Pak Soleh memang tak pernah berubah. Gaya bahasanya yang medok. Tangannya terampil membakar kepala ayam dan ceker pesanan pelanggan. Ah ..., paling tidak kerinduanku sedikit terobati. Pak Soleh sudah menghadirkan kenangan itu di mataku malam ini.
"Kamu di Jogja lama po, Ndin?"
"Nggak, Pak. Besok malam saya pulang."
"Lho, kok cepet balik to? Ndak nyari hyangmu dulu sampai ketemu, to?"
"Barangkali dia sudah menemukan cangkirnya, Pak."
"Ceritanya kamu pasrah to wesan?"
"Entahlah, sampaikan salamku saja padanya ya, Pak. Siapa tahu dia datang ke angkringan ini. Aku masih ingin kopinya yang dulu. Hangat melebihi kopi jahe Pak Soleh. Sudah gitu ajah."
***
Pukul tujuh belas nol-nol kereta jurusan Jogja-Jakarta sudah menanti. Kulangkahkan kaki yang sepertinya enggan menginjak gerbong itu. Kaki kiriku seakan berbisik, "Yakinkah kau tak lagi ingin mencari jejak kopimu yang hilang itu? Apakah kau sudah menyerah? Dan kembali pulang dengan pikiran kosong? Atau memang kau sudah ikhlaskan semuanya? Tentang kenangan? Tentang kehangatan yang tak pernah kau dapatkan di kedai kopi manapun? Kau lemah! Kau kalah! Kau hanya pecundang!" Teriak kaki seakan memakiku dengan lantang.
Sedangkan kaki kananku juga tak kalah menimpali, "Kau harus pulang, Andien. Masih ada hari esok atau lusa kau jemput kopimu. Bukankah rindu itu tak perlu kau bayar tuntas sekarang? Kau bisa mencicilnya dengan waktu. Abaikan sepimu, abaikan dinginmu. Kau sudah kirimkan salam di angkringan itu. Kelak kopimu akan menjemputmu di gerbong-gerbong senja bersama malam yang indah."
Senja itu menenggelamkan gerbongku. Di jendela yang terlihat hanya gambarku membias di kaca. Di luar terlalu gelap. Bintang terlihat samar beradu dengan angin yang ditebas-tebas gerbong.