"Melati, kamu pintar sekali. Kamu punya bakat besar untuk belajar," kata Bu Sari sambil menggenggam tangan kecil Melati.
"Tapi, Bu Sari, saya tidak bisa sekolah," jawab Melati lirih.
"Tidak apa-apa, Nak. Selama kamu punya semangat, ilmu itu bisa kamu cari di mana saja. Tapi ingat, jangan pernah menyerah. Dunia ini penuh dengan kejutan, dan kamu tidak tahu apa yang menunggumu di depan," ujar Bu Sari dengan senyum penuh harapan.
Hari-hari berlalu, dan semangat Melati untuk belajar semakin besar. Ia sering kali meminjam buku-buku lama dari Bu Sari untuk dibaca di rumah. Meski harus meluangkan waktu di sela-sela membantu ibunya mencuci, Melati tidak pernah absen belajar. Ia bahkan mulai mengajarkan apa yang ia pelajari kepada anak-anak lain di kampungnya yang belum bisa membaca.
Namun, kehidupan tidak selalu ramah. Suatu sore, Suminah jatuh sakit. Tubuhnya lemah, dan ia tidak bisa lagi menerima cucian seperti biasa. Hal ini membuat Melati semakin cemas. Tanpa penghasilan dari mencuci, bagaimana mereka akan bertahan?
Melati memutuskan untuk mencari pekerjaan. Ia berkeliling kampung, menawarkan bantuan mencuci, membersihkan rumah, atau apa saja yang bisa menghasilkan uang. Namun, tubuhnya yang kecil sering kali dianggap tidak mampu. Hampir semua orang menolaknya.
Di tengah keputusasaannya, ia teringat cerita di buku yang pernah ia baca di rumah Bu Sari. Cerita itu tentang seorang anak yang membuat kerajinan tangan untuk dijual. Melati pun mendapat ide. Ia mengumpulkan sisa-sisa kain perca dari rumah tetangganya dan mulai membuat gantungan kunci sederhana. Dengan bimbingan Bu Sari, ia belajar menjahit pola-pola kecil yang cantik.
Hasil karyanya ia jual di pasar kecil Desa Mekar Sari. Awalnya, tidak banyak yang tertarik, tetapi perlahan-lahan, orang-orang mulai melirik. Mereka terkesan dengan kegigihan Melati dan keindahan karya-karyanya. Dari situ, Melati mulai mendapatkan penghasilan kecil untuk membantu ibunya.
Suatu hari, saat Melati sedang menjahit di rumah, seorang pria paruh baya datang ke rumah mereka. Wajahnya terlihat lelah tetapi penuh harapan. Pria itu adalah Pak Ahmad, kepala sekolah dasar di kampung sebelah. Ia mendengar tentang kegigihan Melati dari Bu Sari.
"Melati, saya ingin menawarkan sesuatu," kata Pak Ahmad sambil tersenyum hangat.
"Apa itu, Pak?" tanya Melati dengan hati berdebar.