Maria, jangan bosan membaca dialog antara aku dan tuan segumpal daging yang bernama hati ini.
Aku katakan, "kalau benar begitu pandanganmu terhadapku, apakah kau percaya pada aku yang udik, kurang piknik, dan tak bertuhan ini (seperti yang kau tuduhkan padaku) bahwa dunia ini hanya diatur oleh kekayaan segelintir orang?"
Tuan yang segumpal daging tadi marah besar padaku, Maria. Bertambah keras pula ia menghinaku.
"Hai Idiot! Bakar semua bukumu yang kapitalis. Tinggalkan semua teman profesormu yang mengagumi otak dan logika yang tidak bertuhan itu. Seenaknya saja engkau berbicara seperti itu padaku yang suci. Memangnya baru sampai di mana ilmumu yang tolol tersebut? Yang mengatur semua itu adalah Tuhanku yang tidak terlihat oleh matamu yang juling, pikiranmu yang bengkok, akalmu yang sejengkal goblok itu tidak akan pernah mampu memahaminya!"
Begitu keras dia memakiku Maria.Â
Mendengar kata-kata marahnya padaku, aku semakin menjadi-jadi bertanya, melawan daging yang suci itu, namun sekarang aku melawan seperti seorang perempuan cengeng yang dikhianati kekasihnya.
Aku bergumam, "aku telah lama percaya padamu, wahai Tuan Suci, lama sekali. Namun, kenyataan yang terlihat olehku selalu saja berlawanan dengan apa yang engkau lihat tuan. Aku begitu takut, begitu kagum pada kemesraan kita sebelum dunia ini menjadi kejam dan sebelum aku pandai berjalan sendiri. Akan tetapi setelah aku terlalu lama bermanja-manja denganmu, sekarang aku tidak ingin lagi berlaku seperti itu kepadamu.Â
Aku sudah memulai langkah kecil mencari apa yang tidak terlihat oleh orang. Mencoba menembus batas pikiran seorang profesor idiot yang selalu kau sebut sebagai temanku itu. Mencoba melampaui isi buku pengarang kafir yang kau cemooh itu. Mencari arti kesucian qalam yang tidak akan pernah kau ragukan sekalipun. Mencari petunjuk nyata tuanmu yang segala maha itu, tuan!"
Maria Johnsen, ingin aku sudahi surat untukmu ini, tapi aku yakin kau penasaran apa reaksi hatiku setelah aku bergumam seperti perempuan yang dikhianati tadi.
Maria, setelah mendengar gumamanku tadi, dia (hati) tertawa terbahak-bahak.
Katanya "kau orang gila, beruntung kau masih bisa gunakan seperempat otakmu. Seandainya saja tidak, tentu aku sudah melihatmu di jalanan dengan kaki terbakar, dada telanjang, bibir nyungging sendiri. Ah, mengapa kau ungkit masa lalu kita? Kau tidak pernah sadar, tidak ikhlas mencari sesuatu. Dan keluhan yang kau bual padaku itu mungkin kau hanya bingung atau tersesat dalam pencarianmu.