Meskipun menunya sederhana yakni nasi dengan lauk seperti tempe atau telur, cara mereka menikmati makanan menunjukkan betapa mereka menghargai setiap berkat yang ada.Â
Tradisi makan dengan tangan juga menjadi pengalaman baru bagiku. Awalnya terasa kurang higienis, tetapi aku mulai memahami bahwa ini adalah bagian dari budaya yang melambangkan hidup sederhana. Momen makan bersama ini bukan hanya soal makanan, tetapi tentang rasa syukur dan kebersamaan.
Mengajar dan Belajar: Membangun Masa Depan
Hari kedua di Pesantren Al Marjan membawaku ke pengalaman unik lainnya: mengajar siswa kelas 7 dan 8. Aku, bersama dua temanku, Kenneth dan Pedro, membantu mereka mempelajari bahasa Inggris dan matematika. Materi sederhana seperti countable dan uncountable nouns menjadi tantangan tersendiri bagi mereka, tetapi semangat mereka untuk belajar sangat menginspirasiku.
Di kelas 8, aku menyaksikan betapa pentingnya pendidikan yang berkualitas. Kami membantu guru menjelaskan sistem linear dua variabel kepada siswa yang antusias. Saya merasa sedikit miris ketika melihat sebagian dari mereka masih kesulitan melakukan pembagian dan perkalian.Â
Pengalaman ini membuatku sadar bahwa pendidikan yang saya dapatkan di Jakarta sangat baik dan saya tidak pernah bersyukur atas kualitas yang saya dapatkan. Saya menjadi sadar bahwa pendidikan adalah kunci untuk membuka lebih banyak peluang bagi para santri-santri ini. Aku merasa terhormat bisa berbagi sedikit pengetahuan, sekaligus belajar banyak dari semangat mereka.
Suku Baduy Luar dan Madu Murni
Pada pertengahan hari kedua di Pesantren Al Marjan, kami mendapat pengalaman yang tak bisa kami lupakan: kunjungan ke desa Suku Baduy Luar. Perjalanan dimulai dengan naik truk bak terbuka, sebuah pengalaman seru karena saya sendiri jarang naik truk bak terbuka di Jakarta.Â
Saat kami tiba, suasana terasa ramai karena ada sekolah lain yang juga mengunjung. Tetapi ketika di dalam desa, rasanya santai dan damai sekali. Hanya ada suara anak-anak bermain dan ayam yang berkokok