Siang itu memang langit agak mendung. Mirip suasana hati seorang pemuda yang sedang berjalan di atas trotoar pinggiran pertokoan di sebuah kota.
Kendaraan angkutan umum hilir mudik di dekatnya. Ada yang sesekali melaju agak pelan di dekatnya, lalu kondektur berbaju lusuh dari dalam angkutan tersebut mulai menawarkan tumpangan satu dua kali kepadanya. Kadang ada juga tukang ojek yang langsung berhenti di dekatnya lalu menawarkan tumpangan sembari menanyakan tujuannya.
Sama seperti beberapa kondektur yang berpakaian lusuh tanpa peduli apa penilaian orang lain tentang penampilan mereka. Demikian pula pikirannya yang sedang lusuh, tidak peduli terhadap jasa tumpangan yang sudah ditawarkan berkali-kali. Ia berlalu begitu saja dengan tanpa mengurangi kecepatan gerak kakinya seolah sedang tidak terjadi apa-apa.
Iwan Falls yang menyanyikan lagu berjudul "Sarjana Muda" yang sempat didengarnya beberapa hari lalu sambil menyeduh secangkir teh di beranda rumah seperti terngiang di telinganya. Seolah lagu tersebut sedang menggambarkan situasi yang sedang terjadi pada dirinya. Semakin lama ia berjalan lagu tersebut seperti begitu kuat berdengung di pikirannya.
Berjalan seorang pria muda
Dengan jaket lusuh di pundaknya
Di sela bibir tampak mengering
Terselip sebatang rumput liar
Ia lalu bergumam dalam hatinya "Ah, untunglah aku tidak sedang menyelipkan batang rumput liar di bibirku. Jika tidak, tentu aku lah pria galau yang digambarkan mas Iwan dalam lagunya".
Biasanya dia suka menyelipkan memang bukan batang rumput tapi batangan korek api di sela bibirnya, untuk menggantikan selipan rokok yang sudah diusahakannya berhenti dilakukan sejak tiga bulan yang lalu. Entah mengapa hari ini ia enggan untuk menyelipkan batangan korek api dibibirnya.
Selesai dengan gumamannya, lirik lagu Iwan Fals kembali memenuhi kepalanya.
Jelas menatap awan berarak
Wajah murung semakin terlihat
Dengan langkah gontai tak terarah
Keringat bercampur debu jalanan
Ia menengadah ke langit. Dilihatnya langit memang sedang mendung. Sambil terus berjalan ia lalu melamun.Â
"Bisa-bisanya, ya, Iwan mengarang lagu yang mirip dengan situasiku saat ini. Apakah Iwan sudah memprediksi bahwa situasi seperti ini akan terjadi pada anak muda yang sedang mencari kerja seperti diriku? Atau mungkinkah Iwan mempunyai indra ke enam yang bisa membaca situasi yang terjadi di sekitarnya?."
Ia tersenyum-senyum sendiri karena sudah mendugai Iwan memiliki indra ke enam. Tidak lama berselang akhirnya lirik lagu Iwan Fals bergaung lagi dalam pikirannya.
Engkau sarjana muda
Resah mencari kerja
Mengandalkan ijasahmu
Belum sampai selesai lirik lagu tersebut hingga pada bagian akhir, ia sudah dikejutkan oleh suara seorang perempuan yang hampir bertubrukan dengannya dari arah yang berlawanan. "Hati-hati, dong, kalau jalan. Mata itu dipakai, dong." Kata wanita tersebut dengan ketus sambil terus berlalu pergi.
Ya, mungkin bukan karena matanya yang tidak dipakai untuk melihat jalan. Hanya saja, pikirannya yang sedang menerawang kemana-mana menyebabkan pandangan ke depannya buyar dan hampir menabrak perempuan tadi.
Tidak jauh dari tempat tersebut, akhirnya ia sampai di persimpangan. Sekitar tiga meter setelah mengambil belokan ke kanan, maka akan sampai di sebuah kantor yang ia tuju. Setelah sekitar beberapa bulan yang ia sendiri sulit untuk mengingatnya kembali karena terlalu banyak bulan yang dilaluinya dengan status penganguran. Ia harus berhadapan dengan urusan melamar pekerjaan kantoran untuk kesekian kalinya lagi.
Pernah kawan seangkatannya yang sudah sama-sama menyelesaikan kuliah, yang setelah menyelesaikan kuliah langsung lulus dalam tes Calon Pegawai Negri Sipil (CPNS) berceloteh ketika mereka sedang kumpul bersama kawan-kawan lainnya.
