Mohon tunggu...
Momang Yusuf
Momang Yusuf Mohon Tunggu... Guru - Pengajar sains yang terus belajar menulis

Seorang abdi negara di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Selain menulis tema-tema sosial dan fiksi, saya juga menulis tentang sains khususnya fisika yang saya tuangkan dalam blog pribadi saya: https://edufisika.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Dari Rokok Konvensional ke Rokok Elektrik, Penjajahan yang Tak Kunjung Usai

4 Juni 2023   14:31 Diperbarui: 4 Juni 2023   14:54 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.pxfuel.com/id/free-photo-xniva

Kata 'kecanduan' memiliki konotasi negatif. Sebabnya, kata ini menunjukkan suatu perilaku yang tidak terkontrol. Dari kacamata psikologi, kecanduan adalah keadaan individu yang merasa terdorong untuk menggunakan atau melakukan sesuatu agar mendapatkan atau memperoleh efek menyenangkan dari sesuatu yang dilakukan, menurut pernyataan Sarafino (1990).

Sulitnya mengontrol kebiasaan pada keadaan kecanduan ini adalah indikasi terjadinya perubahan otak yang distimulasi oleh kegiatan yang menyebabkan kecanduan itu. Jika otak sudah sulit dikendalikan, terjerumuslah kita ke dalam penjajahan oleh rasa kecanduan itu. Undang-undang dasar sudah tidak dapat menghapuskan penjajahan yang dilakukannya.   

Karena sudah kehilangan kontrol, kecanduan menjadi sulit dihentikan. Penjajahan pun terus berlangsung.  Apalagi bila jenis kecanduan itu adalah jenis kecanduan yang bersifat permisif. Contoh paling utamanya adalah kecanduan merokok.

Si ahli isap boleh saja merasa jantan dan gagah dengan mengepul-ngepulkan asap rokoknya dari mulut dan hidung. Tapi ia sesungguhnya adalah orang yang sedang terjajah oleh diri sendiri yang telah dikuasai nikotin. Ia tak dapat melepaskan diri dari merokok.

Mungkin saja ia mengatakan bahwa merokok itu nikmat, tapi sebenarnya itu hanya tipuan otaknya saja, agen si penjajah itu, untuk menutupi ketidakmampuannya terlepas dari keinginan untuk terus dijejali nikotin. 

Maka kenikmatan yang didakunya adalah sebuah kenikmatan semu. Kenikmatan yang harus dibayar dengan kerusakan organ-organ tubuh terutama paru-paru.

Menjadi semakin sulit memerdekakan diri dari jajahan nikotin ini karena ada yang menjadikannya sebagai sumber penghasilan. Ya, produsen rokok dan penjual yang menyalurkannya. Bahkan ada andil pemerintah karena pemerintah telah diberi wewenang untuk membuat undang-undang, yang bisa saja membuat aturan larangan merokok, tapi tak pernah dilakukannya.

Memang ada aturan yang telah dibuat sehingga terjadi perubahan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Dulu, iklan rokok boleh terang-terangan dipajang. Gambar rokok dan tokoh penggoda (baca: bintang iklan) bebas menampang senyum menawan pada poster-poster besar dan spanduk-spanduk di tempat umum mengajak merokok. Sekarang, tidak lagi. 

Pemerintah telah melarang, tapi sayang takut miskin. Maka iklan rokok tetap dibolehkan tetapi hanya menampilkan slogan-slogan dan logo merek rokoknya saja. Dulu iklan rokok di televisi terserah mau tayang jam berapa saja. 

Sekarang, hanya boleh muncul tengah malam. Dulu spanduk-spanduk rokok dipasang berjubel di lapangan olah raga, sekarang tersembunyi di saku para penonton. Bukan spanduknya tapi sudah rokoknya.

Ketika semakin gencar kampanye antirokok dilakukan terutama oleh jawatan kesehatan, latah pembuat kebijakan mengatur iklan-iklan rokok sehingga menjadi seperti di atas. Bahkan ada aturan baru: pada bungkus rokok harus dituliskan peringatan bahaya merokok lengkap dengan gambar-gambar mengenaskan dampak menyedot asap rokok seperti tenggorokan bolong, kepala tengkorak, dan sebagainya.

