah? Tidak. Saya bertahan bahwa saya benar. Jika saya mau saja bohong bilang: oh kartu hilang, dicuri orang, atau ya saya mengalah mau membayar seperti ke Bank Mega, maaf saya tidak mau pilih itu. Karena nanti Anda pun tidak belajar, belajar untuk jadi lebih baik. 

Coba ubah pandangan Anda terhadap nasabah, pak/bu. Tidak semua nasabah itu niatnya menipu Anda, kan niat kami memang ingin menabung dan bekerjasama dengan Anda. Kalau ada kesalahan sistem dan masih kurang sana sini, saya percaya Anda punya kebijakan lebih baik, yang lebih manusiawi (krn sistem kan hanya alat, kalian lah manusianya yang mengoperasikan). Jangan melulu bilang: tapi sistem, bu.. (lho?)

Anda kan punya nurani, saya tahu Anda pun tak mau rugi, tapi apa bukannya lebih rugi ketika Anda ternyata harus kehilangan banyak nasabah yang ternyata percaya dengan Anda, karena sikap Anda yg terlalu defensif malah menyerang nasabah. Jujurlah dengan perusahaan Anda sendiri donk pak/bu. Hidup gak melulu soal mengeruk uang, dan materi, sama dengan perusahaan. Saya yakin misi dan visi Anda baik untuk yang terlibat di dalamnya. Saya baca kok misi dan visinya indah-indah, tapi itu cuma hiasan klo jauh dari kenyataan. Selama nangis-nangis menderita di kasus ini, saya jd tahu beberapa kasus janggal Anda, dan bagaimana reaksi nasabah terhadap pelayanan Anda. 

Bahkan saat saya melepaskan diri dari Anda, untuk menutup seluruh tabungan Mandiri, karyawan Anda itu santai lho: ooh yaudah.. Lho, saya yang jadi nasabah kan jadi berpikir: berarti karyawannya pun emang gak suka dengan perusahaan tempatnya bekerja. Untuk Bank Mega, Anda tahu gak? karyawannya juga sama lho, jelek2in banknya sendiri. Tuh kan... jadi dibilang saya mencemarkan nama baik? karyawan Anda tidak?

Selanjutnya, saya akan memaparkan apa yang menjadi keluhan saya terhadap pelayanan Anda yang tidak baik itu. Tolong tetap melek, ya. Kuping juga. Hati dan pikiran apalagi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun