Berada dan berbicara di ruang publik, sebetulnya tak sederhana. Dan bekal yang harus dikuasai tak sebatas kemampuan lisan. Bahkan kemampuan lisan itu sendiri, sejatinya adalah representasi dari budaya literasi yang dimiliki. Juga merupakan cermin dari kedalaman wawasan dan kemampuan menganilis.
Artinya, kemampuan lisan yang kita miliki harus disokong oleh budaya membuat konsep, budaya memetakan perihal, budaya membaca sebelum  berkata, dan sejenisnya. Terlepas dengan gaya tutur yang pada akhirnya menjadi "perilaku", itu lebih karena kebiasaan atau buah dari pengulangan.Â
Sehingga tak sedikit orang yang sangat lancar, fasih dan bernas dalam membawakan komunikasi lisan, yang memang disokong oleh faktor sikap ilmiah yang diampu selama perjalanan sekian waktu.
Dan ketika terjadi konteks "kacaletot" (tak sengaja terucap), sebetulnya bukan semata-mata sebuah ketaksengajaan, melainkan merupakan dampak yang dilahirkan dari kebiasaan "grasak grusuk", atau lebih tepatnya diistilahkan dengan minimnya sikap ilmiah.Â
Mengapa diistilahkan dengan minimnya sikap ilmiah? Karena sikap ilmiah akan identik dengan kehati-hatian dan menjunjung tinggi nilai-nilai konfirmasi, verifikasi dan validasi. Bukan sebaliknya, di mana sebuah ucapan atau sikap hanya berbekal asumsi dan spekulasi.
Lalu ketika akhirnya ucapan salah yang telah kadung disampaikan di ruang publik itu menuai polemik, sang penyampai hanya berapologi bahwa hal demikian adalah tak sengaja atau tak ada maksud.Â
Bahkan untuk sekelas generalisasi atau penghakiman terhadap salah satu suku di Indonesia yang dipandang atau dianggap tidak pancasilais. Tetap dianggap sebagai ketaksengajaan berucap.Â
Demikian pula dengan sebuah tendensi atau semacam prejudice yang mengarah pada pemapar radikalisme di mana orang dengan penampilan menarik (baca: "good looking") adalah stereotip baru kaum radikalis.
Dari kasus-kasus serupa, saya merenung dan tafakur tentang pentingnya sikap ilmiah. Tafakur tentang para ilmuwan yang begitu berhati-hati dan bersedia mengulang aneka penelitiannya. Tafakur kepada para akademisi yang berbekal banyak sumber untuk sebuah fokus observasi.
Tafakur kepada para praktisi dan ulama yang rela hati plus mewakafkan waktu untuk sengaja mengkaji kitab dan buku-buku. Demi apa? Demi tersampaikannya sebuah kebenaran dengan penuh kehati-hatian.
Demikian pula dalam kaitannya dengan penanganan musibah istimewa COVID-19. Tentu ada alasan yang bisa digali terkait mengapa negera kita relatif lambat penyelesaiannya. Bisa jadi, ini juga merupakan dampak dari minimnya sikap ilmiah.Â