OECD (2023) mendefinisikan CFC sebagai perusahaan asing yang secara langsung maupun tidak langsung dikendalikan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri. Definisi lain menyebutkan bahwa CFC adalah sebuah entitas bisnis yang terdaftar dan menjalankan kegiatan operasi di jurisdiksi yang berbeda dari entitas yang mengontrolnya (Chen, 2022). Otoritas perpajakan mungkin menerapkan kriteria yang berbeda – beda untuk menentukan sifat dari pengendalian. Namun, OECD (2023) sendiri menyatakan bahwa CFC rules merupakan turunan dari BEPS action 3 report tentang Controlled Foreign Company.
Di Indonesia, pengaturan mengenai CFC diatur secara jelas dalam Undang – undang Pajak Penghasilan dan aturan turunannya. Pasal 18 ayat (2) Undang – undang PPh antara lain mengatur bahwa:
Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut:
- besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau
- secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor.
Dalam penjelasannya disebutkan bahwa pengaturan ini diperlukan untuk menghindari adanya penghindaran pajak dari wajib pajak dalam negeri yang menanamkan sahamnya di luar negeri. Oleh karena itu, diperlukan suatu pengaturan mengenai kapan terhutangnya suatu dividen.
Sebagai contoh, PT ABC dan PT DEF secara bersama – sama menanamkan sahamnya masing – masing sebesar 30% di XYZ Ltd. Saham XYZ Ltd tidak diperjual belikan di bursa saham dan pada tahun 2018 XYZ Ltd memperoleh laba sebesar 10 miliar rupiah. Atas kondisi ini, pemerintah dapat menentukan kapan diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya.
Ketentuan mengenai CFC rules ini selanjutnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.03/2008 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Deviden Oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha Yang Menjual Sahamnya Di Bursa Efek sebagaimana diubah terakhir dengan PMK 107/PMK.03/2017 dan 93/PMK.03/2019.
Melalui peraturan tersebut, pemerintah mengatur bahwa Wajib Pajak dalam negeri dianggap memiliki pengendalian langsung (direct control) terhadap Badan Usaha Luar Negeri (BULN) apabila memenuhi dua kiteria:
Pertama, memiliki penyertaan modal langsung paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor pada BULN nonbursa; atau
kedua, secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal langsung paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor pada BULN Nonbursa. Dimana besarnya prosentase tersebut ditentukan pada akhir tahun pajak wajib pajak dalam negeri.
Terhadap Wajib Pajak yang ditetapkan memiliki pengendalian langsung tersebut di atas, dianggap memperoleh deemed dividend atas penyertaan modal pada BULN non bursa. Deemed dividend adalah dividend yang ditetapkan diperoleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada BULN nonbursa terkendali langsung.
Terdapat lima jenis deemed dividend yang diatur dalam PMK 93 tahun 2019, diantaranya adalah penghasilan tertentu yang diterima BULN non bursa pengendali atas:
- Dividen, kecuali dividen yang diterima dan/atau diperoleh dari BULN Nonbursa terkendali;
Dividen adalah pembagian keuntungan kepada pemegang saham yang dihasilkan dari operasi bisnis atau investasi perusahaan. Praktik penghindaran pajak dengan skema CFC, Perusahaan multinasional menunda pengenaan pajak atas dividen dengan menyimpan keuntungan perusahaan yang berlokasi di yurisdiksi dengan pajak rendah.
- Bunga, kecuali bunga yang diterima dan/atau diperoleh BULN Nonbursa terkendali yang dimiliki oleh Wajib Pajak dalam negen yang mempunyai izin usaha bank;
Penghasilan bunga adalah pendapatan yang diperoleh dari pemberian pinjaman uang atau instrumen keuangan lain yang memberikan hak atas pembayaran bunga.
- Sewa berupa: (1) sewa yang diterima dan/atau diperoleh BULN Nonbursa terkendali sehubungan dengan penggunaan tanah dan/atau bangunan; dan (2) sewa selain sewa sebagaimana dimaksud pada angka 1) yang diterima dan/atau diperoleh BULN Nonbursa terkendali yang berasal dari transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan BULN Nonbursa terkendali tersebut;
- Royalti; dan
Royalti adalah pendapatan yang diperoleh dari pemberian hak untuk menggunakan aset tak berwujud, seperti paten, merek dagang, hak cipta, desain industri, dan teknologi. Penghasilan royalti dari CFC sering menjadi target dalam strategi penghindaran pajak, di mana perusahaan multinasional mungkin mencoba mengalihkan pendapatan dari negara dengan pajak tinggi ke yurisdiksi dengan pajak rendah melalui struktur perjanjian royalti yang kompleks.
- Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta.
Penghasilan ini timbul dari penjualan atau pengalihan aset. Aset tersebut bisa berupa properti berwujud (seperti tanah, bangunan, mesin) atau aset tidak berwujud (seperti paten, merek dagang, dan hak cipta). Perusahaan multinasional memanfaatkan perbedaan dalam sistem pajak internasional untuk mengurangi pajak yang harus dibayar atas keuntungan dari penjualan atau pengalihan harta. Ini dapat dilakukan melalui penggunaan struktur perusahaan yang kompleks dan lokasi CFC di yurisdiksi dengan pajak rendah.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa apabila entitas anak di luar negeri dalam hal ini adalah BULN non bursa dengan pengendalian langsung maupun tidak langsung, memperoleh penghasilan atas royalty atau keuntungan karena penjualan atas pengalihan harta, maka atas penghasilan tersebut dianggap sebagai deemed dividend kepada entitas induk yang merupakan wajib pajak dalam negeri meskipun entitas anak di luar negeri secara eksplisit tidak menyatakan bahwa penghasilan tersebut adalah dividend.
PMK 107 tahun 2017 jo PMK 93 tahun 2019 mengatur bahwa deemed dividend dianggap diperoleh pada akhir bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Tahunan bagi BULN nonbursa terkendali langsung. Sehingga, apabila di negara X BULN terkendali langsung mempunyai kewajiban penyampaian SPT Tahunan selambatnya pada akhir April, maka deemed dividend dianggap diperoleh pada akhir bulan September atau akhir bulan keempat setelah bulan April.
Namun demikian, PMK 107 tahun 2017 jo PMK 93 tahun 2019 juga mengatur bahwa dalam hal BULN terkendali langsung tidak mempunyai kewajiban menyampaikan SPT Tahunan di negara asalnya, maka deemed dividen dianggap diperoleh pada bulan ketujuh setelah berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.
Cara Penghitungan
Deemed Dividend=(%Penyertaan Modal)×(Laba Neto Setelah Pajak dari BULN)
Deemed dividend dihitung dengan cara mengalikan prosentase kepemilikan Wajib Pajak Dalam Negeri pada BULN non bursa yang mempunyai pengendalian langsung dengan dasar pengenaan dividen berupa jumlah neto atas penghasilan tertentu dari BULN tersebut.
Dalam hal wajib pajak mempunyai pengendalian langsung dan tidak langsung terhadap BULN Non bursa, maka berlaku dua ketentuan: pertama, terhadap BULN non bursa dengan pengendalian langsung, dasar pengenaan pajak atas deemed dividend adalah sebesar jumlah neto setelah pajak atas penghasilan tertentu BULN. Kedua, terhadap BULN dengan pengendalian tidak langsung, dasar pengenaan pajak dihitung dengan cara mengalikan prosentase penyertaan BULN pengendalian langsung terhadap BULN tidak langsung dengan jumlah neto setelah pajak atas penghasilan tertentu BULN.
Untuk diketahui bahwa BULN non bursa terkendali tidak langsung adalah adalah BULN non bursa yang dikendalikan oleh wajib pajak dalam negeri melalui BULN nonbursa terkendali langsung dengan penyertaan modal sebesar 50% atau lebih.
Komentar berdasarkan soal Sub-CPMK 12 sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor No. 93/PMK.03/2019 :
1. PT Petruk (Dividen)
- Berdasarkan soal tersebut dividen dihitung menggunakan persamaan logaritmik hingga menghasilkan x=1,1487
- Dividen x=1,1487 akan dikategorikan sebagai penghasilan kena pajak jika PT Petruk adalah CFC yang dikendalikan oleh pemegang saham dalam negeri.
- Jika PT Petruk memiliki saham di perusahaan luar negeri, dan perusahaan tersebut tidak membagikan dividen untuk menghindari pajak, maka mekanisme CFC dalam PMK No. 93/PMK.03/2019 berlaku.
- Dalam kasus ini, laba bersih perusahaan luar negeri akan dianggap sebagai deemed dividend, sehingga PT Petruk tetap harus membayar pajak meskipun dividen tidak diterima secara nyata.
- Berdasarkan PMK 93/2019 Penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dari CFC dianggap sebagai penghasilan terutang, meskipun belum diterima secara langsung. Dalam hal ini, angka dividen yang dihitung perlu diperlakukan sebagai penghasilan CFC dan dilaporkan sebagai bagian dari Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT).
2. PT Bagong (Dividen)
- Dividen dihitung dari persamaan linear , menghasilkan x=9x
- Jika PT Bagong adalah entitas asing yang dikendalikan (CFC), dividen x=9 dihitung sebagai penghasilan meskipun belum diterima oleh Wajib Pajak dalam negeri.
- Berdasarkan PMK 93/2019 menyebutkan bahwa laba bersih setelah pajak pada CFC yang tidak dibagikan dalam jangka waktu tertentu tetap dianggap sebagai penghasilan pasif yang harus dilaporkan.
3. PT Gareng (Dividen)
- Berdasarkan soal tersebut besaran pajak x dividen dihitung menggunakan persamaan logaritmik hingga menghasilkan x=12x
- Sama seperti kasus sebelumnya, dividen x=12 ini akan dihitung sebagai penghasilan kena pajak apabila PT Gareng merupakan CFC.
- Nilai ini menjadi dasar penghitungan penghasilan pasif dan pajak yang harus dibayarkan.
4. PT Cawe-Cawe (Bunga)
- Berdasarkan soal tersebut bunga dihitung dengan pendekatan linear menghasilkan x=0,5
- PMK 93/2019 menyebutkan bahwa penghasilan pasif seperti bunga yang diterima oleh CFC juga menjadi bagian dari penghasilan Wajib Pajak dalam negeri.
- Dalam konteks CFC, jika pendapatan bunga berasal dari BULN yang berada di yurisdiksi tax haven, pemerintah dapat menganggap bunga tersebut sebagai bagian dari deemed dividend, meniadakan celah penghindaran pajak.
- Apabila PT Cawe-Cawe merupakan CFC, bunga x=0,5 akan dianggap sebagai penghasilan yang harus dilaporkan.
5. PT Cabe Temanggung (Royalti)
- Berdasarkan soal tersebut royalti dihitung menggunakan logaritma hingga menghasilkan x=21,33
- PMK 93/2019 menyebutkan Royalti yang diterima atau diperoleh oleh CFC merupakan salah satu jenis penghasilan pasif yang diatur oleh PMK ini.
- Jika PT Cabe Temanggung adalah CFC, royalti x=21,33 menjadi penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri.
6. PT Bawang Brebes (Capital Gain)
- Berdasarkan soal tersebut Capital gain dihitung dari dua persamaan linear x +y = 10, dan x-y =4 hingga menghasilkan xy=21
- PMK 93/2019 mencakup penghasilan berupa capital gain yang diterima CFC.
- Jika PT Bawang Brebes merupakan CFC, capital gain xy=21 juga menjadi bagian dari penghasilan kena pajak.
- Jika penghasilan capital gain berasal dari penjualan saham atau aset perusahaan di luar negeri yang tidak terdaftar di bursa, pemerintah dapat menggunakan konsep CFC untuk menetapkan pajak berdasarkan mekanisme deemed dividend.
- Capital gain dari perusahaan luar negeri yang dimiliki PT Bawang Brebes akan dihitung sebagai penghasilan PT Bawang Brebes di Indonesia sesuai dengan persentase kepemilikannya
Apabila perusahaan-perusahaan yang disebutkan diatas adalah entitas asing yang dikendalikan oleh Wajib Pajak dalam negeri, maka penghasilan pasif seperti dividen, bunga, royalti, dan capital gain yang dihitung perlu dilaporkan sesuai dengan PMK 93/2019. Dalam dokumen SPT, pastikan penghasilan tersebut disertakan dalam lampiran khusus untuk melaporkan penghasilan CFC. Jika penghitungan pajak masih menggunakan asumsi umum tanpa memperhitungkan status perusahaan sebagai CFC, perlu revisi sesuai ketentuan PMK 93/2019 agar penghasilan dikenakan pajak dengan benar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H