Pendahuluan
Pada tanggal 29/10/2024 yogyakarta sedang menjadi perbincangan hangat dimedia masa, sebab sedang terjadi demontrasi yang didalamnya melibatkan santri dari berbagai pondok pesantren. Peristiwa ini merupakan kritik yang wajar di sebuah Negara demokrasi seperti yang dianut oleh Indonesia.
Tulisan ini ditulis untuk melihat fenomena yang sedang diperbincangkan dalam politik Indonesia terkait dengan mobilitas dengan menggunakan identitas islam yang sering dikaitkan dengan populisme. Dalam artikel ini, kita akan membahas konteks, tujuan, dan dampak dari demontrasi tersebut
Konteks peristiwa
Aksi demo yang digagas oleh PWNU Yogyakarta ini bertajuk “santri memanggil”, sebagai bentuk protes atas maraknya tindak kriminalitas yang dipicu oleh konsumsi minuman keras (miras). Dua santri Pondok Pesantren (Ponpes) Al Munawir, Krapyak, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), menjadi korban penganiyaan yang dilakukan oleh orang tak dikenal (OTK), yang terjadi pada Rabu (23/10/2024) pukul 21.25 WIB.
Santri yang mengalami penganiyaan itu berinisial S (19) dan A (23). Dipaparkan oleh Kepala Kepolisisan Resor Kota Yogyakarta Komisaris Besar Aditya Surya Dharma pada selasa (29/10/2024), dua santri tersebut dianiyaya menggunakan balok kayu, helm, dan tangan kosong. Bahkan ada pelaku yang menggunakan senjata tajam untuk menusuk salah seorang korban, dan pelaku melakukan penganiyayaan tersebut dalam keadaan mabuk.
Akibat penganiyayaan itu, korban yang berinisial A (23) mengalami luka memar di bagian kepala dan patah tulang ibu jari bagian kanan. Sementara itu, korban yang berinial S (19) mengalami luka tusuk di bagian perut akibat penusukan menggunakan senjata tajam serta memar disejumlah bagian tubuh.
Kemudian aparat Polresta Yogyakarta melakukan penyelidikan setelah peristiwa penganiyayan dan penusukan itu terjadi. Setelah pencarian tersebut, polisi menangkap tujuh pelaku penganiyayaan terhadap dua santri tersebut. Salah satu yang ditangkap adalah orang yang diduga memprovokasi dan membelikan minuman keras (miras) untuk pelaku terduga lainya sebelum melakukan penganiyayaan.
Agama dan Populisme ?
Dalam teori gerakan sosial, kesempatan politik, mobilisasi masa, dan framing menjadi katalisator utama dalam tercapainya suatu tujuan. Dari ketiga katalisator di atas yang paling utama dan strategis dalam tercapainya suatu tujuan selain hasrat untuk berkuasa ialah pembingkaian aksi (framing).
Dalam gerakan sosial, para aktor harus mampu membingkai aksi yang mereka rencanakan dalam bahasa dan slogan-slogan yang mudah dipahami agar dapat menyentuh sentimen mereka. Inilah seni dalam komunikasi untuk menyampaikan sebuah pesan kepada audiens supaya terpompa partisipasi dan loyalitas mereka dengan didukung oleh ideologi sebagai efektivitas sebuah framing.
Menyoroti kasus penusukan terhadap santri jogja ini 14 ribu santri Yogyakarta gelar aksi damai untuk menegaskan peredaran miras dan kriminalitas. Ribuan santri Yogyakarta menunut pengawasan terhadat miras harus kebih intensif dan ketentuan peraturan daerah (Perda) harus ditegakan secara ketat untuk kesejahteraan Masyarakat luas.
Keterkaitan demontrasi aksi ribuan santri ini dengan populisme dapat dilihat dari identitas kolektif yang dilaksanakan oleh beberapa Ormas Masyarakat yang ikut andil dalam demontrasi tersebut, antara lain Gerakan Pemuda (GP) Ansor Nahdlatul Ulama, Muslimat Nahdlatul Ulama, Fatayat NU, PMII, IPNU , Pagar Nusa, dan berbagai ormas selain NU. Selain para santri dan ulama, sejumlah tokoh Masyarakat turut hadir dalam aksi ini. Salah satunya Asyharul Mualla, dosen Universitas Islam Indonesia (UII).
Ribuan santri ini melakukan mobilisasi terkait terjadinya penusukan atas 2 orang santri jogja yang tidak segera mendapatkan keadilan dan terkait ketiadaan pengelolaan pengguna minuman keras (Miras) yang mejadi penyebab terjadinya peristiwa penusukan tersebut.
KH Hasan Abdullah jadi salah satu yang berorasi dalam aksi solidaritas santri di Polda DIY. Dia mengaku bangga dengan ribuan santri yang rela turun terbakar panas matahari dalam menyuarakan tolak miras di DIY. Melalui kesempatan ini, Hasan menyatakan bahwa aksi solidaritas juga bentuk keinginan santri untuk mengenal Kapolda DIY. Dia juga berterima kasih aksinya telah diterima oleh Polda DIY.
Selanjutnya, dia mendesak agar pelaku penusukan terhadap santri ditindak dengan proses hukum yang tuntas dan adil. Dia lantas menekankan, aksinya dapat bergelombang lebih besar dan luas. Jika peredaran miras di DIY tidak mendapat penanganan maksimal.
Ketua Ansor DIY sekaligus Koordinator Umum Aksi Solidaritas Santri Yogyakarta, Abdul Muiz, juga menyatakan kesiapannya mengerahkan gelombang yang lebih besar.
Sebagai Aktor Mobilisasi Aksi ribuan santri ini Abdul Muiz (Gus Muiz) dalam orasinya menyuarakan rasa prihatin dan kepedulian terhadap peristiwa penganiayaan dan penusukan terhadap dua santri Krapyak di Prawirotaman. Abdul Muiz lantas mengajak massa aksi untuk ikut mengucapkan tuntutan terhadap Polda DIY
- Pernyataan Abdul Muiz kepada Polda DIY atas Kasus Penusukan Santri Krapyak yaitu:
- Tangkap pelaku dan tegakkan hukum seadil-adilnya.
- “Kami mendesak aparat penegak hukum untuk segera menangkap semua pelaku penganiayaan, memproses mereka sesuai hukum yang berlaku, menyeret mereka ke pengadilan guna mempertanggungjawabkan perbuatannya,” ujar Gus Muiz.
- Korban dan keluarga berhak mendapatkan keadilan serta kepastian hukum.
“Kami meminta adanya dukungan penuh dalam proses pemulihan, baik fisik maupun mental, bagi korban dan keluarganya,” ujar Gus Muiz.
- Jaminan keamanan dilingkungan Masyarakat.
- “Kami menuntut pemerintah, aparat keamanan, dan lembaga terkait untuk meningkatkan keamanan di semua sektor, setiap tempat harus bebas dari ancaman kekerasan dan setiap individu yang berbeda di dalamnya berhak merasa aman,” ungkapnya.
- Menolak bentuk kekerasan dan mendukung setiap langkah menuju terciptanya keamanan dan ketertiban.
5. Tingkatkan pengawasan ketat untuk mencegah kekerasan di wilayah DIY
“Kami menyerukan peningkatan pengawasan di wilayah Yogyakarta untuk mencegah tindakan kekerasan di masa depan, termasuk dalam hal ini mengevaluasi dan mengendalikan peredaran minuman keras yang kian marak karena satu botol miras dapat memicu 1000 kriminalitas,” ujarnya.
6. Evaluasi peraturan tentang peraturan minuman keras (miras).
“Mendesak pemerintah untuk meninjau ulang dan merevisi peraturan daerah tentang pengendalian pengawasan minuman beralkohol serta pelanggaran minuman oplosan agar lebih efektif dalam mencegah tindak kriminal yang disebabkan oleh konsumsi minuman tersebut,” ujar Abdul.
7. Komitmen menegakkan keadilan.
“Kami berkomitmen untuk terus mengawal kasus ini hingga keadilan ditegakkan, tidak ada tempat bagi kekerasan di masyarakat, dan kami tidak akan tinggal diam hingga semua pelaku menerima hukuman yang setimpal,” tambahnya. Gus Muiz berharap dengan adanya pernyataan sikap ini, ke depannya tidak terjadi lagi tragedi serupa, dan selalu menjaga kerukunan antarumat beragama, ras, serta etnis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H