Selalu ada yang tersisa setelah hujan reda. Seperti hujan yang turun di pagi hari ini. Hujan yang turun cuma sebentar, tetapi meninggalkan jejak kesedihan yang tidak dapat aku pahami: kenapa ada seorang ibu yang tega membunuh anak kandungnya?
Dari balik kaca jendela, aku berdiri diam seraya menatap ke arah jalanan. Jalan aspal di depan rumahku yang semula kering, kini tak lagi berdebu. Tanah berubah lembap. Air hujan menggenang di pinggir jalan. Daun-daun dan ranting tanaman di pekarangan jadi basah seperti berembun. Pagar besi di depan rumah yang bercat coklat serasa membeku. Bahkan sisa hujan masih menempel di kaca jendela dan tanpa aku sadari, aku tiba-tiba menitikkan air mata. Apa setiap kesedihan yang menggumpal di hati seorang ibu dapat dijadikan alasan kuat untuk mengakhiri hidup anaknya?
Hatiku seperti disayat sembilu saat aku mendengar kabar memilukan itu. Cerita yang aku dengar dari seorang penjual sayur yang melintasi di depan rumahku itu, hingga kini masih menggantung di sudut otakku. Tepat satu jam yang lalu, pedagang sayur yang berjualan keliling dengan gerobak itu datang tertatih-tatih bersama gerobak tua yang penuh sayuran dan segala kebutuhan dapur. Seorang ibu bertanya kepadanya, mengapa ia datang terlambat.
Aku yang sedang libur bekerja dan asik membaca Koran, tiba-tiba terperenjat ketika mendengar tukang sayur itu berkata bahwa ditempatnya ia tinggal ada seorang ibu yang tega membunuh anaknya yang masih kecil. Dan pagi itu ada beberapa polisi yang datang untuk menangkap wanita tersebut. “Ibu muda itu membunuh anak kandungnya dengan cara mencekik lehernya.” Pedagang sayur itu berkata.
“Apa? Ada seorang ibu yang tega membunuh anaknya sendiri?” tanya salah seorang ibu keheranan, seraya terperanjat kaget.
“Yang bener saja, pak, ada ibu yang membunuh anaknya?” tanya ibu yang lain.
Aku pun membatin apa benar ibu tersebut seorang manusia. Seorang ibu bukannya mewarat anak yang dilahirkan, malah mencekiknya dengan kejam.
“Di zaman sekarang ini, banyak orang sudah gila. Bahkan seorang ibu sudah tidak mencintai anaknya.” Salah seorang ibu berkata, yang sepertinya itu adalah suara ibuku.
Tidak lama kemudian, ibu membayar belanjaan, lalu membuka pagar depan rumah. Aku melihat, wajah ibu diliputi duka. “Ada-ada saja orang zaman sekarang ini. Kamu sudah dengar sendiri kan, ada seorang ibu yang tega membunuh anaknya.”
“Mengapa dia tega membunuh anaknya?” tanyaku seraya mengikuti langkah ibu yang berjalan ke dapur.
“Tidak tahu, tetapi menurut ibu, walau bagaimana pun susahnya seorang ibu, dia tak akan membunuh anaknya sendiri. Sebab, anak yang dilahirkan itu lebih berharga dari jiwanya sendiri. Bagaimana mungkin seorang ibu tega membunuh anaknya.”