Mohon tunggu...
Michael Musthafa
Michael Musthafa Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Pengamat Budaya, Belajar di UIN Sunan Kalijaga jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam. Aktif di Organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Peace Leader Jogja. Tulisan selebihnya lihat di blognya: pojokmichaelmusthafa.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Celoteh Pak Tarjo di Warung

5 Desember 2018   05:11 Diperbarui: 6 Desember 2018   15:46 548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: klipingsastra.wordpress.com

Warung Bu Narsih selalu menjadi tempat yang nyaman untuk menyesap kopi. Selain karena tempatnya dekat dengan sawah yang membuat suasananya sejuk, juga karena kopi buatan Bu Narsih yang enak. Kira-kira hampir seenak kopi buatan Mia Clark dalam Novel berjudul "Sunshine Becomes You", yang ditulis oleh Ilana Tan.

Seorang paruh baya itu tiap hari mengunjungi warung Bu Narsih. Sekadar menyesap kopi dan merokok. Sambil lalu juga mengamati sawah-sawah yang amat luas di samping warung. Oh iya, ia membawa rokok, kopi dan gula sendiri dari rumah. Ke warung hanya membeli air hangat dan meminjam gelas. Lalu, ia membikin minuman kopi dengan menu sesuai seleranya.

Bu Narsih sering merasa jengkel dan menganggap ia satu-satunya pelanggan warung yang paling aneh. Apa tidak malu ia datang ke warungku hanya untuk membeli air hangat dan meminjam gelas? Apalagi ini dilakukan tiap hari. Gumam Bu Narsih. Tetapi, lama kelamaan dia menyadari bahwa orang yang sesederhana Pak Tarjo tingkahnya harus selalu dimaafkan. 

Maklum, dia bukan orang yang menempuh pendidikan formal selama hidupnya dan memang tak pernah bermimpi untuk menempuhnya. Kerjaannya hanya ngopi, ngerokok, tidur. Jadi, kalau ia tahu tentang isu-isu yang sedang hangat, pasti itu didapatnya dari warung Bu Narsih. Oh iya, lupa. Dia juga mandi, tiga hari sekali. Lumayan tak terlalu bau kalau duduk disampingnya.

Seandainya dia menempuh pendidikan, minimal lulus SD saja, ia pasti akan gengsi melakukan hal seperti itu. Karena pendidikan, menurut Pak Tarjo, memang di-setting untuk memberi porsi besar untuk rasa "gengsi". Lihat orang-orang akademis yang bertahun-tahun bergelut dengan materi-materi, yang menurutnya lagi, murahan. Mana mungkin mereka akan percaya diri untuk berpenampilan dan bersikap seperti Pak Tarjo? Tidak ada. 

Para akademisi sedikit banyak telah mempersempit pergaulannya. Kalau tidak dengan sesama akademisi tak mau mengobrol, semua orang dianggap rendah dan hanya dirinya yang tinggi, semoga orang itu bodoh dan dirinya saja yang pintar. Lalu apa gunanya mengobrol dengan orang bodoh? Sama sekali tak berfaedah.

Seorang Mahasiswa datang dengan memakai celana jeans dan baju almamater kampusnya. Ia tengah menjalani KKN di desa itu sejak beberapa hari lalu. Misinya adalah untuk memajukan desa dan membuang penyakit-penyakit berupa segenap permasalahan moral dan pendidikan. 

Orang seperti Pak Tarjo bisa jadi dianggap penyakit, karena dia tidak menghargai keberadaan satuan pendidikan. Maka, ia harus diberantas. Apa iya Pak Tarjo itu adalah penyakit?

Si Mahasiswa memesan kopi dan memasukkan gorengan yang ada di meja ke mulutnya. "Berapa harga gorengan ini, Bu?" tanyanya.

Sontak Bu Narsih menoleh, "itu dua ribu, tiga, nak. Kalau satu harganya seribu"

Mahasiswa itu berpikir sejenak. Ternyata harga gorengan di  sini masih normal layaknya di borju-borju Jogja. Gumamnya. Ia kembali memakan satu per satu, lalu duduk di samping Pak Tarjo. Pak Tarjo tetap saja berasyik-asyik dengan kepul rokoknya. Sesekali berdeham. Tak ada tanda-tanda bahwa ia ingin menyambut si Mahasiswa.

Diam-diam Bu Narsih mengintip dua orang yang mengunjugi warungnya itu. Dia ingin tahu apakah mahasiswa itu cukup menyenangkan untuk warga desa sini. Apa dia akan memulai percakapan dengan Pak Tarjo? Lama menunggu, tetap hening. Tak ada percakapan berlangsung.

Setelah selesai menbuar kopi, Bu Narsih memberikannya ke mahasiswa itu dan memulai percakapan, "Siapa namamu, Nak?"

Mahasiswa itu menurunkan pandangan ke dadanya. Apa si Ibu ini tak melihat nama yang tertulis di almamaternya itu. Tapi, ia segera sadar bahwa bisa jadi Ibu ini tak bisa membaca. Maka langsung saja ia menyebutkan, "Jamil".

"Nama yang cocok untuk pemuda yang setampan kamu, nak". Puji Bu Narsih.

Pemuda itu tersenyum.

"Alaah... Kamu sok tahu aja, Narsih. Belum tentu kau tahu apa makna nama anak itu." sela Pak Tarjo.

Jamil hanya diam. Bu Narsih menanggapi ujaran Pak Tarjo, "Jangan kira, Jo. Nama 'Jamil' sudah banyak disebut di desa ini dan aku tahu artinya, 'tampan'."

Pak Tarjo tak merespons. Ia kembali menyesap kopinya dan menghabiskan sebatang rokoknya.

"Ngomong-ngomong, kamu gak kerja, Jo? Tiap hari kerjaannya nyantai-nyantai aja di warung. Anak istrimu mau dikasih makan apa kalau kerjamu cuma nganggur saja?" ujar Bu Narsih mengusir keheningan.

"Sudah beberapa kali kubilang padamu, masalah rezeki itu urusan Tuhan. Tak boleh kita sok-sok mencarinya dengan mengerahkan seluruh tenaga. Itu sombong." jawab Pak Tarjo dengan santainya.

Diam-diam, Jamil menyimak percakapan itu.

"Laaah... Bukannya pemberian Tuhan itu lewat perantara? Makanya kamu jangan malas-malasan menghadiri majlis-majlis. Biar tak salah paham seperti itu."

Merasa tersinggung, Pak Tarjo menaruh pandangan pada Bu Narsih, "Kamu meremehkan kekuasaan Tuhan? Lagi pula, apa kerja bisa menjamin kesejahteraan hidup? Negeri ini terlalu miskin untuk memberiku makan sehari-hari lewat gaji pekerjaan."

"Lalu dari mana kau memberi makan istri dan anakmu?"

"Mencuri."

Jamil terbelakak dan hampir tersendak meminum kopinya. Apa katanya? Mencuri? Benar-benar memalukan, pikir Jamil.

Bu Narsih tak kalah kagetnya, refleks ia mengelus-ngelus dadanya, "Astaghfirullaahh... Tak kusangka-sangka kau melakukan hal setercela itu, Tarjo"

Pak Tarjo menyesap kopinya dan menyulut satu batang rokok lagi. Kepulnya dihisap dan dikeluarkan lagi hingga ke mana-mana. "Mana ada perusahaan yang mau menerimaku, Narsih? Aku tak punya ijazah untuk melamar pekerjaan dan tak punya modal untuk membangun usaha sendiri. Sekarang intinya, aku hanya perlu bangun malam dan beraksi. Dengan itu, hidupku dan keluarga sudah terjamin." imbuhnya.

Bu Narsih mengerutkan dahi, "Salahmu dulu tak mau sekolah."

"Apa yang akan kuharapkan dari pendidikan formal, Narsih? Memangnya apa sumbangan pendidikan terhadap kehidupan orang Indonesia? Mau belajar harus bayar mahal. Lulus belum tentu dapat pekerjaan. Boleh jadi bernasib sama sepertiku. Bukannya bersekolah itu hanya untuk menghabiskan uang?"

Jamil kembali terbelalak. Berani-berani bapak tua ini menghina pendidikan Indonesia. Kali ini ia tak tahan lagi untuk berdiam diri karena menyangkut harga dirinya sebagai penempuh pendidikan. "Kita harusnya dapat melihat bahwa pendidikan telah membantu negara ini maju, Pak. Banyak daerah yang mulai maju karena penduduknya banyak menempuh pendidikan. Saya dengan teman-teman datang ke sini menjadi duta pendidikan, dalam rangka memajukan desa ini dengan cara sosialisasi dan menerapkan hasil pembelajaran kami di kampus."

Bu Narsih tersenyum melihat Jamil mengungkapan pembelaannya terhadap cemoohan Pak Tarjo mengenai Pendidikan. Agaknya anak ini mencerminkan harapan bangsa.

"Jangan terlalu banyak pakai sasi-sasi, Nak. Aku tidak mengerti. Bicaralah memakai bahasa yang bisa aku dan Narsih mengerti." Jamil, hanya diam. 

Pak Tarjo kemudian meneruskan kata-katanya, "Memangnya sebesar apa pengaruh pendidikan pada kehidupan kita? Apa betul yang kalian materi yang kalian pelajari berlaku untuk kehidupan sehari-hari? Kamu tahu harga satu gorengan itu berapa? Seribu. Kalau kalau kamu beli dua ribu, kamu dapat tiga. Bukankah itu menyalahi hukum matematika? Sekarang kamu mengerti kan bahwa pelajaran di kelasmu itu hanyalah omong kosong."

Jamil hanya bergeming. Ia berpikir dan setengah mengamini pernyataan Pak Tarjo. Benar juga apa yang dibilang bapak tua ini. Gumamnya dalam hati. 

Beberapa saat kemudian, Pak Tarjo melanjutkan ujaranya, "Jangan kira karena nasibku seperti ini, lalu aku tidak mengawasi keadaan sekitar, Nak. Aku memang pencuri. Tetapi, aku hanya mencuri beberapa persen harta milik orang kaya hanya untuk mencukupi kebutuhanku dan keluargaku. Apa kau berpikir itu menjijikkan? Lebih menjijikkan mana antara aku dan pejabat-pejabat, yang katanya pernah menempuh pendidikan setinggi-tingginya, yang menelan uang miliaran?"

Tetap tak ada respon apa-apa dari Jamil. Dia menyadari ungkapan bapak tua itu sangat perlu ditelan. Tetapi, sebentar dulu. Siapa yang memberitahu pak tua ini tentang kabar itu? Dari mana dia tahu bahwa banyak pejabat yang korupsi? Bukannya dia kerjanya nimbrung di warung saja?

"Tak usah kau bertanya-tanya dari mana aku tahu berita itu, Nak. Sebagian besar waktuku telah kuhabiskan di warung ini dan telah banyak orang yang berkunjung ke sini membahas persoalan itu. Setidaknya aku sedikit tahu tentang keadaan. Bagaimana denganmu? Apa saja yang kau dengar selama ini?" ujar pak Tarjo seolah mengerti apa yang tengah dipikirkan Jamil.

Tak menunggu jawaban dari Jamil, Pak Tarjo menghabiskan kopinya dan meninggalkan uang seribu untuk air hangatnya. Kemudian, ia melangkah meningalkan warung. Tak peduli apa yang tengah berkecamuk dalam pikiran Jamil, ia membiarkannya menemukan sendiri jawaban-jawabannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun