Dia saat-saat terakhir itu, sang burung menoleh ke arah sang gadis. Mata mereka bertemu beberapa saat dan gadis itu sadar, itu bukanlah seekor burung ataupun malaikat. Namanya Jelita. Gadis berpenampilan sempurna yang selalu membuatnya iri. Gadis bewujud boneka porselen yang mengisi hari-hari terbaiknya selama ini.
Jelita...
Seseorang yang tak pernah terlihat bersedih sekalipun. Seseorang yang terlihat tegar, selalu tersenyum, memeluk setiap orang yang terlihat sedang mengalami hari-hari berat. Jelita akan jadi orang pertama yang mengulurkan tangan saat seseorang terjatuh di hadapannya.
Tapi hari itu...
Saat Jelita memutuskan untuk menjadi seekor burung, gadis itu bisa melihat air mata di pelupuk mata Jelita. Untuk pertama kalinya dia melihat Jelita menangis, menatapnya dengan tatap seolah sedang meminta tolong.
Terlambat. Dia tidak bisa melakukan apa-apa untuk menolong Jelita.
Saat Jelita bertemu dengan lapangan bersemen, ia berdebum dan hancur lebur seperti daun-daun berguguran yang diterbangkan oleh angin kencang. Jelita menghilang begitu saja dari kehidupannya.
Dia terduduk lemas tanpa air mata sedikit pun. Tak ada yang bisa keluar dari matanya, tubuhnya tak bisa bereaksi apa-apa. Tak ada siapapun di sana kecuali gadis itu dan Jelita yang sudah berubah menjadi buih-buih di lautan.
Itu benar-benar bukan sesuatu yang bagus untuk diingat, tapi gadis yang duduk di pelataran rumah ini terpaksa harus mengingatnya. Merekam secara jelas kejadian itu tanpa melewatnya setiap detail kejadiannya.
Ada sesuatu yang ikut mengilang dari kehidupannya semenjak kejadian itu. Seolah Jelita ikut membawanya ke suatu tempat yang teramat jauh dari dunia ini. Yang tersisa bagi gadis ini sekarang hanyalah kerangka kosong berisi gas pemicu ledakkan yang siap meledak kapan saja.
Entah bagaimana Jelita yang seharusnya sudah mati itu masih terasa sangat hidup di dunia ini. Dalam benak dan hati gadis yang saat ini masih terpaku pada kedua bola mata gagak itu. Mata itu sama persis dengan tetapan Jelita saat meminta tolong.