Mohon tunggu...
Mia Ismed
Mia Ismed Mohon Tunggu... Guru - berproses menjadi apa saja

penyuka kopi susu yang hoby otak atik naskah drama. pernah nangkring di universitas negeri yogyakarta angkatan 2000. berprofesi sebagai kuli di PT. macul endonesa bagian dapor

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Puisi | Jejak Kopimu

1 Oktober 2019   21:55 Diperbarui: 1 Oktober 2019   22:16 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di hari kesepuluh aku tetap memikirkan, ke mana lagi aku harus menelusuri jejakmu di kota ini. Menemui bibirmu barangkali masih terlukis jelas di cangkir-cangkir itu. Berharap tetap ada tanpa sentuhan pembersih piring atau disentuh dengan bibir yang lain. Ah..., aku semakin cemas saja. Pada malam, di bawah teriakan lampu kota yang seakan menjerit-jerit agar aku tak menyerah. Mengejar jejak yang belum terbaca sampai kini. Kubalikkan arah ke Jalan Babarsari, ada beberapa tempat ngopi yang sering kita kunjungi di sana.

Di Gang Amandit dekat Wartel Mayzen, tepatnya di angkringan Pak Soleh. Hatiku mulai sumringah. Mengapa baru kuingat tempat itu. Aku teringat tawa Pak Soleh yang renyah menambah tempat itu kian hangat. Sesekali kelakarnya membuat aku malu.

"Ndin, kalau perlu kehangatan jangan lupa datangi Pak Soleh. Akan kubuatkan kopi jahe rasa rindu," katanya melirikku yang lagi menikmati ceker bakar dengan nasi kucing.

Dengan sigap lelaki kopi yang kugandrungi akan menjawab, "Ah, Pak Soleh... Bukankah aku satu-satunya kopi yang bisa memberinya kehangatan?"

Tawa kami pun pecah.

Ya, ya, Pak Soleh. Aku akan segera ke sana.

Angkringan itu tetap sama seperti dulu. Yang membuatnya agak sedikit berbeda, di samping kanan dibuat lesehan memakai plastik baliho bekas pemilukada tahun lalu. Juga terlihat lelaki berperawakan sedang tengah meracik kopi jahe. Apakah itu asisten Pak Soleh? Bartender baru di angkringan itu. Langkahku semakin dekat.

"Kopi jahe rasa rindunya ada, Pak?" tanyaku tanpa basa-basi. Lelaki itu pun heran menatapku. Bukankah kopi rasa rindu dua tahun lalu hanya Andin dan Rico pemiliknya? Mungkin begitu pikirnya.

"Maksud, Mbak, kopi apa ya? Kok saya sedikit kurang paham?"

  "Iya, Pak. Saya minta dibuatkan kopi jahe rasa rindu, khusus bikinan Pak Soleh," jawabku lantang dengan sedikit melotot.

"Andien? Ya, apakah ini Andien?" tanya Pak Soleh berulang-ulang meyakinkan matanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun