Mohon tunggu...
M. Fajar Agustus Putera
M. Fajar Agustus Putera Mohon Tunggu... Guru - Guru

seorang guru dan content writer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Titik Balik di Senja Desa Mekar Sari

28 Januari 2025   23:56 Diperbarui: 28 Januari 2025   23:56 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen: Titik Balik di Senja Desa Mekar Sari

Hujan baru saja reda ketika matahari perlahan-lahan mulai tenggelam di balik bukit-bukit Desa Mekar Sari. Udara sore itu terasa segar, menyisakan aroma tanah basah yang khas. Di sebuah gang sempit yang penuh dengan rumah-rumah sederhana, berdiri seorang gadis kecil bernama Melati. Usianya baru menginjak sepuluh tahun, tetapi dalam sorot matanya yang hitam, ada sesuatu yang lebih tua dari usianya---seperti beban yang tak seharusnya ia pikul di usia semuda itu.

Melati baru saja pulang dari rumah Bu Sari, seorang tetua di kampung itu yang membuka kelas belajar membaca dan menulis bagi warga. Meski ia belum mengenyam pendidikan formal, semangat Melati untuk belajar tidak pernah surut. Setiap sore, ia akan membawa buku tulis lusuh dan pensil kecil yang ujungnya sudah tumpul untuk belajar bersama Bu Sari. Namun, sore itu, langkah Melati terasa lebih berat dari biasanya.

Di rumah, ibunya, Suminah, sedang sibuk merapikan kain-kain cucian yang baru saja dijemur. Ayah Melati sudah lama pergi merantau, mencari penghidupan di kota besar. Namun, tak ada kabar atau kiriman uang yang sampai ke tangan Suminah selama bertahun-tahun. Mereka hanya bisa bertahan dengan menerima cucian dari tetangga-tetangga sekitar.

"Melati, kamu dari mana saja? Sudah sore begini baru pulang," tegur Suminah dengan nada khawatir.

"Dari rumah Bu Sari, Bu. Tadi belajar lagi," jawab Melati pelan sambil menunduk. Ia tahu ibunya sering kali khawatir karena ia terlalu sering keluar rumah.

"Belajar itu bagus, tapi jangan lupa bantu ibu, ya. Hari ini kita harus menyelesaikan lipatan kain ini," ujar Suminah sambil mengelus kepala anaknya. Ada nada lelah dalam suaranya, tetapi ia tetap berusaha tersenyum.

Melati mengangguk patuh. Namun, dalam hatinya, ia merasa gelisah. Sejak mengikuti kelas Bu Sari, ia semakin menyadari betapa pentingnya bisa membaca dan menulis. Ia ingin sekali bersekolah seperti teman-temannya yang lain, tetapi ia tahu, keadaan keluarganya tidak memungkinkan. Biaya sekolah terlalu mahal, dan mereka bahkan sering kali kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Keesokan harinya, Melati kembali ke rumah Bu Sari. Hari itu, Bu Sari memperkenalkan sebuah buku cerita bergambar yang tebal. Buku itu terlihat usang, tetapi masih sangat menarik bagi Melati.

"Hari ini, kita akan belajar membaca cerita ini," kata Bu Sari sambil tersenyum. Ia membagikan lembaran fotokopi cerita kepada murid-muridnya yang lain. Mata Melati berbinar-binar saat melihat gambar-gambar di dalamnya. Salah satu cerita yang menarik perhatiannya adalah tentang seorang anak yang berhasil mengubah nasib keluarganya dengan belajar sungguh-sungguh.

Melati membaca dengan penuh semangat, meski beberapa kata sulit diucapkannya dengan benar. Bu Sari dengan sabar membimbingnya, mengoreksi setiap kesalahan tanpa membuatnya merasa malu. Bagi Melati, momen-momen belajar ini adalah pelarian dari kenyataan yang sering kali terlalu keras untuk usianya.

Ketika kelas selesai, Bu Sari memanggil Melati.

"Melati, kamu pintar sekali. Kamu punya bakat besar untuk belajar," kata Bu Sari sambil menggenggam tangan kecil Melati.

"Tapi, Bu Sari, saya tidak bisa sekolah," jawab Melati lirih.

"Tidak apa-apa, Nak. Selama kamu punya semangat, ilmu itu bisa kamu cari di mana saja. Tapi ingat, jangan pernah menyerah. Dunia ini penuh dengan kejutan, dan kamu tidak tahu apa yang menunggumu di depan," ujar Bu Sari dengan senyum penuh harapan.

Hari-hari berlalu, dan semangat Melati untuk belajar semakin besar. Ia sering kali meminjam buku-buku lama dari Bu Sari untuk dibaca di rumah. Meski harus meluangkan waktu di sela-sela membantu ibunya mencuci, Melati tidak pernah absen belajar. Ia bahkan mulai mengajarkan apa yang ia pelajari kepada anak-anak lain di kampungnya yang belum bisa membaca.

Namun, kehidupan tidak selalu ramah. Suatu sore, Suminah jatuh sakit. Tubuhnya lemah, dan ia tidak bisa lagi menerima cucian seperti biasa. Hal ini membuat Melati semakin cemas. Tanpa penghasilan dari mencuci, bagaimana mereka akan bertahan?

Melati memutuskan untuk mencari pekerjaan. Ia berkeliling kampung, menawarkan bantuan mencuci, membersihkan rumah, atau apa saja yang bisa menghasilkan uang. Namun, tubuhnya yang kecil sering kali dianggap tidak mampu. Hampir semua orang menolaknya.

Di tengah keputusasaannya, ia teringat cerita di buku yang pernah ia baca di rumah Bu Sari. Cerita itu tentang seorang anak yang membuat kerajinan tangan untuk dijual. Melati pun mendapat ide. Ia mengumpulkan sisa-sisa kain perca dari rumah tetangganya dan mulai membuat gantungan kunci sederhana. Dengan bimbingan Bu Sari, ia belajar menjahit pola-pola kecil yang cantik.

Hasil karyanya ia jual di pasar kecil Desa Mekar Sari. Awalnya, tidak banyak yang tertarik, tetapi perlahan-lahan, orang-orang mulai melirik. Mereka terkesan dengan kegigihan Melati dan keindahan karya-karyanya. Dari situ, Melati mulai mendapatkan penghasilan kecil untuk membantu ibunya.

Suatu hari, saat Melati sedang menjahit di rumah, seorang pria paruh baya datang ke rumah mereka. Wajahnya terlihat lelah tetapi penuh harapan. Pria itu adalah Pak Ahmad, kepala sekolah dasar di kampung sebelah. Ia mendengar tentang kegigihan Melati dari Bu Sari.

"Melati, saya ingin menawarkan sesuatu," kata Pak Ahmad sambil tersenyum hangat.

"Apa itu, Pak?" tanya Melati dengan hati berdebar.

"Saya ingin kamu bergabung di sekolah kami. Tidak perlu khawatir soal biaya. Kami akan memberikan beasiswa penuh untukmu," ujar Pak Ahmad.

Air mata Melati langsung mengalir. Ia menatap ibunya, yang juga terlihat terkejut tetapi bahagia.

"Terima kasih, Pak. Saya akan belajar dengan sungguh-sungguh," kata Melati sambil menggenggam tangan Pak Ahmad dengan erat.

Hari pertama Melati di sekolah adalah hari yang tidak akan pernah ia lupakan. Meski ia sempat merasa canggung karena usianya lebih tua dari teman-temannya, semangat belajarnya membuatnya cepat beradaptasi. Gurunya sering kali memujinya di depan kelas, dan teman-temannya pun mulai menghormatinya.

Melati kini tidak hanya belajar untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk ibunya dan orang-orang di kampungnya. Ia ingin membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah penghalang untuk meraih mimpi.

Senja di Desa Mekar Sari semakin indah di matanya. Bagi Melati, senja bukan lagi tanda berakhirnya hari, tetapi awal dari mimpi-mimpi baru yang siap ia wujudkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun