"Agung itu laki-laki tidak bertanggung jawab Ndok, dia itu nakal. Percayalah sama Emakmu ini! Semua tetangga juga tahu tingkah laku dia. Kamu bisa tanya sama Mak Karti, Pakde Ponirat, Mbah Kinem, Yu Lastri, Sugeng, atau siapapun yang kamu ingin tanyai. Semua akan menjawab sama, Agung itu tidak lurus".
"Mak..."
"Sri, berapa tahun kamu disana? Berapa uang yang sudah kamu kirimkan? Ada nyatanya? Rumah kamu tidak megah. Tanahmu tidak bertambah luas, hanya bertambah satu petak di belakang rumah itu. Usaha suamimu hanya ternak sapi perah, itu pun hanya empat ekor saja. Suamimu itu pasti menghabiskan duit kamu buat cari wedokan, buat "njajan". Buat apa lagi kalau bukan buat itu? Kang Paimo pernah bilang sama Emak kalau dia pernah melihat dia di daerah Sumbersih sana. Kamu tahu itu kampong apa? Itu kampong wedokan-wedokan kesepian, mereka ditinggal suami mereka bekerja di Kalimantan. Kalau laki-laki kesepian bertemu wanita kesepian, apa yang terjadi kamu tahu sendiri,"
"Mak..."
"Kamu itu bekerja keras banting tulang di sana. Kamu jempalitan di tanah orang, ngosek WC. Dan dia malah seperti itu. Mak gak terima. Mak itu sayang sama kamu, Ndok. Sudah, pokoknya kamu ceraikan saja suami kamu itu!".
Brengsek!
Kalau saja dia itu bukan mertuaku, sudah kurobek mulutnya. Pasti sudah kutempeleng dan kuludahi wajahnya. Ingin sekali aku tadi keluar dari balik pintu dan mendobrak kamar itu. Berkata bahwa itu fitnah. Bilang kalau itu hanya omong kosong. Maling teriak maling. Jangan Mak pikir aku tidak tahu pikiran Emak. Aku tahu dengan sangat jelas kalau Emak ingin menguasai harta Sri. Karena itu Emak mau menyingkirkan aku dari sini. Busuk!
***
Aku kengen kamu Sri. Sudah 10 tahun kamu meninggalkan aku dan Dilla putri kita. Dilla sekarang sudah besar, sudah remaja. 14 tahun umurnya kini. Dia cantik seperti kamu. Matanya adalah mata kamu. Melihatnya seperti melihat kamu. Aku masih ingat ketika kamu hamil Dilla dulu, kamu ngidam Nangka. Kita begitu bahagia. Bertambah bahagia ketika dia lahir. Bening itu menetes dari pelupuk mataku ketika kubisikkan adzan di telinganya, pada tubuh mungil merah yang menggeliat dengan sayup jerit tangisnya. Lalu kamu dan aku memutuskan untuk member nama Dilla Rahma Ayu Fauzia, berharap dia menjadi gadis ayu penyejuk hati kita.
Aduh! Oalah Sri, aku bayangin kamu malah jariku terkena arit. Hehehe. Ya sudah, aku pulang saja. Aku sudah kangen sama kamu. Aku juga kangen sama Dilla. Tapi, tapi bagaimana dengan kata-kata Emak kemarin? Sri, apa kamu akan minta cerai dari aku? Tidak. Kamu bukan seperti itu. Kamu pasti lebih percaya padaku, suamimu. Aku tidak pernah macam-macam sayang, sungguh! Aku setia selama 10 tahun itu. Tidak pernah aku menyentuh wanita lain. Jangankan menyentuh, melirik pun tidak.
 Rumput-rumput ini seakan tak tersakiti ketika aku menginjak mereka. Membawa masyarakat mereka dalam krenjangku yang akan kupersembahkan untuk ternakku. Angin berhembus menyelimut lembut. Pohon-pohon Kelapa bergoyang oleh irama semesta. Daunnya seperti lentiknya tangan penari keraton. Seketika bulatan coklat kehitaman itu jatuh. Bluk! Lengkap sudah semua. Kupercepat langkahku diatas ungu bunga Belimbing yang jatuh entah sejak kapan.
" Jam segini kok sudah pulang Gung?"
"Eh, Kang Ponijan. Iya ini sudah dapat rumputnya"
"Sudah dapat rumputnya opo selak kangen istri? Wah, jamune seng kuat ini. Ngombe Kuku Bima bia roso kayak Mbah Marijan"
"Iya dong. Serasa manten baru lagi Yu. Hahaha"
"Weleh weleh... Sek, tunggu dulu. Ini bawa pulang ya, nanti suruh nggodog Sri!"
"Wah, matornuwon Yu. Yowes, aku pulang dulu kang, Yu!"
Bayangan yang tertinggal adalah kang Ponijan dan beberapa orang yang ngaret rendeng dan Yu Karti yang mitili kacang bersama beberapa wanita. Mereka semua tersenyum mengantarkan kepergianku. Sekarang sedang musim panen Kacang. Biasanya panen diadakan secara bergiliran supaya bisa saling membantu. Pemilik kebun tidak pernah keberatan para tetangga datang dan merumput. Mereka bahkan senang karena dengan begitu panen mereka cepet selesai. Biasanya mereka datang sepasang. Sang suami akan bertugas ngaret rendeng kemudian sang istri membantu mithili kacangnya. Rendeng yang sudah mereka pitili kacangnya itulah yang bisa mereka bawa pulang. Pemilik kebun juga tidak hanya tak keberatan mereka mengambil rendeng, tapi juga tidak keberatan mereka membawa pulang beberapa thekem rendeng yang masih ada kacangnya untuk mereka rebus di rumah. Kebetulan hari ini yang panen Yu Karti. Kebunnya ada di seberang kebun milikku yang kutanami Gajahan. Kami semua bertetangga dengan baik. Saling membantu satu sama lain dalam banyak hal. Yang tidak kusenangi dari desa ini adalah begitu mudahnya suara merebak. Seperti hujan yang dengan kilat datang dan membasahi apa saja yang ada di bumi tanpa terkecuali. Yah, inilah kehidupan desa. Kusadari itu seperti aku menyadari adanya siang dan malam yang tersekat fajar dan senja.
Aku sudah sampai rumah. Melewati bukit kecil menanjak seakan tak terasa olehku. Aspal dan listrik sudah masuk desa kami sejak 15 tahun lalu. Tapi toh itu tidak merubah jajaran tanah bebatuan yang menyembul di mana saja di desa ini. Kami orang Desa Tempursari, 18 km dari Pantai Selatan Malang, tetap pada kehidupan agraris kami walau anak kami sudah sering berceloteh tentang internet. Kutaruh rumput di kandang. Segera aku masuk rumah. Ada gelak tawa, kutilik sebentar. Di ruang tengah, Dilla sedang mencoba baju baru bersama Ibunya. Tuhan, terimakasih. Aku mau mandi dan segera berkumpul dengan mereka.
Selesai mandi, aku berbenah di kamar. Suara mereka sudah tak terdengar. Mungkin mereka di teras, akan kususul mereka. Tapi, sebentar. Apa itu? Sebuah amplop coklat tergeletak di atas koper yang terbuka. Kuambil, kubuka, kulihat. Astagfirullahhaladzim! Apa-apa'an ini. Sri! keterlaluan! Jadi, teman yang kamu bawa pulang itu, yang kamu kenalkan pada kami sebagai teman seperjuangan dari Magelang itu... Duh Gusti! Aku sudah tidak tahan lagi. Kubiarkan undangan dan foto-foto pernikahan mereka di Hongkong berserakan di lantai.
Kemana Sri? Dapur, ruang tengah, ruang tamu, teras, kutelisik satu persatu. Nihil. Lalu aku mendengar tawa kecil dari  kamar depan. Kudekati. Ada percakapan kecil tapi entah apa. Aku sepertinya pernah mendengar bahasa macam itu di film-film Hongkong yang diputar  di TV.
"####******%%%%%", itu suaramu Sri.
"@@@@@####$$$$$$$", itu suara orang itu. Ini memang kamarnya selama disini.
"Hahahaahhaa". Kalian tertawa. Kalian mentertawakan kebodohanku. Semakin panas, aku terbakar. Kubuka pintu kamar itu dengan kekuatan yang aku punya. Retinaku menangkap bayangan istriku berciuman dengannya. Lemas, aku hilang bentuk.
"Mas...".
Aku lemas, aku hilang bentuk, tak bisa berkata-kata. Kuacungkan tanganku dengan sisa kekuatan yang aku punya tanda melarangnya berkata-kata.
"Mas...".
Aku lemas, aku hilang bentuk, tak bisa berkata-kata. Tapi melihat wanita yang mencumbu istriku itu tertunduk, tiba-tiba kekuatan entah dari mana datang begitu saja.
"Jadi drama ini yang kamu persembahkan padaku dalam kepulanganmu setelah 10 tahun meninggalkanku Sri?"
"Mas..."
"Katakan semua pada orang tuamu! Tidak perlu ada acara bangun nikah segala. Apa lagi yang akan dibangun?"
"Mas, aku minta cerai". Cerai? Seharusnya aku yang berkata seperti itu. Kukira kamu akan minta maaf Sri, karena itulah yang seharusnya.
"Bertambah satu luka. Apa lagi?".
"Mas, aku tidak akan meninggalkanmu begitu saja dan aku tidak akan membebanimu. Biarkan Dilla ikut aku, aku akan merawat dan mendidiknya. Masa depannya akan terang bersamaku. Dan Mas akan kuberi modal, 50 juta. Kita bercerai!".
"Aku ceraikan kamu detik ini juga!".
***
Orang-orang itu tertawa-tawa di dapur. Memasak entah berapa banyak jenis masakan. Seorang wanita mengangkat baskom. Maka aku dapat dengan jelas menyaksikan api itu menyambar-nyambar di atas bara. Sesungguhnya hatiku seperti tungku itu. Lalu kenapa kalian di sini malah tertawa-tawa menyiapkan pesta untukku?
"Mas, kumohon jangan beritahu orang tuaku. Mereka sudah tua! Kita akan bercerai, tapi tolong jangan sekarang. Bapak dan Emak masih dalam senyum melihat kedatanganku. Ini masih hari kedua kepulanganku. Mereka bisa mati mendengar kita akan bercerai" rajukmu suatu malam.
"Jangkrik yang mengerikpun tahu itu adalah konsekuensi dari dramamu. Lalu kenapa kamu tidak pernah memikirkannya? Kamu perempuan Sri"
"Aku...a-aku..."
"Kamu punya suami dan anak"
"Dengannya aku tetap menjadi perempuan. Aku kesepian mas" ia menangis.
"Sri..." aku mulai iba. Marah itu sirna oleh air matamu. Sri, aku mamu memelukmu.
"Berhenti di situ! Aku bisa hidup tanpa Mas. Aku bisa mendapatkan apapun tanpa kamu Mas. Aku tidak bahagia di sini dengan keadaanku dalam hidupmu di tempat ini. Rasa kecewa dan rindu padamu itu tidak terbendung dan dia datang. Aku tidak ingin minta maaf karena aku memang merasakan indah dengan dia"
" Setan!"
"Semua sudah siap Gung, tidak perlu kamu ke dapur!" Bude Yem menggodaku, membuayarkan bayanganku. Aku hanya tersenyum simpul. Kulihat ada sepasang di meja. Terigu yang dilumat dengan air kemudian dibentuk boneka kecil dua manusia dengan bulatan-bulatan kecil di kiri kanannya di dalam takir. Takir itu kemudian dikukus. Itu adalah lambing kebersamaan sepasang pengantin. Sesuatu yang nisbi bagiku kini. Ada buceng di tampah yang dikitari urap dan sambal goring juga rempeyek. Ada jenang merah di piring kecil entah berapa jumlahnya. kue-kue entah apa namanya dan berapa jenisnya. Ada kembar mayang di pojokan. Akan ada kenduri besar di rumahku. Dalam rangka mbangun nikah, mbangun nikahku. Aku dan Sri sudah sepuluh tahun berpisah. Mereka takut aka nada yang berubah dari kami. kami akan sering bertengkar dan lain sebagainya. Agar pernikahan kami tetap berlanjut dan mendapat berkah, maka kami harus mengadakan kenduri ini. Di sini, di rumahku, dan juga di kubura, di makam leluluh kami. Bisakah ini menyelamatkan rumah tanggaku?
***
Bus ini melaju dengan cepat menerobos pekat. Angin seolah jadi musuh. Bertabrakan dengan besi kotak ini. Menghantam kaca dan masuk lewat celah jendela yang memang sengaja tak kututup. Kubenahi selimut anak perempuan di sampingku. Dia terlelap. Tidak tahu bahwa di luar angin ribut dengan apa saja. Jalan, kendaraan, pohon, binatang, juga langit. Tapi melihatmu, aku tak lagi merasakan angin itu ribut. Mereka malah berdendang kini. Berdansa dengan apa saja. Jalan, kendaraan, pohon, binatang, juga langit.
Dilla, putriku. Melihatmu, aku seperti melihat ibumu. Ibumu yang pertama kali kulihat hingga 10 tahun yang lalu. Melihat matamu, aku seperti melihat mata Sri. Nak, dulu Ibumu sangat lembut. Ibumu berjanji akan pulang dan menjalani hari-harinya bersama kita hingga akhir hayat. Sekarang ayah tidak bisa melihat ibumu dengan jelas. Dalam senja yang tak terang dan tak gelap ayah tidak bisa menimbang seperti apa ibumu. Mungkin juga ayah perlu tahu apa yang ibumu rasakan, tapi ayah tidak sanggup.
Sudahlah Nak! Ayah juga yang salah, ayah tidak bisa memberi ibumu yang terbaik sampai ibumu merantau ke tanah seberang. Ayah miskin. Tapi ayah laki-laki. Harga diri ayah tidak bisa dibeli dengan apa pun. Ayah pergi dengan harga diri yang masih utuh. Ayah pergi tanpa sepeser pun uang ibumu. Uang yang selama ini Ibumu kirimkan juga masih utuh dan buku tabungannya ayah letakkan di kamar bersama surat perpisahan ayah, juga kebaya putih ibumu. Kebaya yang ibumu kenakan saat pernikahan ayah dengan ibu. Ayah yang menang. Ayah menang atas harga diri ayah dan kamu. Temani ayah Nak!
Kukecup kening putriku, kupeluk dia erat. Dia masih terlelap. Tidak tahu bahwa di luar angin ribut dengan apa saja. Jalan, kendaraan, pohon, binatang, juga langit. Dia masih terlelap. Tidak membayangkan keributan yang terjadi di rumahnya dan di rumah eyangnya. Karena kami pergi tepat di saat upacara mbangun nikah itu berlangsung. Biarkan ribut menyatu dengan kabut malam ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H