Mohon tunggu...
Michael Musthafa
Michael Musthafa Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Pengamat Budaya, Belajar di UIN Sunan Kalijaga jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam. Aktif di Organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Peace Leader Jogja. Tulisan selebihnya lihat di blognya: pojokmichaelmusthafa.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Celoteh Pak Tarjo di Warung

5 Desember 2018   05:11 Diperbarui: 6 Desember 2018   15:46 548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Laaah... Bukannya pemberian Tuhan itu lewat perantara? Makanya kamu jangan malas-malasan menghadiri majlis-majlis. Biar tak salah paham seperti itu."

Merasa tersinggung, Pak Tarjo menaruh pandangan pada Bu Narsih, "Kamu meremehkan kekuasaan Tuhan? Lagi pula, apa kerja bisa menjamin kesejahteraan hidup? Negeri ini terlalu miskin untuk memberiku makan sehari-hari lewat gaji pekerjaan."

"Lalu dari mana kau memberi makan istri dan anakmu?"

"Mencuri."

Jamil terbelakak dan hampir tersendak meminum kopinya. Apa katanya? Mencuri? Benar-benar memalukan, pikir Jamil.

Bu Narsih tak kalah kagetnya, refleks ia mengelus-ngelus dadanya, "Astaghfirullaahh... Tak kusangka-sangka kau melakukan hal setercela itu, Tarjo"

Pak Tarjo menyesap kopinya dan menyulut satu batang rokok lagi. Kepulnya dihisap dan dikeluarkan lagi hingga ke mana-mana. "Mana ada perusahaan yang mau menerimaku, Narsih? Aku tak punya ijazah untuk melamar pekerjaan dan tak punya modal untuk membangun usaha sendiri. Sekarang intinya, aku hanya perlu bangun malam dan beraksi. Dengan itu, hidupku dan keluarga sudah terjamin." imbuhnya.

Bu Narsih mengerutkan dahi, "Salahmu dulu tak mau sekolah."

"Apa yang akan kuharapkan dari pendidikan formal, Narsih? Memangnya apa sumbangan pendidikan terhadap kehidupan orang Indonesia? Mau belajar harus bayar mahal. Lulus belum tentu dapat pekerjaan. Boleh jadi bernasib sama sepertiku. Bukannya bersekolah itu hanya untuk menghabiskan uang?"

Jamil kembali terbelalak. Berani-berani bapak tua ini menghina pendidikan Indonesia. Kali ini ia tak tahan lagi untuk berdiam diri karena menyangkut harga dirinya sebagai penempuh pendidikan. "Kita harusnya dapat melihat bahwa pendidikan telah membantu negara ini maju, Pak. Banyak daerah yang mulai maju karena penduduknya banyak menempuh pendidikan. Saya dengan teman-teman datang ke sini menjadi duta pendidikan, dalam rangka memajukan desa ini dengan cara sosialisasi dan menerapkan hasil pembelajaran kami di kampus."

Bu Narsih tersenyum melihat Jamil mengungkapan pembelaannya terhadap cemoohan Pak Tarjo mengenai Pendidikan. Agaknya anak ini mencerminkan harapan bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun