Wayang Potehi adalah salah satu jenis wayang yang berangkat dari negara Cina. Dibawa oleh perantau asal Cina yang mendarat di Nusantara pada Zaman dahulu.
Nama aslinya adalah Pouw Tee Hie yang diambil dari dialek Hokkian yang artinya boneka sarung. Tingginya sekitar 30cm dan lebarnya kurang lebih 15cm dengan kepala, tangan, dan kaki yang terbuat dari kayu, sedangkan bajuya terbuat dari kain Blacu.
Sama seperti Wayang Kulit, Wayang Potehi diiringi dengan musik oleh 3 pemusik dan dimainkan oleh dalang dan asistennya. Dalam menampilkan Wayang Potehi, dibutuhkan beberapa instrumen musik  seperti, Erl Hu (biola besar), Yana (biola kecil), Piat Ko (drum), Twalo, Dongko ( gong kecil) dan Yang Cing. Kisah yang diangkat adalah kisah tentang kepahlawanan, raja, dan kehidupan dewa.
Menurut legenda, Wayang Potehi diciptakan oleh 5 narapidana yang dijatuhi hukuman mati pada masa Dinasti Tang. Mereka bermain dengan sebuah kain persegi empat yang salah satu ujungnya diikat sehingga terbentuk seperti boneka yang memiliki kepala, badan dan tangan.
Hal ini dilakukan untuk menghibur diri mereka sendiri sehingga tidak teringat dengan hukuman mati yang akan mereka jalani. Boneka tersebut digerakkan seperti sedang memainkan wayang. Perlengkapan makan dan masak merupakan alat musik yang digunakan untuk mengiringi permainan tersebut pada saat itu.
Raja Tiu Ong mendengar hal tersebut lalu meminta mereka untuk tampil di depan raja. Akhirnya mereka berhasil membuat Raja Tiu Ong senang sehingga mereka dibebaskan dari hukuman mati. Setelah keluar dari penjara, mereka tetap menggelar pertunjukan Wayang Potehi sehingga Wayang Potehi dapat dikenal masyarakat.
Di Indonesia sendiri Wayang Potehi pernah dilarang oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1967 dengan peraturan presiden no.14 yang berisi tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat masyarakat Tiong Hua di Indonesia. Tepatnya dari tahun 1967 sampai 1998 budaya Cina dilarang.Â
Zaman-zaman Soeharto merupakan masa kelam budaya Cina dimana Presiden Soeharto ingin melakukan asimilasi terhadap orang-orang Tiong Hua dengan membuat kebijakan-kebijakan yang cukup ketat dalam pelarangan budaya Cina.
Saat itu, masyarakat Tiong Hua hanya diperbolehkan menggelar perayaan dan kesenian di lingkup internal dan tidak mencolok. Meskipun kebijakan itu menghendaki kebudayaan Cina dilaksanakan di lingkup internal seperti di kelenteng tapi kenyataannya, mereka sering di razia oleh petugas pemerintah untuk menghentikan pertunjukan mereka.
Hal itu menyebabkan hanya segelintir orang yang mengetahui dan merasakan budaya Wayang Potehi yang sebenarnya. Pada zaman reformasi, masyarakat Tiong Hua di Indonesia baru dapat mempertunjukan kebudayaan mereka bahkan hari raya Imlek pun menjadi hari raya nasional. Semua itu dapat terjadi karena Presiden Abdurrahman Wahid menghendaki untuk mencabut peraturan presiden no.14 itu.
 Secara tradisi, Wayang Potehi dipertunjukan untuk menyembah dewa dan para leluhur di kelenteng-kelenteng. Biasanya acara ini berlangsung pada acara tahunan seperti, Tahun Baru Cina, Cap Go Meh, Festival Tujuh Bulan, Sembahyang Rebutan, dan ulang tahun dewa utama.Â
Orang-orang yang berdoa disana juga dapat meminta cerita yang akan ditampilkan. Sebelum dimulai, izin dan persetujuan dari dewa harus diminta dalam menentukan cerita yang akan ditampilkan dengan melakukan Ritual Poah-poe.
Satu cerita dapat diselesaikan maksimal 3 bulan. Acara ini dilaksanakan dalam 2 sesi yaitu jam 3.30 sampai 5.00pm dan 7.00 sampai 9.30. Biasanya satu cerita dapat dimainkan dalam 2 sesi yang berkelanjutan.
Masa sekarang ini, Wayang Potehi sudah tidak popular lagi dan hanya sedikit orang yang mengetahuinya karena kalah tenar dengan Barongsai dan Liong. Salah satu aktivis Potehi, Toni Harsono mengatakan kalau dalang Potehi sudah tinggal 12 orang sepengetahuan dia.
Hal ini disebabkan oleh rentan waktu yang cukup panjang dimana Wayang Potehi tidak dikenalkan kepada masyarakat luas. Walaupun Presiden Abdurrahman Wahid berhasil melegalkan budaya Cina,
Wayang Potehi kurang diminati. Tentu saja, hal itu berdampak langsung terhadap dalang Potehi. Rata-rata pemasukan setiap pertunjukan Wayang Potehi hanyalah sebesar 500.000 Rupiah yang dibagi 5 orang. Maka dengan itu, tidak heran apabila Wayang Potehi tidak berkembang pesat layaknya Barongsai dan Liong.
Selain itu semua, Wayang Potehi kurang diminati penduduk Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor lain. Banyak penonton mengatakan kalau cerita yang disuguhkan lewat Wayang Potehi terbilang cukup aneh mungkin karena masyarakat Indonesia tidak mengenal makna dan tradisi yang terkandung di dalam sebuah cerita Wayang Potehi.
Karena kurangnya informasi mengenai Wayang Potehi maka, karakter Wayang Potehi terasa asing bagi masyarakat Indonesia yang terus berkembang  dan kurang mempelajari kebudayaan masa lampau.
Seiring perkembangan zaman yang begitu pesat, masuklah budaya-budaya asing seperti film yang berhasil memengaruhi pikiran manusia modern Indonesia sehingga masyarakat Indonesia saat ini melihat, kalau menonton film lebih menarik dibanding melihat pertunjukan seperti Wayang Potehi.
Saat ini, Wayang Potehi masih dipertunjukan di beberapa bagian Indonesia dan belum kehilangan keberadaanya karena masih terdapat orang yang peduli untuk menjaga kebudayaan tersebut tetap hidup.
Jika melihat kondisi modern ini, dapat diperkirakan Wayang Potehi akan kehilangan keberadaannya sebagai budaya Indonesia akibat tidak adanya pemuda Indonesia yang memiliki kesadaran untuk tetap menjaganya hidup. Maka itu, mari , kita sebagai pemuda Indonesia yang sadar akan banyaknya budaya Indonesia yang memiliki nilai yang sangat tinggi, menjaga budaya tersebut tetap hidup sampai kapan pun bangsa ini berdiri.
Daftar Pustaka :
- Almost lost, the art of puppet theatre, Jakarta Post
- The 'talking machine' comes to the Dutch East Indies: The arrival of Western media technology in Southeast Asia / 269
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H