Mohon tunggu...
MUHAMMAD REZA SETIAWAN
MUHAMMAD REZA SETIAWAN Mohon Tunggu... Mahasiswa - forester I practitioners I learners I reader I traveller I adventurer !

Jalanmu mungkin tidak cepat namun percayalah rencana Allah selalu tepat! Sabar, ikhlas, ikhtiar. ~ Sajak Salaf

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Harvesting Planning dan Implikasi Reduced Impact Logging (RIL) in the Tropical Rainforest

28 April 2021   10:01 Diperbarui: 15 Oktober 2022   10:27 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Bogor, Jawa Barat - Perencanaan pemanenan merupakan bagian penting dalam pengelolaan hutan. Perencanaan pemanenan kayu merupakan salah satu bagian dari perencanaan pengelolaan hutan lestari yang merupakan komponen dari perencanaan tata guna lahan yang komprehensif (Okon 2018).

Perencanaan pemanenan bertujuan untuk meminimalkan kerusakan hutan dan dampak ekologi yang diakibatkan dari penebangan kayu, meningkatkan kualitas dan kuantitas kayu bulat, menekan biaya operasi, dan mengurangi kerusakan limbah pemanenan kayu (Elias 2015). Perencanaan atau implementasi rencana hutan yang tidak tepat dapat menimbulkan kerugian, seperti degradasi lingkungan, limbah kayu yang berlebihan, pemanfaatan yang buruk dari sumber daya, dan cedera bagi pekerja (Sessions 2007). Olehnya itu, kualitas perencanaan dalam kegiatan pemanenan sangat penting dalam menentukan keadaan ekosistem hutan setelah pemanenan.

Pemanenan kayu yang tepat harus dimulai dengan perencanaan yang tepat, pekerja terlatih dan termotivasi (petugas penebang) dengan pengawas yang kompeten secara teknis. Rencana pemanenan kayu terdiri dari tiga jenis yakni rencana strategis, taktis dan operasional (Okon 2018). Rencana strategis pemanenan yang disiapkan oleh tim perencanaan hutan merupakan rencana jangka panjang dan mencakup wilayah yang luas. Ini harus membatasi area non-panen, membagi hutan yang dapat dipanen menjadi wilayah operasi tahunan (coupe) dan merancang sistem transportasi utama. Ini mungkin termasuk pedoman manajemen, pembangunan fasilitas dan intensitas manajemen.

Rencana pemanenan taktis adalah rencana jangka pendek (yaitu mencakup periode yang lebih pendek) dan disiapkan oleh tim yang bertanggung jawab langsung untuk pengawasan operasi pemanenan (FAO 1996 dalam Okon 2018). Rencana panen operasional memasukkan tindakan yang diperlukan untuk melakukan operasi di lapangan. Rencana pemanenan juga harus menentukan peralatan yang akan digunakan dan waktu operasi, dan harus mencakup rencana kontingensi untuk badai hebat dan kejadian ekstrim lainnya (Okon 2018).

Pemanenan kayu adalah salah satu kegiatan pemanfaatan hutan yang menghasilkan hasil hutan berupa kayu melalui proses atau tahapan perencanaan pemanenan kayu, penebangan pohon, penyaradan, dan pengangkutan kayu untuk dimanfaatkan oleh masyarakat (Elias 2015). Pemanenan kayu merupakan kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh hasil  dan keuntungan maksimal berdasarkan asas kelestarian (Simon 2010). Pemanenan mencakup semua kegiatan yang diperlukan untuk menebang pohon dan memindahkannya dari hutan ke tempat penebangan kayu, pinggir jalan atau lokasi lain untuk pemuatan dan pengangkutan (Higman et al. 2005).