" Bro, kasian orang tuamu. Sekian banyak uang dihabiskan untuk kuliahmu, tapi hasilnya tidak ada. Coba uang itu dipakai buat piara ternak, mereka pastinya sudah jadi juragan sapi terkaya." Sambil tertawa terbahak-bahak yang diikuti oleh tawa teman-teman lainnya.
Ia hanya tersenyum menyikapi guyonan penuh sinis dari teman-temannya. Dia hanya coba memaklumi keadaan saat itu bahwa temannya berkata demikian bukan dari ungkapan hatinya. Itu semua terjadi akibat efek dari kesekian botol alkohol yang sudah mereka teguk bersama.
Namun, walau dibicarakan di saat mereka sedang sama-sama mabuk, ternyata kata-kata itu terus terngiang dan membuatnya malu pada dirinya sendiri.
Pernah juga di suatu pagi yang memang sulit untuk ia lupakan. Ibunya berdiri di depan pintu kamar. Sambil menggedor pintu kamar ibunya berteriak " Jhon, bangun sudah! Tidak sama kayak anak lain yang bangun pagi-pagi sekali. Bagaimana bisa dapat kerja kalau bangun pagi saja tidak bisa. Pikirmu nanti ada pekerjaan yang datang bangunkan dan bilang lamarlah aku?". Kemudian sambil menghentakkan kaki di depan pintu kamar, ibunya pun pergi.
Memang ibunya tahu bahwa Jhon suka memperbaiki barang elektronik teman-temannya atau tetangganya di malam hari. Bagi Jhon, inspirasi kerja yang baik adalah malam hari.
Kebiasaan itu sudah ia terapkan sejak masih duduk di bangku kuliah. Apalagi di saat mendekati ujian akhir semester. Sudah menjadi kebiasaannya untuk bergadang.
SKS atau Sistem Kebut Semalam dalam belajar mesti diterapkan jika ia ingin mendapatkan nilai tinggi dalam ujian. Belajar jauh-jauh hari baginya kurang berfaedah. Untuknya, belajar jauh-jauh hari itu sama saja dengan belajar banyak, tahu sedikit, lalu lupa semua.
Kebiasaan ini terbawa hingga selepas kuliah. Khususnya dalam mengerjakan sesuatu, bergadang adalah momen terbaik, yang akhirnya membuatnya telat bangun dan diteriaki ibunya seperti saat itu.
Ibunya tidak peduli apa yang ia lakukan semalam. Intinya ia jangan bangun kesiangan. Ia hanya yakin dalam hati bahwa itu adalah salah satu cara ibunya untuk mendorong dirinya agar menjadi orang yang lebih baik.
Memang, sesekali, uang hasil keringatnya memperbaiki barang-barang elektronik sengaja ia gunakan untuk membeli kebutuhan dapur seperti membeli beras 50 kilogram, sayuran, lauk pauk, kopi, gula dan berbagai buah-buahan.
Bahkan pernah pada suatu kesempatan, walau uang hasil keringatnya tidak seberapa, namun tetap dipaksakan untuk membeli rice cooker bermerek dengan harga mahal untuk menggantikan yang lama yang dibeli ibu yang sudah mulai rusak. Hal ini sengaja ia lakukan untuk mendapatkan pengakuan dari ayah dan ibunya bahwa ia mampu menghasilkan uang tanpa harus menjadi pekerja kantoran. Ia ingin meyakinkan keluarganya bahwa ia tetap bisa membantu memenuhi kebutuhan keluarga dari usaha kecil-kecilannya sebagai tenaga servis barang elektronik.
Namun, bagi ayah dan ibunya, bahkan bagi beberapa anggota keluarganya, ia tetap dipandang sebagai pengangguran. Bagi keluarganya, jika sudah selesai mengenyam pendidikan sarjana, maka kerja yang mesti dilakoni adalah kerja kantoran. Selain kerja kantoran, bagi keluarganya, kerja apa saja akan tetap dianggap sebagai pengangguran.
Dua hari lalu, seorang temannya mengirimkan pesan via Whatsapp bahwa di kantornya sedang dibuka lowongan kerja.
Sebenarnya, sudah banyak temannya yang memberikan informasi lowongan kerja sembari dia sendiri berusaha untuk mencari tahu tempat lain yang sedang membutuhkan tenaga kerja baru. Namun, dari sekian banyak lowongan kerja tersebut, belum ada satu pun yang menerimanya.