Tapi bagi orang yang sudah kecanduan, semua itu tidak ada gunanya.  

Dan sekarang ada tren baru. Demi memenuhi kebutuhan mereka yang 'terjajah' untuk terus menerus memasok nikotin pada otak mereka, diperkenalkanlah rokok elektrik. Nama kerennya: vape. Jenis rokok ini tidak menggunakan tembakau dan isunya lebih aman dari rokok konvensional. Maka dengan cepat naik daunlah kegiatan merokok berbasis teknologi listrik ini.

Lihat saja data dari Global Adult Tobacco Survey (GATS) yang menunjukkan adanya loncatan tinggi pengguna rokok elektrik di Indonesia dalam kurun waktu satu dekade. Kurang lebih 10 tahun sejak rokok listrik ini pertama kali masuk di Indonesia. Pada tahun 2011, ketika vape masih barang baru, ada 0,3 persen pengguna di Indonesia. Pada tahun 2021, saat survei GATS dilakukan, jumlahnya telah bengkak menjadi 3,0 persen. Jumlah ini setara dengan 6,2 juta orang dewasa (berusia 15 tahun ke atas). 

Mengapa bisa terjadi lompatan setinggi ini?

Kita bisa menduga beberapa hal yang dapat menjadi pemicunya.

Pertama, vape dan perlengkapan rokok elektrik lainnya mudah diperoleh.

Mendirikan toko yang khusus menjual perangkat rokok elektrik mungkin sama saja dengan mendirikan toko makanan. Asal ada lokasi dan modal, dalam sehari jadilah.

Tak perlu ada urus izin ini-itu. Padahal rasa-rasanya kita sudah mengamini bahwa penyebab sulitnya menghentikan kebiasaan merokok masyarakat salah satunya adalah karena kemudahan memperolehnya. 

Rokok bebas dijual di toko-toko mana pun. Jadi semestinya kita dapat belajar dari sini bahwa untuk mengantisipasi maraknya penggunaan rokok listrik ini dapat dibuat regulasi yang memberikan syarat-syarat tertentu bagi mereka yang ingin menjual vape. Misalnya harus memenuhi persyaratan seperti persyaratan untuk mendirikan apotik atau toko bahan-bahan kimia. Ini misal saja.

Faktanya, toko vape sangat mudah ditemukan.

Kedua, iklan kampanye rokok elektrik marak di media-media sosial dengan narasi yang menyesatkan.

Konon dengan rokok elektrik, seorang perokok dapat terbantu untuk memerdekakan diri dari penjajahan kecanduan merokok. Omong kosonglah itu. Bukankah rokok elektrik itu dibuat untuk memenuhi asupan nikotin pada otak? 

Selama masih mengandung nikotin, tidak mungkinlah kita bisa meraih kemerdekaan dari penjajahan nikotin ini. Beralih dari rokok konvensional ke rokok elektrik hanya seperti merdeka dari penjajahan Belanda tetapi masuk dalam kekuasaan Jepang di masa perang kemerdekaan dulu.

Celakanya, kontrol terhadap media sosial sangat sulit dilakukan sehingga kampanye menyesatkan ini berlangsung terus.

Kecanduan pada rokok sudah jelas disebabkan oleh kandungan nikotinnya. Jadi kalau ingin memerdekakan diri dari kecanduan merokok angkat senjatalah melawan nikotin! Itu satu-satunya cara.

Ketiga, tuntutan gaya hidup.

Faktor ketiga ini diembuskan lewat iklan dan promosi yang marak di media sosial juga. Getah dampak negatif ini mengenai usia anak-anak dan remaja. Sebabnya, merekalah penghuni paling aktif media sosial. 

Maka jangan heran kalau Indonesian Youth Council for Tobacco Control (IYCTC) juga mencatat adanya peningkatan prevalensi perokok usia 13-15 tahun sebesar 19,2%. Di tengah masa pencarian jati diri para remaja ini, bertemulah iklan rokok elektrik yang dinarasikan sebagai sebuah gaya hidup. Klop sudah.  

Imbas kampanye rokok elektrik ini cukup besar. Lahir kelompok pengguna ganda. Perokok konvensional sekaligus perokok elektrik. Cukup elegan, bukan?  

Begitulah. Perkara kecanduan ini tidak diselesaikan dengan cara radikal dengan memutus langsung sumbernya, yaitu memutus peredaran sumber nikotin. Yang ada justru "mau melarang tapi takut miskin". Maka dibuatlah regulasi yang mengatur tentang penggunaan rokok-rokok ini. Harga didongkrak agar masyarakat tidak mampu membelinya. Tapi penjajahan oleh nikotin tidak semudah itulah ditaklukkan. Penjajahan oleh nikotin inilah yang memicu Bantuan Langsung Tunai yang diterima masyarakat lebih sering ditransformasi menjadi rokok ketimbang membeli beras buat makan keluarga.

Lalu bagaimana sebaiknya?

Karena rokok tidak dapat dilarang, maka langkah paling dini adalah kembali kepada diri kita masing-masing saja, terutama bagi yang belum kecanduan apalagi bila belum pernah mencobanya. Yakinilah seyakin-yakinnya bahwa merokok, baik memakai rokok konvensional maupun rokok elektrik, akan lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya. Merokok sudah pasti akan menyebabkan kerusakan pada paru-paru, masalah kardiovaskuler, dan kerusakan otak. Banyak video di internet yang menunjukkan bagaimana kerusakan yang terjadi pada paru-paru kita tanpa sadari saat mengisap sebatang rokok atau menyedot uap nikotin rokok elektrik.

Jika Anda melihat seseorang perokok dengan nikmatnya menyedot asap rokok, percayalah itu hanya kenikmatan semu. Ia sesungguhnya menyadari efek buruk dari kebiasaan merokoknya itu, tetapi ia tidak mampu melepaskan diri dari kecanduan yang dialaminya. Anda jangan pernah mau mencoba-coba terjun pada kubangan kecanduan itu! Sekali Anda menceburkan diri, akan sulit melepaskan diri darinya kemudian.

Jika Anda punya keluarga: istri, apalagi anak yang masih kecil, tanyakanlah pada diri Anda tegakah Anda menjejalkan zat-zat beracun pada orang-orang yang Anda kasihi itu? Percayalah, saat Anda merokok, endapan zat-zat beracun itu melengket di pakaian Anda, kulit Anda, dan akan terhirup oleh orang-orang tersayang Anda tanpa mereka sadari.

Sementara bagi Anda yang sudah kecanduan, segeralah sadar. Carilah alasan kuat untuk bisa berhenti secara total. Lalu lakukan sugesti pada pikiran Anda bahwa Anda harus mengalahkan keinginan otak Anda untuk dijejali nikotin. Setiap kali Anda akan membakar rokok atau menyalakan rokok elektrik, bayangkanlah zat-zat racun yang akan menggerogoti organ-organ tubuh Anda. Kenikmatan yang akan Anda rasakan saat melanjutkan membakar dan menyedot rokok Anda akan Anda bayar dengan paru-paru yang semakin kotor.

Sugestilah terus diri Anda dengan melawan bayangan-bayangan kenikmatan merokok yang selalu muncul dalam pikiran Anda dengan membangkitkan bayangan organ-organ tubuh terutama paru-paru yang kian menghitam setiap kali asap disedot. Lakukan ini terus.

Untuk melawan penjajahan nikotin ini, kita harus memaklumkan perang terhadap kenikmatan semu yang dihalusinasikan otak akibat pengaruh nikotin itu. Maka kuatkan tekad Anda.

Secara pribadi, saat ini adalah tahun ke-9 saya merayakan kemerdekaan saya dari penjajahan nikotin. Merdeka!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun