Mohon tunggu...
Moh Heri Kurniawan
Moh Heri Kurniawan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Perawat Sebagai Care Giver Lansia

21 Mei 2017   23:56 Diperbarui: 21 Juni 2017   16:14 7585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jumlah lansia semakin meningkat dari tahun ke tahun namun pelayanan kesehatan terhadap lansia masih jauh dari harapan. Upaya pemerintah untuk menyejahterakan lansia telah banyak dilakukan sejak pertama kali digaungkan pada tahun 1998, namun entah mengapa sampai saat ini belum efektif untuk menyelesaikan masalah lansia yang terbilang cukup komprehensif. Dari begitu banyak kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, tak banyak yang memaksimalkan potensi dan kemampuan perawat dalam menangani masalah lansia.

Penulis: Moh Heri Kurniawan & Hany Handiyani


Kesehatan merupakan hak paling mendasar bagi seluruh warga Negara mulai dari bayi, anak, remaja, dewasa, hingga Lanjut Usia (Lansia). Salah satu isu permasalahan kesehatan yang masih minim penanganan dari pemerintah adalah penanganan lanjut usia. Penduduk lanjut usia adalah penduduk yang berumur 60 tahun atau lebih.

Di dunia saat ini, jumlah penduduk lanjut usia sudah mencapai sekitar 21% dari total populasi dunia. Pada tahun 2025, diperkirakan akan mencapai jumlah sekitar 1,2 miliar jiwa. Ini jelas memerlukan satu perhatian khusus, termasuk di negara-negara berkembang seperti Indonesia, karena dari jumlah 1,2 milyar lanjut usia tersebut, sekitar 80% hidup di negara-negara sedang berkembang. Indonesia sendiri kini menjadi lima besar negara dengan jumlah lansia terbanyak di dunia. 

Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah lansia di Indonesia yaitu 18,1 juta jiwa (7,6% dari total penduduk). Pada tahun 2014, jumlah lansia di Indonesia menjadi 18,781 juta jiwa. Jumlah penduduk lanjut usia (>60 tahun) diperkirakan akan meningkat menjadi 27,1 juta jiwa pada tahun 2020, menjadi 33,7 juta jiwa pada tahun 2025 dan 48,2 juta jiwa tahun 2035 (Badan Pusat Statistik, 2013). Hal ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi pemerintah Indonesia akan kesejahteraan lansia kedepannya.

Beberapa langkah pemerintah dalam menangani permasalahan lansia di antaranya tertuang dalam UU-RI Nomor 13 tahun 1998 pasal 25 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia dan UU Nomor 40 Tahun 2004, UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, UU Nomor 24 Tahun 2011.

Undang-undang ini menunjukkan komitmen besar dari pemerintah Indonesia untuk memastikan semua orang dapat akses pada pelayanan kesehatan, akses ke dana pensiun, dan adanya sistem tabungan untuk jaminan hari tua. Namun, pemerintah masih menghadapi tantangan besar  untuk membuat visi ini benar-benar menjadi kenyataan. Selain itu, UU mengenai sistem pensiunan belum mencakup lansia miskin dan lansia yang bekerja pada sektor informal.

Upaya pemerintah saat ini yang dilakukan adalah dengan disahkannya peraturan menteri kesehatan nomor 25 tahun 2016 tentang rencana aksi nasional kesehatan lanjut usia tahun 2016-2019. Dengan Visi terwujudnya lanjut usia yang sehat dan produktif tahun 2019. Di mana program ini bertujuan meningkatkan derajat kesehatan lanjut usia untuk mencapai lanjut usia yang sehat, mandiri, aktif, produktif dan berdayaguna bagi keluarga dan masyarakat. Upaya yang telah dikembangkan untuk mendukung kebijakan tersebut antara lain meningkatkan upaya kesehatan bagi lansia di pelayanan kesehatan dasar dengan pendekatan Pelayanan Santun lanjut usia, meningkatkan upaya rujukan kesehatan bagi lanjut usia melalui pengembangan Poliklinik Geriatri Terpadu di Rumah Sakit, dan menyediakan sarana dan prasarana yang ramah bagi lanjut usia (Kemenkes, 2016).

Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dengan terbitnya peraturan  menteri kesehatan No. 25 tahun 2016 salah satunya yaitu bekerja sama dengan Bappenas dengan meluncurkan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) yang dilaksanakan dan didukung oleh semua lintas sektor terkait. GERMAS yang di prakarsai oleh Wakil Presiden, Drs. M. Jusuf Kalla dan disusun oleh Bappenas bersama Kementerian Kesehatan serta lintas sektor terkait, bertujuan 1) menurunkan prevalensi penyakit menular maupun penyakit tidak menular, baik kematian maupun kecacatan; 2) menghindarkan terjadinya penurunan produktivitas penduduk; dan 3) mereduksi biaya pengobatan di pelayanan kesehatan.

Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, memperlihatkan bahwa jenis penyakit lansia yang paling banyak atau umum ditemui adalah penyakit tidak menular antara lain hipertensi, osteo artritis, masalah gigi-mulut, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) dan Diabetes Mellitus (DM).

Selain kerentanan terhadap penyakit degeneratif, kelompok lansia juga membutuhkan pemenuhan kebutuhan dasar berupa pangan (makanan), papan (perumahan) dan juga sandang (pakaian). Kebutuhan khusus lainnya yang sangat penting bagi lansia seperti pengobatan dasar, pengobatan lanjutan ke rumah sakit, kebutuhan kebersihan diri, serta kebutuhan psikologis yang meliputi program-program pelayanan sosial yang memberikan mereka kesibukan sebagai pengisi waktu luang, penyaluran hobi, terapi kelompok, olahraga dan sebagainya.

Salah satu strategi Kementrian Kesehatan dalam menangani masalah lansia adalah dengan meningkatkan pengembangan dan pendayagunaan sumber daya manusia (SDM) kesehatan yang merata dan bermutu. Namun dalam pelaksanaannya banyak mengalami kendala, salah satu contoh kendala yang dialami adalah ketidaksesuaian antara permintaan dan penyediaan.

Selain keterbatasan SDM, keterbatasan fasilitas kesehatan yang memadai juga menjadi salah satu hambatan terlaksanannya kebijakan tersebut. Berdasarkan Risfaskes 2011, Puskesmas yang menjalankan pelayanan secara komprehensif yang meliputi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif  rata-rata nasional sekitar 42,3%, dan proporsi tertinggi ditemukan di Provinsi DIY yaitu 71,9%. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan fasilitas kesehatan pada tiap daerah di Indonesia yang mengakibatkan pelaksanaan kebijakan mengalami hambatan.

Kesenjangan yang terjadi mengakibatkan ketidakoptimalan pelaksanaan kebijakan pada tatanan bawah. Hal ini didukung dari data Direktorat Bina Upaya Kesehatan Dasar tahun 2015 yang didapat dari laporan daerah, jumlah puskesmas yang telah melaksanakan pelayanan kesehatan santun lanjut usia adalah 824 puskesmas atau sekitar 10% dari jumlah puskesmas seluruhnya. Untuk pelayanan di masyarakat, Kelompok Lanjut Usia yang dibina oleh puskesmas mencapai lebih dari 70.000 orang. Masalah klasik ketidakoptimalan pelayanan kesehatan dikarenakan keterbatasan fasilitas dan SDM kesehatan. Hal ini berkaitan pula dengan minimnya anggaran pemerintah dalam sektor kesehatan.

Menurut Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa alokasi anggaran kesehatan adalah minimal 5% dari APBN, dan minimal 10% dari APBD (Propinsi dan Kabupaten Kota). Namun pada kenyataannya alokasi dana tersebut tidak mencapai batas target minimal. Terlebih lagi target alokasi dana kesehatan yang terbilang begiu kecil, dalam pelaksanaannya lebih mengutamakan pada kuratif/pengobatan dibandingkan promotif dan preventif/ pencegahan, terlebih lagi penanganan pada lansia.

Masalah lain yang saat ini terjadi adalah adanya sentralisasi program kesehatan, pemerintah pusat (Kementerian Kesehatan) tidak bertindak sesuai perannya sebagai regulator, tapi merangkap sebagai operator. Hal ini justru menurunkan efisiensi dan efektifitas kinerja. Pemerintah pusat harus kembali pada fungsi utamanya sebagai regulator, pembuat kebijakan dan penetap standar minimal kesehatan. Kementerian Kesehatan sebaiknya bisa menggunakan pola desentralisasi, di mana aktor utama Program Kesehatan adalah 503 Pemda Kabupaten/Kota dan 34 Pemda Provinsi. Dari 503 kabupaten/kota di Indonesia, hanya beberapa kota saja yang terlihat gerakannya dalam melakukan desentralisasi kebijakan lansia ini seperti yang dilakukan pemerintah kota Bandung, Balikpapan, Denpasar, Jakarta, Makassar, Depok dan Surabaya.

Program yang telah dicanangkan oleh kota tersebut terkonsep dalam program kota ramah lansia. Yang mana program tersebut memiliki indikator yang terdiri dari 21 indikator yang terbagi dalam 8 dimensi. Salah satu dimensi yakni dimensi Masyarakat dan Pelayanan Kesehatan, yang di dalamnya terdapat 4 indikator yaitu (1) Layanan ke rumah termasuk layanan kesehatan, layanan pribadi dan kerumah tanggaan tersedia bagi lansia; (2) Relawan berbagai usia dianjurkan dan didukung untuk membantu lansia; (3) Perencanaan kondisi darurat memperhitungkan kapasitas/ketidakmampuan dari lansia; dan (4) Pelayanan kesehatan dan dukungan komunitas untuk promosi, pemeliharaan dan pemulihan kesehatan lansia memadai.

Mengingat penanganan lansia sangat kompleks, maka dibutuhkan Pelayanan Kesehatan lansia yang bersifat komprehensif  dengan pendekatan holistik oleh tim terpadu. Pelayanan tersebut diselenggarakan secara berjenjang (Geriatric Health Continuum Care),mulai dari pelayanan kesehatan berbasis masyarakat, pelayanan kesehatan dasar dan rujukan. Untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan lanjut usia di fasilitas kesehatan telah diterbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 79 tahun 2014 tentang Pelayanan Geriatri di Rumah Sakit dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 67 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Kesehatan Lanjut Usia di Pusat Kesehatan Masyarakat.

Kebijakan penyediaan dukungan sumber daya yang memadai untuk operasional Posyandu Lansia serta penguatan struktur dan manajemen pembangunan di tingkat desa agar desa dapat benar-benar menjadi Posyandu Lansia sebagai salah satu ujung tombak pemberdayaan masyarakat. Manfaat dari kebijakan ini adalah Posyandu Lansia dengan salah satu kegiatannya pemberian makanan tambahan dapat berjalan dengan baik. Kelemahan dari kebijakan ini, selama ini belum ada yang secara tegas mengatur dan memberikan dukungan sumber daya posyandu, penyediaan program dan anggaran untuk mendukung operasional posyandu masih belum memadai, dan kurangnya sumber daya manusia yang kompeten dalam berlangsungnya posyandu.

Menjawab masalah ketersediaan SDM kesehatan guna menangani masalah yang timbul pada lansia, salah satu tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi memadai dalam hal perawatan lansia adalah perawat. Jumlah perawat pun tidak bisa dibilang sedikit, berdasarkan data lembaga Pendidikan Perawat di Indonesia tahun 2014, jumlah lulusan mencapai 22.263 orang dan sekitar 45 % perawat tidak terserap dengan baik (BNP2TKI, 2016).

Seseorang yang melakukan perawatan pada lansia haruslah memiliki keahlian memahami bahwa manusia adalah unik terlebih lagi lansia. Merawat lansia bukanlah hal mudah seperti halnya merawat bayi dan anak-anak. Mereka membutuhkan perhatian khusus dan perawatan yang tepat. Mereka juga rentan terhadap kecelakaan seperti jatuh, salah meminum obat dan lain-lain. Beberapa lansia di Indonesia tak jarang luput dari perhatian keluarga di rumah. Sementara di sisi lain beberapa lembaga seperti rumah jompo dan pusat rehabilitasi tak mampu lagi menampung lansia.

Perawat dalam menangani masalah lansia akan berperan sebagai Care Giver/Pemberi Asuhan kepada lansia yaitu tindakan pengkajian, perencanaan tidakan, pelaksanaan, dan evaluasi perawatan individu dan perawatan secara menyeluruh sesuai dengan wewenang keperawatan. Salah satu wewenang perawat dalam memberikan perawatan lansia adalah menyediakan fasilitas Long-Term Care (LTC) yang di mana perawata mampu memberi bantuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari (ADL), misalnya berjalan, bangun dari kursi, mandi, sikat gigi, berpakaian, buang air, makan, dan lain-lain.

Selain itu, dalam LTC perawat juga mampu memberikan dukungan psikologis kepada lansia masalah yang juga sering dialami oleh lansia yaitu kurangnya dukungan psikologis dari lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar. Perawat akan memenuhi kenyamanan lansia, mempertahankan fungsi tubuh, serta membantu lansia menghadapi kematian dengan tenang dan damai melalui ilmu dan teknik keperawatan pada lansia (Maryam, 2008). 

Selain dukungan psikologis, perawat juga mampu memberikan dukungan secara spiritual dengan baik (Atapada, huriah, & pratama, 2016). Semua bentuk pelayanan holistik ini merupakan peran perawat sebagai Care giver. Seorang Care giver harus mampu mengelola kesejahteraan fisik, mental, emosional, spiritual, dan sosial pasien terlebih lagi para lansia. Tugas pokok care giver adalah untuk memastikan bahwa pasien sedang dalam keadaan baik tanpa memandang suku, bangsa, agama, status, ras, dan sejenisnya.

Seorang Care giver juga berperan sebagai pendidik dan motivator. Care giver membantu lansia meningkatkan kesehatan dan motivasi menjalani masa lansia malalui pemberian pengetahuan yang terkait dengan keperawatan dan tindakan medis yang diterima sehingga klien dan keluarga dapat menerima tanggung jawab terhadap hal-hal yang diketahuinya. Sebagai pendidik juga dapat memberikan pendidikan kesehatan kepada kelompok keluarga yang beresiko tinggi, kader kesehatan, dan lain sebagainya. Masalah bahwa lansia mengalami fenomena takut tua bahkan takut mati merupakan salah satu area perawat dalam memberikan motivasi dan pelayanan (Eliopoulus, 2005)

Care giverjuga berperan sebagai sebagai penghubung antar klien dengan tim kesehatan lain dalam upaya pemenuhan kebutuhan dan masalah klien yang bisa dikatakan tidak sedikit dan cukup kompleks, membela kepentingan klien dan membantu klien memahami semua informasi dan upaya kesehatan yang diberikan oleh tim kesehatan dengan pendekatan profesional berbasis komunitas dan budaya (Mauk, 2006).

Kemampuan perawat dalam memberikan intervensi kepada lansia memiliki peranan penting dalam menunjang kesehatan lansia. Beberapa penelitian mengenai intervensi kepada lansia yang dilakukan oleh  Hoogenhout, et al., (2012), yang mengukur fungsi kognitif objektif, psikologi kesejahteraan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa intervensi pendidikan komprehensif yang dilakukan mampu mengurangi reaksi emosional negatif terhadap fungsi kognitif. Hal ini berpotensi memberikan kesejahteraan bagi lanjut usia.

Penelitian lain mengenai intervensi pada lansia dilakukan oleh Mackin, et al., (2013), yang melakukan intervensi dengan dua pendekatan yaitu Problem Solving Therapy(PST) dan Supportive Therapy(ST) mengukur fungsi kognitif sebagai variable outcomenya. Hasil yang diperoleh bahwa terjadi peningkatan dalam fungsi kognitif setelah dilakukan psychotherapy untuk depresi. Namun tidak ada perbedaan hasil peningkatan fungsi kognitif dari kedua jenis intervensi yang dilakukan.

Tai Chi programsebagai program intervensi yang dilakukan dalam penelitian Nguyen, (2013), mengukur variabel out comeyang lebih banyak dibandingkanyang lainnya yaitu dari aspek fisik dan juga psikologis. Intervensi ini menghasilkan kekuatan, kebugaran, fleksibilitas dan keseimbangan dinamik yang mengalami peningkatan pada peserta Tai Chi program.

Penelitian Chippendale dan Boltz, (2015) dengan Program Living Legendsmenggunakan Cognitive screeningsebagai variable outcomenya. Hasil yang diperoleh dari Program Living Legendsadalah meningkatkan rasa peserta dari tujuan dan makna hidup, faktor yang dikenal untuk mencegah hilangnya kognitif dan kecacatan, dibandingkan dengan menulis ulasan kehidupan saja.

Sebagian kecil hasil penelitian tersebut masih belum membuka mata para pemangku kebijakan untuk merumuskan kebijakan berbasis bukti. Kebijakan berbasis bukti diartikan sebagai suatu kebijakan yang mendasarkan pada informasi aktual, hasil riset, dan temuan-temuan lain yang sangat kredibel, terkini, dan jelas manfaatnya sebagai salah satu bagian utama dalam proses pembuatan kebijakan dan menjadi input yang sangat berharga bagi para pembuat kebijakan (Asmara & Handoyo, 2015). Lemahnya perumusan kebijakan berbasis bukti membuat hasil kebijakan tidak efektif menyelesaiakn masalah yang dihadapi.

Tantangan lain yang akan dihadapi apabila pengoptimalan fungsi perawat dilakukan yaitu pelibatan lintas sektor yang masih menjadi PR bersama yang melibatkan 1) sektor public, dalam hal ini Departemen Kesehatan itu sendiri yang berperan dalam pembuat kebijakan, regulasi, serta pemberdayaan SDM. 2) sektor privat dalam hal ini perusahaan maupun UKM sebagai investor, dan 3) sektor ketiga yang meliputi LSM, NGO, dan Organisasi Profesi di mana berperan sebagai pengawas dan perpanjangan tangan pemerintah dalam memonitor kinerja di lapangan. Jika ketiga sektor ini berkolaborasi dan bersinergi dengan baik, maka tidak mustahil visi pemerintah untuk mewujudkan lansia sehat, mandiri, aktif, produktif dan berdayaguna akan segera tercapai.

Rekomendasi:

Penulis memberikan 4 rekomendasi kebijakan yang dapat menjadi pertimbangan pemerintah untuk keberlangsungan program yang saat ini tengah berlangsung.

Pertama, Penguatan SDM perawat pada Sektor formal dan non-formal perorangan, kelompok, lembaga baik pemerintah/ masyarakat. Penguatan SDM perawat akan berdampak bagi kelangsungan pelaksanaan kebijakan mengenai kesejahteraan lansia, yang mana lansia akan mendapatkan pelayanan secara tepat guna dan efektif, Masalah kekurangan SDM akan teratasi dan dampak lainnya berada pada perawat di mana akan meningkatkan daya serap tenaga perawat Indonesia.

Apabila pengoptimalan tenaga perawat dilakukan maka pemerintah harus siap dengan tantangan lain seperti penyerapan anggaran yang lebih banyak dari sebelumnya, mulai dari persiapan meliputi penyusunan regulasi, perekrutan, dan orientasi; hingga pelaksanaan yang meliputi system penggajian serta monitoring evaluasi.

Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan adalah:

  • Melakukan perekrutan SDM perawat baru pada sektor pemerintah.
  • Melakukan pengembangan dengan melakukan sertifikasi khusus perawatan lansia.
  • Mengembangkan sikap, kemampuan dan motivasi petugas Puskesmas dalam mengembangkan potensi swadaya masyarakat di bidang kesehatan lansia.
  • Memampukan dan motivasi terhadap kelompok masyarakat termasuk swasta yang melaksanakan pengembangan potensi swadaya masyarakat di bidang kesehatan lansia secara sistematis dan berkesinambungan.
  • Mengambangkan, memproduksi dan menyebarluaskan pedoman penyuluhan kesehatan lansia untuk para penyelenggaraan penyuluhan, baik pemerintah maupun swasta.

Program kedua yang menjadi rekomendasi penulis adalah penguatan sosialisasi dengan para pemangku kepentingan, kelompok masyarakat dan masyarakat secara umum untuk penyebarluasan informasi kesehatan Lansia. Rekomendasi ini sejalan dengan program yang telah dilakukan oleh pemerintah yang teah saya paparkan di atas sebelumnya yakni mengenai posyandu lansia yang hingga saat ini masih belum optimal pelaksanaannya.

Saat rekomendasi ini dilakukan maka program posyandu lansia akan lebih efektif fungsinya dan efisien dalam pelaksanaannya yang mana dalam rekomendasi ini ada beberapa kegiatan yang dapat dilakukan diantaranya adalah:

  • Mengembangkan, memproduksi dan menyebarluaskan bahan-bahan penyuluhan kesehatan masyarakat usia lanjut.
  • Meningkatkan sikap, kemampuan dan motivasi petugas puskesmas dan rujukan serta masyarakat di bidang kesehatan masyarakat usia lanjut.
  • Melengkapi puskesmas den rujukannya dengan sarana den bahan penyuluhan.
  • Meningkatkan kerjasama dengan berbagai pihak termasuk media masa agar pesan kesehatan masyarakat usia lanjut menjadi bagian integral.
  • Meningkatkan penyuluhan kepada masyarakat umum den kelompok khusus seperti daerah terpencil, transmigrasi dan lain-lain.
  • Melaksanakan pengkajian den pengembangan serta pelaksanaan tekhnologi tepat guna dibidang penyebarluasan informasi.
  • Melaksanakan evaluasi secara berkala untuk mengukur dampak serta meningkatkan daya guna dan hasil guna penyuluhan.
  • Menyebarluaskan informasi secara khusus dalam keadaan darurat seperti wabah, bencana alam, kecelakaan.

Rekomendasi ketiga yakni Pengembangan sistematis lembaga perawatan penyakit kronis/terminal lanjut usia. Hal ini mengingat bahwa perawatan lansia sangatlah kompleks yang mana lansia mambutuhkan perawatan mulai dari biologis, psikologis, sosial, kultural, dan spiritual hingga menjelang masa akhir hidupnya.

Untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan beberapa kegiatan yaitu:

  • Memperluas upaya perawatan berbasis Homecarelansia dengan target tiap RT terdapat satu perawatan Home care lansia.
  • Mempermudah akses pengurusan izin praktek perawat berbasis online yang terintegrasi.

Terlaksananya perawatan berbasis homecare akan menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk terus menjaga dan mengontrol kualitas pelayanan yang diberikan oleh perawat. Tantangan tersebut akan terjawab dengan kemudahan akses perawat berbasis online yang terintegrasi dimana perawat akan mendapat penilaian langsung dari keluarga lansia mengenai pelayanan yang diberikan. Namun, hal ini akan sulit terlaksana mengingat sarana dan prasarana yang dimiliki pemerintah masih sangat terbatas pada teknologi informasi jaringan yang menjangkau seluruh pelosok negeri.

Rekomendasi terakhir yang dapat menjadi pertimbangan pemerintah adalah Penguatan pencitraan kepada lanjut usia sebagai individu yang aktif, berdaya guna dan dapat berkarya dengan melibatkan media massa dan media eletronik. Minimnya upaya pemerintah saat ini dalam mempromosikan citra lansia di masyarakat yang masih menganggap lansia sebagai beban dalam keluarga dan masyarakat. Meskipun sulit dan membutuhkan biaya yang cukup besar, namun rekomendasi ini dapat menjadi pertimbangan oleh pemerintah pusat dan daerah.

Kegiatan yang dapat dilakukan untuk mensukseskan rekomendasi ini adalah dengan memasifkan informasi dan tayangan khusus lansia secara regular di media cetak dan elektronik.

Rekomendasi-rekomendasi yang diberikan bertujuan agar pemerintah mengkaji ulang dan atau menjalankan beberapa alternatif kebijakan terkait dengan pembangunan kesehatan lansia dengan memperhatikan potensi tenaga perawat dalam mengatasi permasalahan lansia sehingga terwujud  lansia yang sejahtera dan tidak justru menjadi beban dalam pembangunan bangsa.

Referensi:

Asmara, A. Y., & Handoyo, S. (2015). Pembuatan kebijakan berbasis bukti: studi pada proses pembuatan kebijakan standardisasi alat dan mesin pertanian di Indonesia. ISSN: 1907-9753. Warta KIML Vol. 13. LIPI

Atapada, A.Y., Huriah, T., & Pratama, A.B. (2016). Peran perawat dalam memberikan dukungan spiritual pada lanjut usia di panti sosial tresna werdha yogyakarta unit abiyoso. Universitas Muhammadiyah Yogyakara.

BAPPENAS. (2015). Perlindungan sosial lanjut usia. Maret 6, 2017. Http://www.bappenas.go.id/

BNP2TKI. (2016). Nusron Wahid Sayangkan Indonesia Belum Bisa Memenuhi Permintaan Tenaga Perawat. Maret 7, 2017. http://www.bnp2tki.go.id

Chippendale & Boltz. (2015). Living Legends: Effectiveness of a Program to Enhance Sense of Purpose and Meaning in Life Among Community-Dwelling Older Adults. The American Journal of Occupational Therapy.(Jul/Aug 2015): 1-11. DOI: 10.5014/ajot.2015.014894

Direktorat Bina Upaya Kesehatan Kemenkes RI. (2012)

Elliopoulus, C. (2005). Gerontological nursing. 6th Ed. Philadelpia: Lippincott Williams & Wilkins.

Hoogenhout, E.M., deGroot, M.H.M., Elst, W., & Jolles, J. (2012). Effects of a comprehensive educational group intervention in older women with cognitive complaints: A Randomized Controlled Trial. Aging & Mental Health. DOI: 10.1080/13607 863.2011.598846

KEMENKES. (2016, Mei 26). Peraturan menteri kesehatan republik Indonesia Nomor 25 tahun 2016 Tentang Rencana aksi nasional kesehatan lanjut usia tahun 2016-2019. Maret 6, 2017. http://www.depkes.go.id

Mackin, R.S., et al.(2013). Cognitive outcomes after psychotherapeutic interventions for major depression in older adults with executive dysfunction.Am J Geriatr Psychiatry.DOI: 10.1016/j.jagp.2013.11.002

Maryam, R., Siti, dkk. (2008). Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba Medika.

Mauk, K.L. (2006). Gerontological nursing: Competencies For Care. USA: Jones Bartlett Publisher.

Nguyen, M.H. (2013). Evaluating the effects of Tai Chi on physical fitness and mental health of the elderly. Retrived from http://archiv.ub.uni-heidelberg.de/volltextserver/15016/

Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2004 Tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan Kesejahteraan Lanjut Usia.

SurveyMETER. (2016). Perlu Langkah Bersama Menuju Komunitas Ramah Lansia. April 7, 2017. http://surveymeter.org/read/373/perlu-langkah-bersama-menuju-komunitas-ramah-lansia

Undang-Undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun