Di sebuah ruang tunggu. Saya bersama si bungsu Zidni. Dalam antrean itu, seorang anak, berulang menghampiri Zidni. Bolak balik anak tersebut menghampiri kami, lalu dengan gerakan spontan mencubit kedua pipi Zidni.Â
Selain mencubit, anak tersebut juga menepuk (tepatnya memukul) pundak dan kepala Zidni. Dan pada titik ekstrem, meremas pipi dengan keras.
Puncaknya, Zidni menangis hebat karena ada bagian pipinya yang terluka. Tepatnya, lecet akibat terkena goresan kuku si anak yang menghampiri kami secara berulang.Â
Sampai pada kondisi nangis keras, saya tetap berusaha tenang. Karena memang itulah dinamika anak kecil. Dinamika berteman. Intinya, saya insyaAllah sangat maklum.
Namun cukup kaget dengan gaya "sasadu" (baca: permohonan maaf) ibu dari anak tersebut. Prediksi saya saya adalah, beliau akan mengungkapkan kalimat semacam : "Aduuuh. Mohon maaf ya Nak. Sakit ya pipinya?".
Ternyata bukan ujaran itu yang mengemuka. Melainkan, "Abis si adek (baca: Zidni) pipinya gembil. Bikin gemes. Jadi anak saya greget pingin kuwel-kuwel".
Dalam hati. Ya dalam hati. Saya bertutur : "Whaaaaaaaat? Jadi, insiden yang terjadi ini akibat gembilnya pipi anak saya? Mbokya kalau mau minta maaf mah minta maaf aja atuh Buuuu. Jangan menyalahkan kondisi anak saya yang jelas tersakiti. Dan wajar dong, ibu berikhtiar mengingatkan anak ibu sendiri. Toh banyak cara mengingatkan anak mah."
Tetapi sangat tak mungkin saya berseteru gara-gara hal tersebut. Meski ini perkara adab, perkara akhlak, saya cukup berpersepsi bahwa mungkin gaya komunikasi ibu tersebut demikian. Mungkin refleks sehari-harinya begitu. Mungkin dalam usaha menjaga harga diri.
Di lain cerita, ada seorang Ibu yang tengah mengobrol tentang salah satu anaknya. Menurutnya, anaknya yang baru beriusia TK itu, akhir-akhir ini minta main game. Bahkan saat smartphone tengah digunakan oleh orangtuanya sekalipun, si anak memintanya. Merajuk.
Berdasarkan penuturan sang ibu, anaknya kini berulah demikian karena terbawa temannya, karena diajak temannya, karena diberitahu temannya.
Mendengar penuturan demikian, saya sih cukup "mesem". Kenapa? Karena bagaimana pun yang namanya laporan seorang anak itu BUTUH DIKONFIRMASI.Â
Dan meski anak itu jujur, namun tak semua yang disampaikannya pasti benar. Apa benar demikian adanya? Apa benar karena dipengaruhi teman? Apa benar karena ikut-ikutan?
Terlebih saat kita memberi pertanyaan terbatas plus tertutup seperti: "Kenapa Kakak jadi minta main game terus? Siapa yang ngajarin Kakak? Siapa yang ngasih tahu Kakak?"
Hmmmmm. Bagi saya, pertanyaan demikian adalah pertanyaan tertutup dan terbatas. Ya, karena ada unsur judgement dalam pertanyaan tersebut.Â
Ada unsur mencurigai orang alias suuzhan terhadap orang lain. Karena soal pengaruh teman, itu soal pertanyaan berikutnya. Sedangkan pertanyaan awal-awal, sejatinya adalah bertanyaan tentang alasan, sejatinya tentang bagaimana mengorek dasar hati, dan tentunya menggali tentang motif.Â
Bukan langsung bertanya tentang siapa (orang lain) yang memiliki andil negatif. Adapun adanya pengaruh teman, biarlah secara alamiah mengalir dalam alasan yang kelak disamapikan anak.
Ini sederhana, memang. Tetapi, sebagai orangtua, kita perlu belajar dong untuk bijak dengan salah atau khilaf yang dilakukan anak. Artinya, tak semua kesalahan anak kita adalah karena faktor eksternal. Sebaliknya, sebagian besar masalah pada anak, itu tersebab oleh ragam dinamika di dalam rumah (orangtua, keluarga, dan lain-lain).
Dan ada pula contoh yang cukup ekstrem. Seorang anak dengan kondisi cukup berenergi lebih, cukup sering menganggu kehidupan sosial, cukup menganggu pertemanan, cukup mericuhkan proses pembelajaran di sekolah.Â
Saat disampaikan dan dikonfirmasi dengan baik kepada pihak orangtua, kedua orangtuanya mengelak habis-habisan.Â
Konon, anaknya tak mungkin salah, anaknya tak mungkin berbuat sebagaimana dilaporkan. Karena menurut mereka, kesalahan yang dilakukan anaknya, semata-mata karena alasan kondisi teman-teman yang membuat tak nyaman.
Hmmmmm. Edisi mengurut dada sambil bertanya dalam hati, "Ada yaaaa, orangtua yang bersikukuh merasa tak ada apa-apa dengan anaknya?"
Sahabat sholeh sholehah. Ngeri-ngeri sedap. Begitulah kurang lebih gambaran dalam menghadapi dinamika pertemanan anak. Jika kita kurang bijak menyikapi, jika kita kurang sabar menghadapi, jika kita terlalu mudah reaktif, maka hal kecil pun bisa menjadi besar. Hal biasa pun menjadi rumit.Â
Hal sederhana pun bisa menjadi bahan tuntutan. Hal wajar di mana anak kita melakukan kesalahan, mengharuskan orang lain yang menjadi biang alasan.
Dalam konteks kehidupan sosial anak, ketika anak kita menjadi korban pertemanan, tentu saja ada dan tak sedikit. Tetapi, tak setiap munculnya kejanggalan pada anak kita BERARTI atas andil negatif orang lain.
Perihal ini, tentunya menjadi pembelajaran besar buat kita. Artinya, ketika kita seringkali atau hampir selalu menganggap anak kita benar dan yang salah adalah anak lain.Â
Ini dikhawatirkan akan menginternal ke dalam diri kita sendiri, bahwa secara pribadi kita terbilang egois alias merasa diri sendiri yang paling benar alias harus selalu orang lain yang diposisikan salah.
Berikutnya, satu pelajaran berharga dari konteks dinamika sosial ini adalah bahwa menjadi orangtua adalah belajar menghadapi CERMIN KEHIDUPAN.Â
Dan cermin kehidupan itu ada pada diri kita. Artinya? Sikap yang mengemuka pada anak kita, disadari maupun tidak disadari, itu adalah cerminan diri kita sendiri. Jadi, jika anak kita seorang pribadi yang pemalu, sungkan berkata-kata, serba ragu, maka secara tak langsung ini adalah ladang muhasabah tentang bagaimana penyikapan kita terhadapnya.Â
Apakah kita memang terlalu kaku dalam mematok target, apakah kita sering memperlihatkan rasa kecewa di hadapannya, apakah kita kurang ekspresif mengungkapkan sayang, apakah kita memiliki tekanan batin, apakah kita belum ikhlas dengan segala ketetapan yang ada.
Demikian pula saat anak kita terlalu dominan di lingkungan sosial, ketika mereka "over PD", ketika mereka bertindak sekehendak. Bisa jadi, kita memang kurang memberi peringatan padanya.Â
Bisa jadi, kita terlupa mengingatkan tentang mana yang boleh dan mana yang tak boleh. Bisa jadi, tanpa sadar kita sering berucap spontan merendahkan orang lain di depan anak-anak.
Ayah Bunda. Tak mudah untuk menjadi orangtua paling baik. Kiranya, perlu hati-hati membuat simpulan-simpulan. Menyimpulkan anak orang lain dengan label buruk, sementara kita terlupa dengan apa yang harus diperbaiki dari proses pengasuhan yang kita lakukan. Menyimpulkan anak orang lain jauh di bawah rata-rata kemampuan anak kita, sementara kita terlupa dengan apa yang harus kita ikhtiarkan untuk anak-anak kita.
Pun tanpa sadar, kita sering terjebak pada KEKONYOLAN MEMBANDINGKAN. Apa itu? "Kekonyolan membandingkan", adalah semacam adanya kesalahan atau kekurangan yang sepadan antara anak kita dan anak orang, tapi kita masih berusaha keras membandingkan untuk mengambil kesimpulan, bahwa anak kita masih yang terbaik.
Contoh sederhana, salah satu baiita kita cukup heboh setiap kali memangis. Lalu kita berujar; "Nggak kok. Anakku gak seheboh fulanah." Padahal sebetulnya sama saja. Atau contoh sederhana berikutnya, anak kita masih spontan mencubit temannya.
Lalu kita berpendapat dengan nada meyakinkan; "Tapi Fulan mah kalau sekali mencubit itu benar-benar bikin sakiiiit. Kalau anakku mah biasa-biasa aja."Â
Mari taubat bersama. Semoga kita terlepas dari kekonyolan itu. Mangga sahabat sholeh-sholehah juga bisa berbagi pengalaman terkait dengan apa yang saya tulis. Mungkin pernah punya buah hati, namun selalu mendapat penilaian miring dari orang-orang sekitar.Â
Atau bahasa kasarnya, "tertuduh". Mungkin  pernah buah hati kita dengan posisi "terkorban", namun malah kita yang tak bisa berbuat apa-apa tersebab kalah argumen dan tak banyak mengekspresikan kesal.
Semoga bermanfaat. Allohu'alam.
oleh: Miarti Yoga
(Penulis dan Konsultan Pengasuhan)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H