"Aku... aku hanya merasa nggak lengkap, Din. Seperti ada yang hilang," jawab Rina perlahan, suara penuh penyesalan.
Dini mengangguk, seolah mengerti tanpa perlu banyak kata. Mereka terus berjalan menyusuri jalan setapak yang menuju pasar, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Sesekali, Rina melihat orang-orang yang sibuk berjualan, anak-anak yang berlari-lari di jalanan, dan ibu-ibu yang sibuk membeli bahan kebutuhan sehari-hari.
Di pasar, Rina merasa seperti kembali ke dunia yang ia tinggalkan. Di sini, semua orang mengenalnya. Mereka menyapa dengan ramah, menawarkan dagangan mereka, dan berbicara tentang kehidupan sehari-hari. Rina merasa nyaman dengan kehangatan yang ada, namun di sisi lain, ia merasa seolah tidak benar-benar menjadi bagian dari kehidupan ini.
Setelah beberapa saat, mereka berdua duduk di sebuah warung kopi kecil yang terletak di sudut pasar. Warung itu milik Pak Karyo, seorang pria tua yang sudah lama berjualan kopi di sana.
"Rina, kamu masih ingat Pak Karyo?" tanya Dini sambil menyeruput kopinya.
Rina tersenyum. "Tentu saja. Pak Karyo selalu punya cerita menarik tentang kehidupan di desa ini."
"Ya, dia memang selalu tahu segala hal yang terjadi di sini," jawab Dini.
Pak Karyo datang menghampiri mereka. Dengan senyum lebar, ia menawarkan kopi yang baru saja diseduh.
"Ini kopi terbaik di desa, lho, Rina. Pasti kamu belum pernah coba yang seperti ini di Jakarta," ujar Pak Karyo sambil meletakkan cangkir kopi di meja.
Rina tertawa kecil. "Aku percaya, Pak. Pasti enak sekali."
Mereka bertiga mengobrol santai, membicarakan segala hal yang terjadi di desa. Namun, di tengah percakapan itu, Rina kembali teringat akan pertanyaan Dini tadi. Apakah ia benar-benar bahagia? Apa yang sebenarnya ia cari dalam hidup ini?