Mohon tunggu...
MEIRISMAN HALAWA
MEIRISMAN HALAWA Mohon Tunggu... Guru - H sofona osara

Lahir di Gunungsitoli, 18 Mei 1979

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tujuh Bagian

11 November 2024   12:00 Diperbarui: 11 November 2024   12:03 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

TUJUH BAGIAN 

(cerpen Meirisman Halawa)

 

 

Satu

Ini kali kesekian, aku letakkan pena dan menyandarkan punggung ke kursi dengan lemas. Novel yang hampir rampung, telah kususun lebih sebulan kembali mentok. Kali ini masalahnya pada ending. Aku mengalami kesulitan menentukan bagaimana akhir dari cerita ini. Belum ada gambaran, bagaimana nasib para tokohnya. Aku harap novel ini dapat rampung malam ini juga.

Baca juga: Laowomaru

Ceritanya tentang Awura - tokoh utama dalam novel - yang menderita gangguan kejiwaan berat. la diganggu halusinasi suara-suara asing. Suara itu kadang berupa tawa terbahak, kadang rintihan sunyi Ana'a - perempuan yang ia sukai- atau cuma suara laki-laki tua yang amat ia kenal. Mereka sepertinya hidup. Dan aku belum tahu harus  menjadikan apa mereka diakhir cerita. Yang ada di kepalaku, aku ingin menyingkirkan orang-orang yang tidak aku sukai.

Dua

Udara kuhirup dalam-dalam, kemudian kukeluarkan perlahan. Langit malam di atas Gunungsitoli amat cerah. Suara angin amat tenang, tetapi longlongan Asu Mbanua 1 terdengar mengerikan dari jauh. Ini pertama kali aku keluar dari kamarku, setelah lebih sebulan mengurung diri. Kebuntuan tentang akhir cerita dari novel yang kususun memaksaku keluar dan berharap menemukan ide yang cemerlang.

Baca juga: Doa Makan

Nampaknya tidak sia-sia.

Aku dikejutkan oleh suatu pemandangan yang luar biasa. Sebuah fenomena berupa cahaya dari langit meluncur deras ke arahku. Mataku menajam, antara rasa ingin tahu dan lebih besar rasa takut. Cahaya itu memperlambat lajunya di atas halaman rumah, kemudian menurun, berputar tidak teratur dan menghamburkan   berkas-berkas cahaya.  Berkas-berkas   itu   kemudian membentuk sosok tubuh samar, namun perlahan memperlihatkan bentuk yang gagah.

Aku mungkin terlihat bloon dengan wajah pucat dan ternganga. Rasanya aliran darahku telah berhenti dan semua syaraf tidak bekerja. Sosok tubuh di depanku terasa akrab dipirkiranku. Aku rasa ia bukan seorang asing. Raut mukanya, kilatan mata,   segala yang ia miliki dan ia lakukan telah tergambar dalam sosok tokoh novelku, Awura, tokoh rekaan, dan ia kini ada di depanku. Laki-laki itu menyeringai. Di tangannya tergenggam pisau panjang........

Tiga

Aku menemukan diriku terbaring dalam suatu ruang yang amat gelap. Tidak ada satu titik cahayapun. Tak ada benda yang mampu tertangkap oleh mataku. Bahkan ujung jari-jaripun tidak. Ada suara -entah dari mana- seperti sedang meyalakan tungku api. Aku ingat Ina2 yang sedang memasak. Serta merta bayangan rumah hadir di kepalaku. Berarti aku ada dirumah. Terbaring di atas ranjang dan barusan bangun dari mimpi buruk. Mimpi yang amat buruk..!

Sisa-sisa mimpi yang mengerikan telah membutakan sebagian ingatanku. Mimpi yang menakutkan. Aku melihat diriku di bawah bulan penuh yang memerah,  tersembunyi sebagian di balik ranting-ranting tua, di pinggir hutan di luar kota. Kawanan kelelawar menjerit amat dekat di telinga, dan dahan-dahan di goncang angin. Pohon-pohon menggumbar cacian,  juga tanah dan semuanya. Mereka terpaksa jadi saksi. Tidak harus membenarkan atau menyalahkan. Tidak ada debat tentang nilai kebenaran. Mereka cuma saksi.

Tanganku masih gemetar. Darah yang belum kering menetes dengan suara menggidik. Pisau panjang yang kugenggam tampak terbahak. Ini dendam yang terlunasi.

Di hadapanku, di atas tanah penuh lumpur,  Ama3 dan Ina bersimbah darah................................................................................................................................

Empat

(Angin usil. la menerbangkan kertas-kertas berisi novel di atas meja dan menghamburkannya.  Personifikasi, angin membacanya :)

Awura menatap bulan dari kisi-kisi jendela kamar tidurnya. Bulan hampir penuh dan semburatnya menyentuh ujung ranjangnya. Mata sunyi Awura mengerjab, ia ingin menyentuh bulan, menggesernya lebih ke kiri sehingga cahayanya membelai mata. Ia amat lelah, dan berharap cahaya emas bulan penuh itu mengisi rongga-rongga matanya sehingga ingatannya pada Ana'a tetap terjaga.

Yang ingin ia lakukan saban hari adalah mengingat Ana'a. Perempuan yang menjadi alasan ia dan Ama berseteru. Perempuan itu, tinggal bersama ibunya, janda tua yang sakit-sakitan tidak jauh dari rumahnya. Awura selalu memperhatikanya. Dari jendela kamarnya, dekat kamar Ama dan Ina, ia bisa melihat Ana'a mandi telanjang di sumur belakang rumah mereka. Awura merasa bahwa perempuan itu  -kadang-  seperti sadar di amati: selalu, di mata Awura, perempuan itu membuat aksi-aksi menggoda. Sengaja. Sehingga tak jarang Awura membayangkan dirinya ada di sana dan memeluk perempuan itu. Tapi Awura juga sadar, di sebelah kamarnya itu terdapat kamar Ama. Sehingga kadang Awura berpikir, mungkinkah Ama juga melihatnya....

Betapa indah perempuan telanjang. Nafsu adalah awalnya. la menjadi dasar dari semua kekuatan-kekuatan besar di dunia, cinta, dendam dan segalanya. Mungkin awalnya adalah nafsu yang normal dimiliki semua manusia, tetapi Awura langsung jatuh hati dan ingin menikahinya.

"Tidak!" seru Ama keras. Matanya berkilat dan dagunya mengeras saat Awura mengemukakan keinginannya. "Kamu tidak boleh menikahinya..!"

Awura heran. Penolakan Ama terasa berlebihan. Tidak ada alasan Ama melarangnya. "Aku menyukainya Ama, Aku ingin menikahinya, dan aku akan melakukannya."

"Ini akan merendahkan kedudukanku sebagai Tuhenori4 di sini. Kamu seharusnya tidak menikahi anak seorang janda, yang ayahnya entah dimana. Kamu tidak boleh melakukannya, apapun alasannya. Bahkan tidak oleh cinta...!"

Lododo, ayahnya, merendahkan keinginan anaknya. Baginya, Awura tidak lebih seorang anak-anak yang tidak mampu berpikir sendiri. Awura bersikeras. Ini menjadikan rumah menjadi tempat yang tak nyaman. Mereka melewatkan hari dengan deba-debat dan amarah. Sementara Awura sendiripun heran mengapa ia terus bertahan dengan keinginannya. Padahal ia bahkan  tidak tahu apakah Ana'a mencintainya atau tidak. Ini berlangsung cukup lama. Sampai suatu saat tersiar berita menggemparkan.

Tiba-tiba desa dikejutkan oleh berita yang menghebohkan. Ana'a hamil. Perutnya tiba-tiba membesar dan ia terus mengurung diri di rumah. Tidak ada yang tahu, siapa yang mula-mula mengetahuinya. Jelasnya semua telah mendengamya. Semua warga menggunjing, Bahkan cerita tentang tingkah laku ayahnya yang meninggalkan mereka kembali diungkit. Ada yang bilang ibunya dulu selingkuh sehingga ayahnya memilih pergi. Ada pula yang mengatakan, ayahnya memelihara simpanan di kota dan membiarkan keluarganya tidak terurus. Sepertinya semua yang buruk tentang keluarga itu, wajib dibeberkan.

"Aib.....!" seru penduduk marah. Pertemuan diadakan dipimpin Lododo, Sang Tuhenori dengan semua pimpinan adat. "Laknat akan menjatuhkan kutuk. Ia harus dibuang jauh-jauh.." Dan orang-orang bersorak membenarkan. Awura heran dengan sikap penduduk. Sepertinya, membeberkan aib orang lain adalah hal biasa bagi mereka. Padahal seharusnya semua sadar, semua punya aib sendiri. Punya kesalahan-kesalahan sendiri.

Pertemuan singkat itu selesai tanpa dialog. Mereka memutuskan membuang Ana'a ke tengah hutan. Memasungnya dan membiarkan roh-roh hutan mengambil nyawanya. Perempuan muda itu seperti kayu mengering, bersandar di folufu5 rumahnya, saat penduduk yang hendak menyeretnya menanyakan siapa laki-laki yang bertanggung jawab. Lododo berdiri bertolak pinggang, sementara ibu Ana'a menangis dengan jerit memilukan di kaki pemimpin agung itu meminta ampun. Dengan susah payah perempuan tua itu menyeret tubuhnya yang ringkih, merangkak mendekati tubuh Sang Tuhonori. Ia mencium kaki Lododo. Memohon ampun.

Tapi itu sia-sia. Semua telah diputuskan.

Saat itu Awura muncul. Tak ada yang menduganya, juga Lododo, ayahnya. "Aku laki-laki itu. Sekarang aku akan mempertanggungjawabkannya. Aku akan menikahinya, menelan aib dan kutuk yang bakal datang, sekalipun aku harus meninggalkan negeri ini."

Semua tiba-tiba terdiam. Wajah sangar penduduk berubah menjadi bingung dan takut. Kepala Ana'a terangkat. Mata sembabnya menatap Awura tajam. Ada binar yang meredup di sana. Ini kali pertama, Awura melihat mata penuh arti milik Ana'a. Di bening itu, ada ucapan yang tidak bisa ditebak. Semua terpana. Rasa takut bahwa itu akan membuat Lododo, pemimpin besar marah membuat mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan. "Dia tidak bersalah, Ama," ujar Awura lagi," Mengapa semua ditimpakan padanya?"

Wajah tua Lododo mengeras dan memerah. Dari matanya, semua tahu bahwa saat ini dalam amarahnya, ia bisa menelan siapapun. Tangannya bergerak-gerak tanpa semua menyadari. Juga Awura. Tangan kokoh yang waktu masih muda penuh darah melayang menampar anaknya. Tidak itu saja, ia menyeret Awura keluar sambil berteriak, "Dia bohong......Dia bohong....!"

Semua warga mula-mula bingung bertindak apa. Tetapi entah siapa yang memulai, semua marah, kesal atas rasa takut yang mereka miliki. Itu  ditimpakan pada Ana'a. Perempuan malang. Kembali perempuan itu dicerca dan diseret. Jerit ibunya yang memilukan tidak diperdulikan. Ana'a,  perempuan itu akhirnya dipasung dalam hutan di luar desa, di atas sebuah balai beratap ijuk yang dibuat seadanya. Kepalanya digunduli dan seluruh tubuhnya dilempar kotoran binatang. "Kutuk, kutuk pergilah dan janganlah mengetuk pintu rumah kami!" seru penduduk sebelum meninggalkannya dalam sunyi dan takut.

Itu berlangsung beberapa waktu yang lalu. Tetapi sepertinya desa ini tidak pernah kehilangan berita mengejutkan. Belum selesai, penduduk membicarakan Ana'a dan kehamilannya, atau sikap Awura yang keras, atau Ibu Ana'a yang ditemukan  mati di rumahnva dalam keadaan yang menyedihkan   Rasa pilu seorang ibu tua membuatnya mati kesepian. Tiba - tiba ada berita baru. Dikabarkan Ana'a kabur dari tempat pasungannya dan menyembunyikan diri di dalam hutan yang lebat. Pencaharian satu hari satu malam akhimya berhasil menemukan Ana'a. Tubuhnya, dengan perut yang membesar, tergantung di atas pohon dengan tali di leher. Pohon itu cukup tinggi, tak ada yang dapat memastikan bagaimana perempuan dengan perut besar itu mengikatkan tali di dahan pohon. Ana'a bunuh diri, demikian orang-orang menyimpulkannya.

Lima

Ama dan Ina tidak menghiraukan kehadiranku saat keluar dari kamar. Suasana yang terang kontras dengan kamarku yang gelap. Itu cuma mimpi tanpa arti, pikirku saat melihat Ama dan Ina duduk di ruang tamu dengan kesibukan masing-masing.

Aku mempertajam telinga, saat dari jauh terdengar teriakan yang makin mendekat. Mula-mula tidak jelas, tapi kemudian tersusun dengan rapi. "Ana'a bunuh diri," teriak laki-laki itu. Dari balik jendela, aku lihat seorang tetangga berlari diikuti sejumlah anak-anak. "la menggantung diri di atas pohon dalam hutan." Teriak yang lainnya.

Aku mengumpulkan ingatan dengan susah payah. Sebagian terkumpul dan berlahan tersusun, walau tidak teratur. Agaknya bisa membantu.

Sepertinya....., ya,  Aku kenal Ana'a.

"Jangan keluar, Awura!" seru Ina sambil menurunkan kain di tangannya" Tidak ada yang perlu kamu ketahui lagi." Aku berbalik memandang Ina sesaat, juga Ama. Sepertinya ada yang aneh. Tidak pada kalimat mereka, sebab sudah lama aku tidak peduli kata-kata mereka. Tetapi pada........, Ah,aku tidak tahu.

Segera aku keluar rumah. Ina terdengar masih teriak melarang, Ama tidak peduli, dan aku tidak menanggapinya. "Ada apa itu?" teriakku menahan orang-orang yang berlari. Suaraku kurasa cukup nyaring. Bahkan kedengaran bergema. Aneh, sepertinya tidak ada yang mendengar. Beberapa orang menatap ke arah rumah dengan rasa takut tetapi tidak memperdulikan aku yang berteriak dekat mereka.

Aku ulangi bertanya, dan seperti tadi tak ada yang menanggapi. Ini aneh. Tapi lebih banyak rasa gusar. Kesal, aku tarik tangan seorang anak untuk menghentikan lajunya. Tapi...., Tuhan, ada apa; Tanganku seperti menembus pergelangan tangan anak itu. Anak itu terus melangkah tanpa menyadari kehadiranku. Saya tak merasa apa-apa saat menyentuh tangannya. Seperti memegang angin belaka. Penasaran, kembali aku mengejar anak itu berusaha menyentuh pundaknya. Hasilnya sama saja, aku tidak merasakan apa-apa Untuk memuaskan rasa heran dan penasaranku,  sengaja aku berdiri di tengah jalan saat seorang ibu tua setengah berlari ke arahku. Aku menutup mata saat tubuhnya hendak menabrakku. Aku berharap dengan cemas. Aku ingin ia menabrakku dan membangunkan aku dari mimpi buruk ini. Tetapi tidak. Tidak  terjadi apa-apa. Tubuhnya terus berlari tanpa tertahan di tubuhku. Bahkan matanya ke depan tanpa merasa ada aku di hadapannya. Ini menakutkan.

Semuanya tiba-tiba terasa berat. Seluruh tubuhku gemetar oleh perasaan yang aku miliki. Ingatanku kembali pulih. Setiap adegan yang pernah kujalani tiba-tiba melintas di kepalaku. Tiba-tiba aku sadar siapa aku. Tiba-tiba aku sadar mengapa tubuh Ama dan Ina tidak lebih dari sebuah bayang gelap. Aku ingat semuanya dan aku tahu siapa aku.

Enam

(Aku terduduk lemas ditengah jalan. Tiba-tiba aku ingin menangis. Menyumpahi Tuhan. Mengutuk Ama dan Ina. Memaki diri sendiri yang tidak bisa menerimanya....)

Tujuh

Tanganku gemetar. Darah belum kering, menetes dengan suara mengidik. Pisau panjang yang kugenggam tampak terbahak. Ini dendam yang terlunasi.

Di hadapanku, di atas tanah penuh lumpur, Ama dan Ina bersimbah darah. Darah mereka memercik di seluruh pakaianku. Laknat tua ini pantas mampus. Aku tahu semuanya. Aku tahu, saat Ama mendekap Ana'a dengan paksa di belakang rumah. Menodai perempuan yang ia larang aku nikahi. Aku juga tahu, saat Ana'a dikabarkan hamil, Ama seperti kebakaran jenggot. Akhirnya ia memutuskan membuang Ana'a di dalam hutan. Aku juga tahu, beberapa saat yang lalu, Ama membuka pasung Ana'a, menyeretnya ke dalam hutan bersama beberapa suruhannya, lalu menggantung perempuan itu di atas pohon.

Dari jauh, obor-obor penduduk dan suara teriak mereka makin mendekat. Aku menengadah. Menjilat darah di ujung pisau, sebelum menghujamkan di perutku sendiri.

Aku tahu, aku mengakhirinya dengan sempurna.            

 

 

PROFIL PENULIS

Nama: M. Risman Halawa

Menyelesaikan pendidikan SI di IKIP Gunungsitoli dan S2 di UPI Bandung.

Menulis belasan cerpen dan esay yang diterbitkan dalam kumpulan cerpen oleh Departemen Pendidikan Nasional, diantaranya: Tujuh Bagian (2003), Aku,  Bapak dan Setan(2004), Jalan-jalan Sepi Nalua (2005) dan Kisah yang Lain (2007).  Beberapa kali memenangkan lomba membuat cerpen tingkat nasional, diantaranya juara 4 tahun. 2002, finalis tk. Nasional tahun 2003 dan 2004 dan juara 1 tk. Nasional tahun 2006.

Sebagian cerpen terbit di media cetak dan online diantaranya Kompas

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun