Nyambai atau Cambai berasal dari bahasa Lampung yang berarti daun sirih. Sirih adalah perlambang sifat keterbukaan masyarakat Lampung, sesuai dengan makna dan fleksibilitas daun sirih dalam ritual adat yang berlaku di masyarakat Lampung.
Tari ini pada masa lampau dianggap begitu agung karena hanya disuguhkan pada para bangsawan maupun para tamu yang berkunjung ke istana kerajaan atau Lamban Gedung. Sedangkan dalam upacara perkawinan, Tari Nyambai adalah bagian penting dari upacara Nayuh atau Penayuhan.
Pada perkembangan selanjutnya ketika Islam sudah mulai masuk ke Lampung, Tari Nyambai kemudian mengalami pergeseran baik dalam hal fungsi maupun gerak tariannya.
Tarian Nyambai sebagai tarian muda mudi (Muli Mekhanai) berkenalan dan mencari jodoh, gerakan tariannya menjadi lebih sedikit, dan lebih mengutamakan keseragaman gerak antara kaki dan tangan dalam tiap kelompok penari yang saling berhadapan.
Tari Nyambai yang hanya menggunakan alat musik rebana dan kulintang sebagai pengiringnya ini akan mengikuti tiap syair-syair yang berisi petuah-petuah bijak dalam bahasa Lampung.
Pada bagian akhir tarian, selendang tapis yang dibawa penari perempuan akan dikenakan kepada penari laki-laki yang menjadi pilihannya.
Festival Kopi di Kampoeng Kopi
Berbagai daya tarik di Rigis Jaya ini, mulai dari eco print, lukisan ampas kopi, Tari Nyambai dan berbagai keunikan kopi itu kemudian dikemas dalam festival tahunan oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Barat bertajuk Festival Kopi.
Konsepnya menarik banyak wisatawan, ekonomi warga pun otomatis bertumbuh terlebih setelah pandemi Covid-19.
Dari Kampoeng Kopi inilah kemudian, gairah masyarakat Rigis Jaya dan masyarakat Lampung Barat sebagai salah satu daerah yang kaya akan destinasi wisata mulai pulih.
Angka kunjungan wisatawan mancanegara pun mulai menunjukkan tren peningkatan. Tingkat okupansi hunian home stay di rumah-rumah warga pun kian baik, terlebih di akhir pekan.