Kota ini tak pernah tidur. Seperti terselubung kafein. Tak ada kata malam kecuali gempita. Dan manusia bagaikan robotic. Mulutku terasa kecut sendiri mamandang jalan yang tak pernah berhenti terjamah. Gerimis yang makin rapat tak mampu menghalau kemacetan kota ini. Di sudut jalan persimpangan terlihat lalu lalang bocah menenteng Koran dan kotak semir sepatu. Sungguh anak-anak itu tak seberuntung nasibku. Siapakah yang perlu dipersalahkan. Takdir atau orang tua yang tak begitu bertanggungjawab. Terlihat sangat aneh. Jika cinta memang sumber kebahagian. Tak sepantasnya anak-anak menjadi beban keegoisan hidup.Â
Teringat duapuluh tahun lalu. Jakarta bagiku adalah impian. Bagi anak seusiaku kala itu. Selepas sekolah dasar Jakarta-lah tempat pertama cita-cita anak-anak kampungku berharap. Terbayang hidup menjanjikan meskipun tak berbekal pendidikan yang cukup dengan modal di bawa urban oleh tetangga yang kebetulan 'sudah sukses' dikota itu. Ntahlah, sukses dimata penduduk desa kala itu dengan ukuran standar apa. Yang jelas jika sudah kerja di Jakarta anak-anak kampong yang dulu lugu, hitam legam akan terlihat bersih dan berbaju bagus. Yang dulunya hanya tau bahasa daerah dengan logat kental, gaya bicaranya akan terlihat modern dengan 'elu, guehnya'. Kadang-kadang untuk bersapa dengan rekan sebayanya sering lupa dengan bahasa daerahnya. Ntahlah itulah yang membuat aku kagum mati-matian.
Ayahku tergolong orang tua yang sangat disiplin. Didikannya keras. Impianku ke Jakarta seperti rekan sebayaku membuatnya tak kehilangan akal. Setiap kelulusan pendidikan, Ayah selalu berusaha untuk mewujudkan impianku dengan membawaku jalan-jalan ke Jakarta. Kota yang seperti aku lihat. Indah dan memberikan banyak kesenangan.
"Bagaimana Jakarta menurutmu Nduk, apakah seperti yang kamu impikan?" Tanya Ayah sembari membawaku keliling Monas.
"Jakarta sangat indah Yah, banyak tempat wisata dan tempat-tempat bagus. Pantesan kawan-kawan sangat betah disini ya." Jawabku, Anak perempuan polos. Maklum selama di desa yang kulihat hanya petak sawah, kendaraan sapi dengan gerobak yang diusung penduduk untuk menarik rumput. Hiburan paling mewah makan bakso di pasar kecamatan. Â Ayah hanya tersenyum. Melihat kepolosanku.
 "O iya, sudah dua hari kita jalan-jalan tak pernah kulihat teman-teman, dimana mereka Yah?"
"Kamu rindu teman-temanmu Nduk?" Tanya ayah sambil tersenyum.
Aku hanya mengangguk berharap ayah bercerita banyak tentang mereka. Atau mungkin tau perscis keberadaanya.
"Jakarta itu sibuk Nduk. Semua bergerak seperti mesin. Tak ada yang sempat bertegur sapa jika tak kenal. Apalagi bertemu dengan teman tanpa janjian. Sudahlah temanmu sedang sibuk, sebaiknya kita nikmati saja keindahan kota ini sebelum liburan habis."
Jalan Jakarta lambat laun kutaklukan. Awal tahun 2015 aku mengikuti magang di salah satu perusahaan di Jakarta Selatan. Setelah menamatkan pendidikan D3 akutansi salah satu perguruan tinggi di Solo. Entahlah mengapa Ayah mengirim aku kuliah ke Solo yang sangat jauh dari kampungku di Sumatera. Satu pesan ayah kala itu "Cari bekal dulu Nduk, suatu hari nanti datanglah ke kota impianmu jika kau telah siap."
***