Mohon tunggu...
Mia Ismed
Mia Ismed Mohon Tunggu... Guru - berproses menjadi apa saja

penyuka kopi susu yang hoby otak atik naskah drama. pernah nangkring di universitas negeri yogyakarta angkatan 2000. berprofesi sebagai kuli di PT. macul endonesa bagian dapor

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tak Sehitam Biji Kopi

30 September 2019   15:48 Diperbarui: 30 September 2019   15:48 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku makin terkesima dengan lelaki berambut ikal bergaya santai ini. Isi kepalaku makin mengubah pola pikirku tentang keruetan kota tantang pendidikan yang sering digadang-gadang masyarakat pada umumnya sebagai standar kesuksesan. Persaingan hidup tak selamanya dihadapi dengan uang, dan pendidikan yang mumpuni. Tapi kecakapan tentang mengubah polapikir ditengah pergulatan.

"Kamu tau apa yang sebenarnya membuat hidup kita tidak pernah maju?" Mata lelaki itu melirik kearahku. Roda mobil mulai bergerak perlahan. Suara klakson gaduh di luar. pengemudi berdesakan ingin segera melajukan kendaraannya.

"Malas, bisa jadikan. Tak mau mengubah keadaan." Jawabannku terlihat dangkal dan terkesan simpel barangkali hingga membuat gigi lelaki itu makin terlihat jelas.

"Kok malah tertawa, lucu ya jawabanku Bang." Aku merasa terjebak dengan jawabanku.

"Lucu sih nggak, kayaknya kamu malas berpikir aja. BT ya? Jadi orang jangan lekas BT lah. Nggak bagus itu buat kesehatan otakmu, Reysa yang manis." Tangannya sambil mengubah porseneling koplingnya.

"Terus, menurut Abang apa sih yang membuat hidup kita gak bisa maju?."

"Yang pertama kita terbiasa tak bisa move on. Terlalu lelap dengan peristiwa yang menyakitkan. Manja istilahnya. Terbiasa menunggu. Terbiasa mencari lowongan pekerjaan dibanding menciptakan. Suka disuruh ketimbang bergerak mengeskplorasi.  Intinya berpikir positif pada setiap keadaan. Istilahnya kita ditinggal kawin sama pacar legowo saja lah. Memang bukan jodoh kita. Yang ada ini kan tidak. Masyarakat terlalu mendramatisir sesuatu yang memang bukan seharusnya menjadi bagian kita. Percaya saja dengan rencana Tuhan."

"Benar juga ya Bang. Apalagi kita hidup dijaman milenial. Semua serba ngehit. Tapi Abang bikin kedai kopi bukan karena lagi trend ngopi bareng kan?" Gangguku nakal sambil mengecilkan tuts musik di sebelah kendali supir.

"Wah bukan stlyle saya ikut-ikutan dong. Kedai Bang Yon's ini kan konsep lama di klaten. Kedai ini melalui proses panjang, dari warung ibu dipinggiran jalan stasiun Tanah Abang. Bukan tanpa alasan aku bikin kedai Reys. Keluargaku pencinta kopi. Bapak yang memang pencandu kopi, Simbah di Klaten itu punya beberapa pohon kopi untuk konsumsi sendiri. Jadi bukan kebetulan sajalah kedai kopi itu lahir."

                        ***

"Reysa kamu harus tau nduk, bapak ibumu menguliahkan kamu jauh-jauh supaya dapat jodoh juga sederajat dengan kita. Ini malah pacaran sama orang yang ndak sekolah. dimana harga diri bapakmu. Lihat kang masmu itu. Jadi laki-laki ya harus berpendidikan tinggi. Jadi pengacara misalnya. Itu kan jauh terhormat."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun