Dalam diskusi "Kearifan Lokal dalam Karya Seni" sebagai rangkaian acara pameran Kamoro Art, hadir: Luluk Intarti, perwakilan dari Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe dan dua desainer kenamaan yang lekat dengan unsur etnik pada karya-karya mereka, Ghea Panggabean dan Asha Smara Darra (Oscar Lawalata).
Pandangan dari Yayasan MWK
Luluk Intarti adalah founder Yayasan MWK yang berdiri tahun 2014 untuk bekerjasama dengan masyarakat Kamoro di sekitar area operasi PTFI.
Luluk Intarti menyebutkan bahwa pendampingan bagi suku Kamoro ini sudah lama dilakukan untuk melestarikan adat sekaligus membantu sisi perekonomiannya. Yang biasanya karya seni dibuat untuk keperluan acara adat dan ritual, diberdayakan untuk dibuat sebagai benda seni.
Sudah banyak motif ukiran yang sulit ditemukan dan kemudian digali kembali agar tetap ada dan tidak punah. Pendampingan sangat diperlukan karena suku ini belum dapat mandiri secara ekonomi dengan mengandalkan kemampuan seni tersebut.
Kayu yang biasa digunakan adalah kayu Ulin dan diukir dengan peralatan sederhana seperti pahat dan pisau. Motifnya memiliki makna dan cerita dibaliknya yang berbeda-beda.
Kelangkaan kayu besar juga merupakan salah satu kendala dalam pembuatan karya ukir yang besar. Selain itu, para pengukir yang memiliki garis keturunan Maramowe tidak semuanya melakukan kegiatan ini karena memilih pekerjaan lain.
Ada anggapan bahwa pengukir tidak memberikan penghasilan yang pasti sehingga anak-anak muda memilih pekerjaan lain.
Waktu untuk membuat ukiran memang bergantung ukuran dan tingkat kesulitan, tetapi waktu sampai barang ini terjual menjadikan anak muda memilih pekerjaan dengan penghasilan yang menurut mereka lebih masuk akal.
Pandangan Ghea Panggabean
Ghea Panggabean adalah seorang perancang busana dan pemilik lini busana Ghea Fashion Studio yang memulai karirnya sejak 40 tahun lalu.
Ghea konsisten dalam penggunaan motif kain tradisional dalam karyanya. Menurutnya, menjual barang seni memang perlu pengetahuan tentang selera pasar.