Pada prinsipnya, pemanenan kayu di hutan hutan tropika berdampak terhadap kerusakan vegetasi, sehingga filosopi pemanenan pada dasarnya yaitu untuk meminimalkan kerusakan yang terjadi. Werger (2012) menjelaskan bahwa pemanenan kayu memberikan dampak terhadap perubahan ekologi hutan. Perubahan ekologi hutan dipengaruhi dengan intensitas pemanenan kayu yang dilakukan. Meskipun dengan intensitas pemanenan yang rendah, penebangan konvensional memberikan dampak kerusakan hutan di sekitarnya, baik karena jatuhnya pohon besar, kerusakan insidental, ekstraksi kayu gelondongan atau penciptaan jalan penebangan (Rutishauser & Herold 2007).

Kurangnya rencana penebangan yang memadai juga dapat mengakibatkan masalah penjadwalan yang sangat meningkatkan gangguan dan memaksa pengawas penebangan untuk mengelola dari krisis ke krisis daripada melakukan operasi secara sistematis dan terorganisir (Okon 2018).

Menurut FAO (1996) dalam Okon (2018) rencana pemanenan strategis dan taktis harus mampu memenuhi tujuan meliputi (1) mengoptimalkan tingkat produksi panen (2) meminimalkan dampak lingkungan dan lainnya yang terkait dengan operasi penebangan (3) menyediakan akses yang efisien ke hutan untuk tujuan silvikultur, perlindungan dan transportasi (4) meminimalkan biaya panen dan transportasi, tergantung pada kendala yang disebabkan oleh pertimbangan lingkungan, ekologi dan sosial (5) mengidentifikasi peluang untuk mengkoordinasikan pemanenan kayu dengan pengumpulan hasil hutan non-kayu (6) memberikan fleksibilitas sehingga rencana dapat berubah untuk memanfaatkan informasi baru atau situasi yang berubah, dan terakhir (7) melindungi kesehatan dan keselamatan pekerja dan publik.

Definisi awal kehutanan berkelanjutan terkonsentrasi pada sumber daya kayu dari sejumlah spesies pohon komersial yang terbatas. Namun belakangan, pentingnya produk dan jasa lain yang disediakan oleh hutan seperti peran hutan dalam mata pencaharian masyarakat lokal, pembangunan pedesaan, dan pengentasan kemiskinan menjadi fokus perhatian (Werger 2011). Konsep pengelolaan hutan lestari saat ini mencakup kelanjutan rotasi produk kayu dan jasa lain, seperti perlindungan pasokan air bersih, tanah dan situs budaya, dan hasil hutan non-kayu yang berkelanjutan, serta kayu. Pengelolaan hutan lestari telah digambarkan sebagai kontribusi kehutanan terhadap pembangunan berkelanjutan (Higman et al. 2005).

Konsep pembangunan berkelanjutan mengakui bahwa pemanfaatan hutan akan mengubah ekosistem alam, tetapi konservasi itu sama pentingnya. Olehnya itu, pemanfaatan hutan lestari penting untuk mencapai tujuan sosial nasional, seperti lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan (Higman et al. 2005).

Hutan hujan tropika mempunyai tingkat keanekaragaman hayati tinggi. Pemanenan kayu di hutan hujan tropika memiliki risiko kerusakan dan kehilangan flora dan fauna serta mikroorganisme lainnya. Kegiatan pemanenan yang dilakukan secara konvensional berdampak terhadap kerusakan tegakan tinggal sehingga dirasa tidak efektif dalam menjaga kelestarian ekosistem. Perkembangan paradigma pengelolaan hutan menyebabkan pergeseran dalam kegiatan pemanenan kayu di hutan hujan tropika. Salah satu upaya menekan kerusakan ekosistem hutan adalah penerapan konsep pembangunan ramah lingkungan. Pembangunan ramah lingkungan atau lebih dikenal dengan penerapan Reduced Impact Logging (RIL) atau Penebangan Berdampak Rendah (RIL) bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari.

Dampak Intensitas Pemanenan Terhadap Kerusakan Hutan

Pemanenan kayu dapat mempengaruhi lingkungan, seperti (1) kerusakan tanah hutan. Tanah hutan memainkan peran penting dalam ekologi hutan. Selama pemanenan kayu, penting untuk meminimalkan dampak negatif terhadap tanah, (2) kerusakan tutupan hutan selama pemanenan kayu mengakibatkan hilangnya perlindungan, yang diberikan oleh tutupan tanaman ke tanah (Hamilton & Pearse 1985 dalam Okon 2018). Tutupan hutan menjadi penahan tanah, meningkatkan kekasaran permukaan, mengurangi kecepatan angin, menjaga kelembaban tanah dan menambah bahan organik yang membantu mengikat partikel tanah menjadi agregat, (3) pemanasan global, pemanasan global disebabkan oleh emisi gas rumah kaca yang berlebihan ke atmosfer. Karbon monoksida adalah salah satu gas utama yang menyebabkan pemanasan global.

Melalui proses fotosintesis, pohon mengubah karbon monoksida menjadi oksigen. Panen kayu yang tidak berkelanjutan hanya akan merusak kemampuan tanaman untuk mengubah karbon monoksida dan air menjadi karbohidrat dan oksigen, (4) kerusakan DAS, dampak negatif dari penebangan kayu di daerah aliran sungai meliputi: limpasan dan erosi parit, erosi air di lapangan, sedimentasi sungai, kerusakan tempat pemijahan ikan dan perubahan kedalaman permukaan air, pembatasan pergerakan ikan dan pencemaran pasokan air, (5) hilangnya keanekaragaman hayati, dampak penebangan kayu terhadap satwa liar menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati yang hilang dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ketika tutupan hutan dihilangkan, satwa liar kehilangan habitat dan menjadi lebih rentan terhadap perburuan (Okon 2018).

Kerusakan vegetasi hutan sangat dipengaruhi dengan intensitas pemanenan. Intensitas pemanenan memberikan dampak terhadap kerusahan tegakan tinggal, keterbukaan areal hutan, dan pemadatan tanah di hutan alam tropika. Kegiatan penebangan merupakan kegiatan merebahkan pohon berdiri sehingga rebah di atas permukaan tanah (Elias 2015). Penebangan pohon di hutan alam tropika mengakibatkan kerusakan pada tegakan tinggal, keterbukaan areal dan pemadatan tanah. Soenarno et al. (2017) menyatakan, setiap satu pohon ditebang menyebabkan kerusakan tegakan antara 1-2 pohon.

Senanda dengan itu, Session (2007) menyatakan, penebangan individu pohon dengan tajuk besar dapat menciptakan celah hingga 0,20 ha per pohon. Burivalova et al. (2014) menemukan bahwa kekayaan spesies invertebrata, amfibi, dan mamalia menurun ketika intensitas penebangan meningkat. Kerusakan tegakan tinggal terjadi pada setiap lapisan struktur tegakan yang ditunjukkan pada kerusakan pada phase perkembangan vegetasi yang terdiri dari phase anakan, phase pancang, phase tiang dan phase pohon (Elias 2012).

Intervensi pemanenan kayu menyebabkan perubahan ekologi hutan, seperti lebih banyak cahaya akan mencapai bagian bawah hutan di berbagai tempat, jumlah air yang mencapai lantai hutan meningkat karena perubahan intersepsi, kondisi suhu di dalam hutan berubah, dampak angin kencang, dan perubahan komposisi spesies mikroorganisme, flora dan fauna (Werger 2011).

Penyaradan adalah salah satu dari kegiatan pemanenan yang menjadi penyebab keterbukaan areal hutan, kerusakan vegetasi, dan pemadatan tanah. Menurut Sessions (2007), kerusakan tegakan sisa akibat penyaradan seringkali melebihi kerusakan akibat penebangan. Penyaradan merupakan proses kegiatan pemindahan kayu bulat dari tunggak ke TPN atau tepi jalan angkutan (Elias 2015). Keterbukaan tanah disebabkan oleh penggunaan alat berat dalam pengelolaan hutan alam umumnya terjadi pada kegiatan penyaradan dan pembukaan wilayah hutan (PWH) (Elias 2002). Keterbukaan areal akibat penyaradan merupakan luas tanah yang terbuka yang disebabkan aktifitas kegiatan diatas permukaan tanah, berasal dari jejak traktor atau bekas lintasan batang kayu yang disarad. Suhartana & Idris (1996) dalam Kusumawardani (2016) menjelaskan bahwa semakin banyak kayu yang disarad maka semakin tinggi intensitas gerakan traktor pada petak tebang bersangkutan menyebabkan semakin tinggi pula kerusakan yang terjadi.

Tipe kerusakan tegakan didominasi oleh bagian batang pohon yang patah, tetapi tidak sedikit dijumpai pohon roboh atau miring yang karena tertimpa pohon akibat penebangan. Batang pohon patah disebabkan oleh banyaknya tumbuhan liana yang terdapat pada bagian tajuk dan saling mengkait antara tajuk pohon satu dengan pohon lainnya (Soenarno et al. 2017). Apabila liana yang mengkait taju tersebut kuat maka akan menyebabkan kerusakan tajuk pada pohon lainnya. Senada dengan itu, Hawthorne et al. (2011) menyatakan, penebangan pohon akan mengakibatkan kerusakan terhadap pohon di sekitarnya khususnya kerusakan pada tajuk.

Kegiatan pemanenan memiliki beberapa dampak besar yakni. (1) dampak terhadap tanah, yaitu gangguan tanah yang disebabkan penyaradan tanah dan beban tinggi mengakibatkan pemadatan tanah dan erosi, kehilangan unsur hara, mengurangi penyerapan air tanah mengakibatkan akar tanaman tumbuh buruk dalam kondisi anaerobik tanah; (2) dampak terhadap air, yaitu penebangan kayu gelondogan dengan menyerenya ke seberang aliran air dapat merusak streambed dan mengganggu aliran sungai.

Peningkatan tingkat erosi tanah di jalur dan jalan setapak menyebabkan peningkatan sedimen di saluran air, yang pada akhirnya mempengaruhi kualitas air untuk hewan dan tumbuhan air; (3) dampak pada tegakan sisa, yaitu dalam sistem seleksi, pohon yang ditebang merusak dan mematahkan pohon lain saat tumbang. Tanaman merambat (liana), mengikat tajuk pohon menjadi satu, dapat menarik pohon lain. Mesin ekstraksi dan batang kayu yang diekstraksi mematahkan batang dan cabang pohon, mengikis kulit pohon dewasa, dan menghancurkan pohon dan bibit yang lebih kecil. Hal ini dapat mempengaruhi kemampuan hutan untuk beregenerasi; (4) dampak lainnya, yaitu dampak terhadap satwa liar dan gangguan pada perkembangbiakan dan sarang serta kerusakan lanskap, terutama dari penebangan pohon secara besar-besaran di daerah yang secara visual terlihat jelas (Higman et al. 2005).

Dampak negatif pemanenan hutan lainnya yakni perubahan bentang alam, keterbukaan dan pemadatan tanah, kerusakan vegetasi hutan, kerusakan habitat fauna dan flora, erosi, pengeruhan air sungai, sedimentasi dan pendangkalan badan sungai dan danau, kerusakan habitat kehidupan liar di dalam eksistem perairan sungai dan danau, kelangkaan akan kepunahan jenis-jenis fauna dan flora tertentu, sering terjadi becana banjir pada musim hujan dam bencana kekeringan pada musim kemarau, dan kehidupan masyarakat di sekitar hutan terganggu akibat berkurangnya sumber-sumber air bersih, pencemaran air sungai, pendangkalan sungai, berkurangnya sumber penghidupan atau penghasilan dari pengambilan hasil hutan dan penangkapan ikan di sungai (Elias 2015).

Teknik Reduced Impact Logging (RIL)

Pengelolaan hutan lestari adalah instrumen penting dalam kegiatan pemanenan kayu untuk menghasilkan produksi kayu yang berkelanjutan, pendapatan yang meningkat secara terus-menerus dengan tetap menjaga kualitas lingkungan dan tanggung jawab sosial. Pengelolaan hutan lestari adalah proses pengelolaan hutan untuk mencapai satu atau lebih tujuan pengelolaan yang ditentukan secara jelas sehubungan dengan produksi berkelanjutan dari produk dan jasa hutan yang diinginkan, tanpa pengurangan yang tidak semestinya dari nilai-nilai yang melekat dan produktivitas masa depan dan tanpa dampak yang tidak diinginkan terhadap lingkungan fisik dan sosial (ITTO 1998).

Pengertian awal konsep kehutanan berkelanjutan terfokus pada sumber daya kayu, yang pengelolaan hutannya berorientasi dari sejumlah spesies pohon komersial yang terbatas. Konsep pengelolaan hutan berkelanjutan terus mengalami perkembangan. Banyak peneliti menyimpulkan bahwa produksi kayu yang berkelanjutan harus mempertimbangan lebih dari sekedar pohon kayu saja. Pendekatan berubah menjadi pengelolaam sumber daya yang berkelanjutan dengan fokus pada hutan sebagai penghasil kayu, dengan anggapan bahwa produksi kayu hanya dapat dipertahankan saat mampu diterima secara ekonomi dan ekologis. Pentingnya produk dan jasa lain yang disediakan oleh hutan telah mendapat banyak perhatian dalam pembangunan kehutanan, terutama perhatian terhadap aspek ekonomi dan aspek sosial, seperti peran hutan dalam mata pencaharian masyarakat lokal, pembangunan pedesaan, dan pengentasan kemiskinan (Werger 2011). Konsep pengelolaan hutan lestari sekarang mencakup kelanjutan rotasi produk dan jasa lain seperti perlindungan pasokan air bersih, tanah dan situs budaya, dan hasil hutan non-kayu yang berkelanjutan, serta kayu.

Reduced Impact Logging atau penebangan berdampak rendah (RIL) adalah pendekatan sistematis dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi terhadap pemanenan kayu (Elias et al. 2001). RIL merupakan pelengkap kegiatan pemanenan seperti pembuatan jalan, penebangan, dan penyaradan. Penerapan RIL bertujuan untuk meminimalkan kerusakan pada tanah dan tegakan hutan (Muhdi et al. 2012) serta dampaknya terhadap kehidupan satwa liar (Elias et al. 2001). Langkah awal yang perlu diambil menuju pengelolaan hutan lestari di sebagian besar daerah tropis adalah meminilmalkan dampak lingkungan dari pemanenan kayu selektif melalui penerapan teknik RIL (Putz & Romero 2015). Kerusakan yang terjadi akibat pemanenan kayu melalui penerapan RIL lebih kecil dibandingkan dengan kerusakan yang terjadi pada petak pemanenan kayu secara konvensional (Muhdi  et al. 2012). Tingginya kesadaran dan kepeduluan terkait masalah lingkungan yang disebabkan oleh jenis penggunaan lahan, perubahan menuju pelestarian alam, dan perlindungan mengarah pada pembentukan prinsip Reduced Impact Logging (RIL) yang bertujuan untuk menghindari kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan penebangan menjadi alasan (Hawthorne et al. 2011).

Sistem penebangan konvensional tidak mempertimbangkan masalah keberlanjutan, karena orientasi terfokus hanya pada keuntungan moneter. Untuk meminimalkan dampak negatif tersebut, penerapan teknik Reduced Impact Logging (RIL) menjadi hal sangat penting dalam kegiatan pemanenan. Penerapan RIL adalah metode pemanenan ramah lingkungan, yang memperhatikan aspek lingkungan sebagai satu kesatuan. Untuk mencapai keberhasilan dalam konsep RIL, maka dibutuhkan perencanaan pemanenan yang baik dan tepat untuk memperoleh hasil yang optimal dan berkelanjutan.

Dampak Reduced Impact Logging (RIL) Pada Hutan

Hutan hujan tropika, meski hanya mencakup 10% dari luas bumi permukaan, merupakan rumah bagi 50-80% dari semua spesies darat (Wood 2018). Indonesia memiliki hutan hujan tropis terluas ketiga setelah Brazil dan Republik Demokratik Kongo, disusul Peru dan Kolombia yang menempati luas hutan tropis keempat dan kelima. Hutan hujan tropika adalah rumah bagi setengah spesies fauna dan flora di seluruh dunia.

Persebaran hutan hujan tropis di Indonesia berada di pulau-pulau besar seperti Kalimantan, Sumatera, Papua dan Sulawesi. Keberagaman fauna dan flora di Indonesia termasuk tinggi di dunia, jauh lebih tinggi daripada Amerika Selatan dan Afrika yang juga beriklim tropis. Beragam manfaat yang dapat diperoleh seperti memberikan layanan ekologis, termasuk menyimpan ratusan milyar ton karbon, melindungi dari banjir dan kekeringan, mestabilkan tanah, mempengaruhi pola curah hujan, dan menyediakan rumah bagi satwa liar dan penduduk asli (FSC 2021).

Hutan adalah sumber penghidupan dan pendapatan masyarakat lokal. Dibutuhkan pengelolaan ekosistem hutan yang sesuai untuk memastikan keberlanjutan dari penggunaan dan pemanfaatan hutan. Pendekatan paradigma pemanfaatan sumber daya hutan modern menekankan pada pemanfaatan fungsi-fungsi ekosistem hutan tanpa mengurangi produksi-produksi fungsi-fungsi ekosistem bagi generasi sekarang dan yang akan datang (Elias 2012).

Salah satu pendekatan yang digunakan untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari yaitu teknik RIL. Pemanenan hutan adalah kegiatan kehutanan yang merubah pohon dan biomassa lain menjadi bentuk yang dapat dipindahkan ke lokasi lain sehingga bermanfaat bagi kehidupan ekonomi masyarakat (Suprapto 1982 dalam Elias 2015). Menurut Pinard et al. (2000), kerusakan dari kegiatan pemanenan hutan tidak dapat dihindarkan, namun intensitas pemanenan tersebut dalam diminimalkan melalui perencanaan yang baik dan kepatuhan terhadap aturan yang baik.

Kegiatan pemanenan kayu menyumbang emisi karbon dan CO2 di atmosfer. Pearson et al. (2017) menemukan bahwa emisi yang terkait dengan panen kayu menyumbang lebih dari setengah dari total emisi degradasi (53%), diikuti oleh woodfuel (30%) dan kebakaran (17%). Emisi dari degradasi hutan mewakili seperempat dari total emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.

Sistem pemanenan kayu yang berkelanjutan dan bernilai ekonomis dapat melindungi ekosistem hutan dari hilangnya keanekaragaman hayati. Untuk mencegah hilangnya keanekaragaman hayati akibat pemanenan kayu, beberapa catatan penting dalam pemanenan yakni, (1) operasi penebangan kayu harus dijadwalkan terhadap musim berkembang biak dan bersarang untuk spesies satwa liar yang sangat terancam punah, (2) pohon di areal pemanenan harus dibiarkan untuk beregenerasi dan menyediakan sarang dan tempat bersarang, sumber makanan, penutup dan koridor perjalanan bagi satwa liar, (3) konservasi yang sesuai untuk spesies tumbuhan bawah, serta sobekan, tebangan dan puing-puing kayu di lokasi penebangan harus dikelola dengan baik untuk meningkatkan habitat satwa liar, (4) vegetasi alami dalam kawasan pengelolaan hutan harus dikelola untuk memastikan berbagai tahapan suksesi (Okon 2018).

Penerapan teknik Reduced Impact Logging (RIL) mampu menghasilkan peningkatan substansial dalam retensi karbon (Griscom et al. 2014) dan keanekaragaman hayati (Bicknell et al. 2014). Namun, menurut Putz & Romero (2015) pekerja yang terlatih sangat penting untuk dapat berkontribusi dalam pengelolaan lestari. Meskipun prosedur pemanenan telah mengadopsi teknik RIL tetapi jika didukung dengan kemampuan pekerja yang terlatih maka menyebabkan teknik RIL tidak berjalan optimal dan justru memberi dampak yang lebih besar. Menurut Dykstra (2005), prinsip-prinsip ini adalah untuk mengurangi dampak negatif ekologi dan sosial dari operasi industri kegiatan pemanenan kayu.

Salah satu faktor terpenting dari penebangan teknik RIL adalah inventarisasi sebelum kegiatan pemanenan. Inventarisasi ini menyediakan data untuk perencanaan penebangan, termasuk pemilihan sistem pemanenan berdampak rendah, pelatihan staf dan operator mesin, pembukaan jalan hutan dan jalan sarad, volume yang akan ditebang, dan siklus rotasi. Penilaian pasca panen memberikan data yang diperlukan untuk pengendalian dampak operasi (Supryatno & Becker 1998).

Penjelasan Putz et al. (2008), RIL ditunjukkan kepada mengurangi kerusakan tambahan sebesar 20% –50%. Namun, a) memajukan regenerasi spesies kayu bernilai tinggi sering tidak ada di tegakan sisa untuk memulai, dan (b) terlepas dari apakah RIL telah diterapkan dan apakah terdapat regenerasi awal, intensitas penebangan yang tinggi dan diameter pemotongan minimum yang rendah biasanya tertinggal persentase tinggi kanopi di celah terbuka (20%–50%) bahwa tegakan sisa menjadi dijajah oleh tumbuh cepat, tanaman merambat yang menyukai cahaya dan spesies pionir. Higman et al. (2005) menjelaskan teknik RIL mampu mengurangi kerusakan pada tegakan sisa hingga 40%. Penerapan RIL telah terbukti efektif di seluruh dunia dalam mengurangi kerusakan jaminan pada tegakan sisa sebesar 20% - 50% (Okon 2018). Penelitian Muhdi et al. (2014) menunjukkan bahwa dengan diterapkan teknik pemanenan kayu RIL dapat mengurangi atau menekan kerusakan tegakan tinggal tingkat tiang dan pohon. Selain itu, Muhdi & Hanafiah (2007) menyatakan pemanenan kayu dengan teknik RIL dapat menurunkan derajat kerusakan tegakan dibandingkan pemanenan kayu konvensional 13,62% dan mengurangi tingkat keparahan kerusakan tegakan.

Dalam meta-analisis baru-baru ini dari 287 studi yang diterbitkan yang berisi 1008 perbandingan kekayaan spesies yang dikelola dan hutan yang tidak dikelola, Chaudhary et al. (2016) dalam Wood (2018), menemukan itu RIL memang mengurangi dampak penebangan terhadap kekayaan spesies (dibandingkan dengan penebangan selektif konvensional, yang mengurangi kekayaan sebesar 13%). Sementara itu, sebuah studi baru-baru ini di Amazon Brasil menemukan, tahun setelah penebangan, biomassa berkurang 14% oleh RIL dan 24% dengan penebangan konvensional, sesuai pengurangan volume spesies yang dapat diperdagangkan sebesar 21% dan 31%, temuan tersebut juga mendukung klaim bahwa penggunaan teknik RIL mempercepat laju biomassa dan stok kayu pemulihan setelah penebangan selektif (Vidal et al. 2016 dalam Wood 2018).

Hutan hujan tropika memiliki struktur penyusun yang kompleks, baik tingkat vegetasi, spesies mikroorganisme, keaneragaman hayati, manfaat hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan jasa lingkungan. Perencanaan dan pelaksanaan menjadi faktor penentu untuk memperoleh hasil yang optimal dengan mampu memaksimalkan kualitas dan kuantitas produk kayu, meminimalkan biaya operasi, memperkuat simpanan karbon hutan, mengurangi emisi karbon dioksida, dan meminimalisir dampak kerusakan tingkat tegakan tinggal. Pemanenan kayu adalah kegiatan yang tidak terlepas dari dampak yang disebabkan. Oleh sebab itu, penerapan Reduced Impact Logging atau penebangan berdampak rendah (RIL) dapat menjadi alternatif dalam menyelesaikan persoalan kerusakan hutan akibat kegiatan pemanenan dengan pendekatan kelestarian ekosistem. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun