Diam-diam Bu Narsih mengintip dua orang yang mengunjugi warungnya itu. Dia ingin tahu apakah mahasiswa itu cukup menyenangkan untuk warga desa sini. Apa dia akan memulai percakapan dengan Pak Tarjo? Lama menunggu, tetap hening. Tak ada percakapan berlangsung.
Setelah selesai menbuar kopi, Bu Narsih memberikannya ke mahasiswa itu dan memulai percakapan, "Siapa namamu, Nak?"
Mahasiswa itu menurunkan pandangan ke dadanya. Apa si Ibu ini tak melihat nama yang tertulis di almamaternya itu. Tapi, ia segera sadar bahwa bisa jadi Ibu ini tak bisa membaca. Maka langsung saja ia menyebutkan, "Jamil".
"Nama yang cocok untuk pemuda yang setampan kamu, nak". Puji Bu Narsih.
Pemuda itu tersenyum.
"Alaah... Kamu sok tahu aja, Narsih. Belum tentu kau tahu apa makna nama anak itu." sela Pak Tarjo.
Jamil hanya diam. Bu Narsih menanggapi ujaran Pak Tarjo, "Jangan kira, Jo. Nama 'Jamil' sudah banyak disebut di desa ini dan aku tahu artinya, 'tampan'."
Pak Tarjo tak merespons. Ia kembali menyesap kopinya dan menghabiskan sebatang rokoknya.
"Ngomong-ngomong, kamu gak kerja, Jo? Tiap hari kerjaannya nyantai-nyantai aja di warung. Anak istrimu mau dikasih makan apa kalau kerjamu cuma nganggur saja?" ujar Bu Narsih mengusir keheningan.
"Sudah beberapa kali kubilang padamu, masalah rezeki itu urusan Tuhan. Tak boleh kita sok-sok mencarinya dengan mengerahkan seluruh tenaga. Itu sombong." jawab Pak Tarjo dengan santainya.
Diam-diam, Jamil menyimak percakapan itu.