" Jam segini kok sudah pulang Gung?"
"Eh, Kang Ponijan. Iya ini sudah dapat rumputnya"
"Sudah dapat rumputnya opo selak kangen istri? Wah, jamune seng kuat ini. Ngombe Kuku Bima bia roso kayak Mbah Marijan"
"Iya dong. Serasa manten baru lagi Yu. Hahaha"
"Weleh weleh... Sek, tunggu dulu. Ini bawa pulang ya, nanti suruh nggodog Sri!"
"Wah, matornuwon Yu. Yowes, aku pulang dulu kang, Yu!"
Bayangan yang tertinggal adalah kang Ponijan dan beberapa orang yang ngaret rendeng dan Yu Karti yang mitili kacang bersama beberapa wanita. Mereka semua tersenyum mengantarkan kepergianku. Sekarang sedang musim panen Kacang. Biasanya panen diadakan secara bergiliran supaya bisa saling membantu. Pemilik kebun tidak pernah keberatan para tetangga datang dan merumput. Mereka bahkan senang karena dengan begitu panen mereka cepet selesai. Biasanya mereka datang sepasang. Sang suami akan bertugas ngaret rendeng kemudian sang istri membantu mithili kacangnya. Rendeng yang sudah mereka pitili kacangnya itulah yang bisa mereka bawa pulang. Pemilik kebun juga tidak hanya tak keberatan mereka mengambil rendeng, tapi juga tidak keberatan mereka membawa pulang beberapa thekem rendeng yang masih ada kacangnya untuk mereka rebus di rumah. Kebetulan hari ini yang panen Yu Karti. Kebunnya ada di seberang kebun milikku yang kutanami Gajahan. Kami semua bertetangga dengan baik. Saling membantu satu sama lain dalam banyak hal. Yang tidak kusenangi dari desa ini adalah begitu mudahnya suara merebak. Seperti hujan yang dengan kilat datang dan membasahi apa saja yang ada di bumi tanpa terkecuali. Yah, inilah kehidupan desa. Kusadari itu seperti aku menyadari adanya siang dan malam yang tersekat fajar dan senja.
Aku sudah sampai rumah. Melewati bukit kecil menanjak seakan tak terasa olehku. Aspal dan listrik sudah masuk desa kami sejak 15 tahun lalu. Tapi toh itu tidak merubah jajaran tanah bebatuan yang menyembul di mana saja di desa ini. Kami orang Desa Tempursari, 18 km dari Pantai Selatan Malang, tetap pada kehidupan agraris kami walau anak kami sudah sering berceloteh tentang internet. Kutaruh rumput di kandang. Segera aku masuk rumah. Ada gelak tawa, kutilik sebentar. Di ruang tengah, Dilla sedang mencoba baju baru bersama Ibunya. Tuhan, terimakasih. Aku mau mandi dan segera berkumpul dengan mereka.
Selesai mandi, aku berbenah di kamar. Suara mereka sudah tak terdengar. Mungkin mereka di teras, akan kususul mereka. Tapi, sebentar. Apa itu? Sebuah amplop coklat tergeletak di atas koper yang terbuka. Kuambil, kubuka, kulihat. Astagfirullahhaladzim! Apa-apa'an ini. Sri! keterlaluan! Jadi, teman yang kamu bawa pulang itu, yang kamu kenalkan pada kami sebagai teman seperjuangan dari Magelang itu... Duh Gusti! Aku sudah tidak tahan lagi. Kubiarkan undangan dan foto-foto pernikahan mereka di Hongkong berserakan di lantai.
Kemana Sri? Dapur, ruang tengah, ruang tamu, teras, kutelisik satu persatu. Nihil. Lalu aku mendengar tawa kecil dari  kamar depan. Kudekati. Ada percakapan kecil tapi entah apa. Aku sepertinya pernah mendengar bahasa macam itu di film-film Hongkong yang diputar  di TV.
"####******%%%%%", itu suaramu Sri.