Ada juga tempat lowongan kerja yang sengaja tidak didatanginya karena ia rasa tidak sesuai dengan jurusan kuliah dan minat kerjanya. Pernah ada temannya yang mengusulkan kepadanya untuk melamar kerja sebagai kuli semen pada sebuah toko. Ia berpikir keras, apakah temannya memang berniat ingin membantunya mencari pekerjaan atau sekadar membuat lelucon atas status penganggurannya?.
Setelah dua hari informasi soal lowongan kerja diberitahu, ia sengaja bangun pagi-pagi sekali agar bisa berangkat lebih awal karena kebetulan ada dua tempat lowongan kerja yang harus ia tuju. Ibunya dengan cepat-cepat menyiapkan sarapan pagi sebagai bentuk dukungan kepada dirinya dengan dihiasi senyum bahagia bercampur bangga pada wajah paruh baya tersebut.
Tempat pertama yang ia datangi hari itu dengan mentah-mentah menolak dirinya. Kata direktur perusahan yang ia temui bahwa mereka mencari orang yang sudah mempunyai pengalaman bekerja minimal lima tahun. Namun, jangan lima tahun, pengalaman satu tahun saja bekerja sebagai pegawai kantoran ia tak punya.
Dalam perjalanan menuju ke tempat lowongan kerja kedua itu lah lagu Iwan Fals bergaung dalam kepalanya yang kadang diselingi senyum ibunya muncul di pelupuk mata. Dengan wajah sedih, ia merasa bersalah  akan membuat senyum di wajah ibunya nanti hilang jika ia gagal lagi kali ini.
Dengan langkah agak ragu akibat berbagai kegagalan yang ia alami selama ini, akhirnya ia memberanikan diri untuk memasukan lamaran di kantor yang sedang ia tuju tersebut. Setelah menyerahkan berkas ke bagian HDR di kantor Lembaga Swadaya Masyarakat tersebut, ia diberitahu menunggu sejenak untuk langsung bertemu dengan direktur yayasan tersebut.
Setelah lima belas menit menunggu, akhirnya ia dipersilahkan masuk ke dalam ruangan direktur yayasan tersebut. Awal hingga pertengahan pembicaraan dan tanya jawab, semuanya berjalan lancar.
Pertanyaan yang sejak awal pembicaraan dalam hati ia harapkan tidak ditanyakan, yang sudah membuatnya merasa nyaman sejauh itu, pada bagian akhir ternyata muncul juga. Tentu saja pertanyaan itu adalah tentang pengalaman bekerja. Pertanyaan yang sudah membuatnya kehilangan kesempatan untuk memahat senyum bangga di wajah ibu dan semua keluarganya.
Akibat pertanyaan tentang pengalaman kerja itu, ia tidak diterima sebagai pegawai di beberapa kantor yang sudah dilamarnya. Walau demikian ia tetap menjawab secara jujur tanpa mengarang sedikit pun cerita tentang pengalamannya bekerja. Wajah direktur yang awalnya antusias terhadap dirinya, akhirnya berubah agak kecewa setelah mendengar bahwa ia belum mempunyai pengalaman bekerja sama sekali.
Dalam hatinya ia bergumam " Akhirnya harus gagal lagi karena pertanyaan sial yang satu itu". Tiba-tiba banyangan bagaimana senyum mengembang di wajah ibunya ketika menyiapkan sarapannya pagi tadi muncul depan matanya. Seketika itu juga wajahnya berubah menjadi semakin sedih. Ia takut senyum di wajah ibu nantinya akan hilang ketika tahu ia gagal lagi.
Sebelum berpamitan pulang dengan direktur tersebut, tiba-tiba bayangan S. Ramanujan dalam film The Man Who Knew Infinity muncul. Ia bimbang apakah harus mengutarakan apa yang ingin disampaikannya atau diamkan saja.
Akhirnya, mengingat dalam tanya jawab tadi memang direktur tersebut sepertinya fasih berbahasa inggris dan berpikir sudah kepalang basah sekalian saja gundahnya, akhirnya ia putuskan untuk menyampaikan kata-katanya.
Dengan ungkapan bahasa inggris yang agak kaku sembari menjabat tangan dan menatap mata sang direktur, dengan tanpa ragu ia mengutip S. Ramanujan "what you see now might ordinary glass, I promise you will soon remain to see a diamond". Dengan lega dan langkah tegap tanpa beban, ia berjalan santai meninggalkan kantor tersebut.
Seminggu kemudian, ia selalu bangun pagi menikmati sarapan sembari memandangi senyum bangga menghias di wajah ibunya. Ia pun tak pernah disindir lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H