Mohon tunggu...
Mia Rosmayanti
Mia Rosmayanti Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Menulislah dan jangan mati.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tetaplah Hidup

27 Agustus 2017   12:49 Diperbarui: 27 Agustus 2017   13:09 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tembok-tembok besi berlumut yang masih tetap kuat, kini menghalangi pandanganku. Selalu saja menghalangiku untuk meraihmu. Jadikanlah jiwa sebuah petuah cinta yang paling tangguh dan angkuh. Seonggok luka menawarkan berjuta warna. Aku sendiri tak pernah tahu. Apakah aku siap terluka? Apakah hatiku akan benar-benar berubah warna? Bisakah aku benar-benar menjadi raja? Jika tidak, lalu aku ini apa? Sosok kesepian? Begitu menyebalkan? Aku hanya terkaku dalam jemu.

Aku kembali menatapnya. Ia begitu indah, kulitnya seperti pualam. Bibirnya mungil dan merah lembut. Aku menarik tanganku yang sudah mulai mengeriput diterpa hujan. Dingin ini bukan main membuatku bergidik tajam. Serbuan dinginnya merasuk melalui pori-pori yang terbuka ini. Hujan tak juga berhenti.

Selubung senja mulai melangkah pasti. Langit berubah menjadi lautan berwarna merah keemasan. Rambut pada pori-poriku bergidik menghujam. Semua jaringan tubuhku seperti serempak berkoordinasi untuk menyadarkanku yang mulai menggigil kedinginan. Aku beranjak berdiri hendak masuk ke dalam rumah. Saat aku membalik badanku, tangannya meraih tanganku. Aku memandang ke arahnya.

"Jangan pergi. Tetaplah di sini, aku masih ingin menikmati hujan."

"Di sini dingin, Ira." Aku menyentuh tangannya lembut.

"Sebentar saja, aku mohon." Kini ia memohon padaku.

"Tidak bisa, Ira. Aku tidak ingin kau sakit." Aku menarik tangannya, ia kini berdiri pasrah.

Aku menggenggam erat tangannya. Tangannya juga mulai terasa dingin. Aku yakin dia juga tak menyadarinya, sama sepertiku tadi. Aku mulai meraih satu dua langkah, hampir memasuki pintu rumah. Belum sempat kakiku menyentuh ambang pintu, tangannya dengan keras menarikku. Aku tak sempat melawannya.

Ia menarikku ke bawah tirai-tirai air berbentuk jarum waktu. Dinginnya benar-benar merasuk ke sekujur tubuhku. Beberapa kali aku bergidik kedinginan, tapi tidak dengan senyum itu. Senyum itu hangat seperti matahari. Tangannya juga makin erat menggenggamku, seolah takut kehilangan sesuatu dari tanganku.

Hujan membasahi sekujur tubuh kami. Satu dua air mengalir indah di sela-sela rambutnya yang basah menyibak. Hujan ini begitu hangat dibuatnya. Aku memeluknya erat. Aku mengusap rambutnya dengan lembut.

Matahari perlahan mulai hilang ditelan bukit barat. Aku makin memeluknya dengan erat, tapi tubuhnya semakin dingin. Hawa keberadaannya sedikit demi sedikit mulai menipis. Aku memeluknya makin erat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun