Mohon tunggu...
Metik Marsiya
Metik Marsiya Mohon Tunggu... Konsultan - Menembus Batas Ruang dan Waktu

Praktisi Manajemen, Keuangan, Strategi, Alternatif dan Spiritual. Kutuliskan untuk anak-anakku, sebagai bahan pembelajaran kehidupan. ... Tidak ada yang lebih indah, saat menemani kalian bertumbuh dengan kedewasaan pemahaman kehidupan.... ................ tulisan yang selalu teriring doa untuk kalian berdua....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Spiritual, Ketika Aku Harus Kembali Mengolah Diri

14 Februari 2017   10:53 Diperbarui: 14 Februari 2017   11:28 862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
langit negeri | pribadi

Tempat ini masih seperti yang dulu, dalam sebuah ketinggian yang jarang dijangkau oleh manusia. Setahun yang lalu hampir setiap hari aku berada di sini, melatih dan menggembleng diri dengan semua olah kanuragan, menyatukan dengan alam. Tidak ada yang berubah, masih nampak sisa-sisa energi yang tercecer dari latihan yang pernah kulakukan.

Memandang ke utara tampak jelas dari sini Gunung Merapi yang menjulang biru dengan segala balutan awan dan sinar matahari pagi. Angin bertiup sangat kencang, udara bulan Januari dimana seharusnya bulan Januari adalah bulan pergantian musim sudah harus mulai berjalan. Tetapi tidak Januari  ini, angin berhembus kencang penuh dengan kelembaban, beraroma basah. Sebuah pertanda bahwa musim hujan masih akan terus berlangsung. Perputaran di dunia jagad bathin yang sedang berlangsung memang akan mempengaruhi musim. Akan terjadi anomali cuaca, cuaca ekstrim. Jika kita memahami dua dunia, maka musim bukan hanya semata-mata karena peristiwa alam, sesungguhnya salah satu faktor perubahan cuaca dan musim adalah sebuah akibat pergerakan jagad bathin. Maka ada sebuah waktu yang diistilahkan dengan udan tanpo mongso.  Langit berwarna semburat kuning bercampur orange, sedikit kabut masih melingkupi udara, pertanda ada uap-uap air memenuhi udara. Kabut pagi,  sisa-sisa kabut  semalam masih tersisa. Udara dingin menusuk ke dalam kulit, bagaikan jarum-jarum es yang menembus lapisan pori-pori.

"Kamu kembali, Nduk?" BK menghampiriku. Terlihat semua sesepuh berdiri berjejer rapi membentuk setengah lingkaran di pinggir arena. Lingkaran tidak dapat  terbentuk, karena sesepuh yang datang hanya sebagian. Terlihat wajah Nini, Datuk, Ki Juru, P Senopati, BK dan beberapa pengikutnya. Di barisan paling ujung ada macan loreng kombang Gunung Merapi yang setia mengikuti di belakang rombongan. Macan yang menjadi simbol, setiap kemunculannya adalah pertanda akan ada tamu agung yang datang ke rumahku. Orang berpangkat dan berderajat, orang yang dihormati karena kedudukan dan hartanya.

Aku mengangguk. Masih terasa lemah, Akhir-akhir ini aku mulai mengalami gangguan fisik sesak nafas. Dan aku sendiri belum bisa melihat apa yang menjadi penyebabnya. Terkadang aku merasa berada di antara hidup dan mati. Dari kejadian-kejadian ini membuatku semakin mengerti dan memahami bahwa hidup adalah titipan nyawa yang setiap saat bisa diambil oleh Pemilik Kehidupan dengan segala caranya. Tetapi aku mengerti awal dari sakit adalah karena energi yang kukeluarkan selalu lebih besar dari pada yang masuk, tekor. Sebenarnya aktivitas harianku sendiri menuntut lebih banyak konsentrasi, dan seringkali aku tidak rutin latihan, ternyata membuat kondisi tubuhku tidak kuat menerima semua tekanan. Walaupun bisa jadi ada faktor yang lainnya, tetapi aku belum bisa melihat lebih jauh.

"Apa yang membuatmu kembali, anakku?"

"Benar kata sesepuh, saya tidak punya pilihan lain. Saya harus tetap di sini, atau hidup saya akan semakin berantakan. Tidak ada gunanya saya pergi dan mengingkari semua tugas dan tanggung jawab spiritual negeri  ini. Dalam satu tahun ini, saya hanya berjalan sebisa saya, mencoba mengandalkan kemampuan diri yang sebelumnya sudah saya miliki,  tanpa mengasah dan menggemblengnya. Dan akhirnya, ternyata saya banyak  mengalami kesulitan bertubi-tubi.Hal ini membuat saya menyadari bahwa pada akhirnya tetap saja dalam perjalanan yang saya lewati saya akan selalu dihadapkan pada hal-hal yang memang harus saya hadapi dengan menggunakan kekuatan bathin. Jika saya tidak melatihnya, maka itu sama saja saya konyol dengan hidup saya, ngawur tanpo aturan, bodho".

"Sokuuuuur.... hhahahahhahahaha, rasakno. Nek dikandani kuwi ngeyel marake mangkel athine sesepuh. Dumeh dewekan dadi kelangenane sesepuh terus sak karep-karepe dewe". Terdengar Ki Juru tertawa dengan sangat keras, menertawakan kegetiran dan kesulitan hidup yang kulalui. "Kamu pikir dengan melepaskan kewajiban dan tidak melakukan latihan setiap hari akan membuatmu lebih enak, hahahahaha, bocah cubluk, koyo inthuk (tuyul), utheke ora neng bathuk ning neng dengkul. Hohoho". Terdengar Ki Juru tertawa semakin keras. Hal ini biasa kami lakukan saat kami mengalami kesulitan dan kegetiran hidup yang menyesakkan. Kegetiran adalah lelucon yang sangat lucu, tidak ada duanya, lelucon yang benar-benar terjadi tanpa bisa kita hindari.

"Apa yang kamu rasakan, anakku? Panembahan Senopati  memecah tertawa renyah Ki Juru. "Katakan pada kami!"

"Saya memilih hanya sesekali menemani mereka, setelah mereka memilih jalannya sendiri. Seperti biasa saya mengembalikan pilihan hidup kepada yang bersangkutan, tidak memaksanya. Dan saya harus mengakui bahwa ketika saya tidak harus mendampingi mereka, saya merasa terlena dengan kehidupan saya sendiri, dimana saya pikir semuanya akan lebih mudah, lebih tepatnya saya menggampangkannya. Perjalanan negeri tetap saya kerjakan sebisa saya. Sesekali saya melihat dan menengok situasi mereka dengan keyakinan bahwa mereka sudah menentukan yang terbaik untuk langkah mereka, saya tidak pernah memaksanya. Saya berpikir bisa jadi mereka menemukan banyak hal yang lebih baik, bukankah tugas saya hanya membuka jalan dan membawa arah perjalanan negeri. Sedang siapa yang akan ikut dan menjadi bagiannya saya serahkan kepada takdir kehidupan, tidak seperti dulu. Menjaga semuanya agar tetap di dalam alur. Sebenarnya saya sudah berusaha mengembalikan semuanya ke dalam alur yang memang sudah disiapkan, tetapi mereka memilih mengambil alur sendiri. Dan saya merasa tidak ada gunanya saya di sana".

"Bukankah sesepuh memahami bahwa jika tidak ada ruang untuk saya di pikiran mereka, di hati mereka maka sangat sulit untuk memasukkan roh-roh kehidupan negeri, menyatukan pemikiran dan hati adalah sebuah prasyarat mutlak yang harus dipenuhi, pertemuan, jabat tangan, saling menerima dan saling memahami adalah bagian dari situasi yang harus ada agar perjalanan negeri dan penataan pribadi berjalan seiring sejalan. Tetapi syarat-syarat itu tidak dipenuhi, dan saya merasa tidak bisa melakukan apapun atas diri mereka, dan akhirnya laju perubahan negeri berjalan dengan arah yang bersebrangan dari yang sudah ditentukan alurnya".

"Saat saya harus memutar negeri ini dalam sebuah perubahan dan perjalanan berikutnya, maka saya tidak bisa menata dan menjaganya lagi agar tetap berada di dalam alur. Akhirnya satu dengan yang lain bertubrukan tanpa arah yang jelas, kegaduhan demi kegaduhan terus terjadi. Saya melihat mereka terbawa alur orang lain, keluar dari jalur yang sudah digariskan, semakin jauh dan maafkan jika akhirnya ada yang tersandung, dan melewati jalan terjal yang mereka pilih sendiri".

Aku menarik nafas dengan sangat panjang, berat dan menahannya di dalam dada. Menahan semua kesesakan melihat semua kejadian demi kejadian yang sudah terjadi, bagaikan sebuah video yang diputar ulang di kepalaku.

"Romo, dan semua sesepuh yang hadir di sini. Tolong pahami, bahwa tugas saya hanyalah membuka arah perjalanan negeri, dan menyesuaikan mereka untuk berada di jalur yang sama. Dan semua keberhasilan dan kekuatan mereka ada pada mereka sendiri, sama sekali bukan pada saya, sedikitpun saya tidak akan mengakui ada bagian saya di sana. Saya hanya menunjukkan arah, dan semuanya kembali kepada kemampuan mereka untuk menjalaninya. Dalam beberapa hal saya memang bisa melihat, apa saja yang diperlukan sebagai piranti, hal-hal yang harus dipenuhi untuk berjalan di sana. Jika saya memilikinya, maka akan saya berikan, jika tidak saya hanya menunjukkan, bagian-bagian yang harus digenapinya. Dan lagi-lagi semua kembali kepada mereka, dan bukan kepada saya. Untuk memilih dan menjalaninya, untuk belajar dan melengkapinya".

"Jika saya kembali ke sini, lebih karena saya membutuhkan kembali semua kekuatan diri untuk menghadapinya. Perjalanan negeri adalah perjalanan lahir dan bathin, tidak bisa lagi saya main-main di sini, atau hanya sebisanya, semampunya. Harus benar-benar diasah dan diolah, harus benar-benar terlatih dan tertata. Tidaklah bisa saya menguatkan orang lain saat saya sendiri tidak kuat, tidaklah bisa saya menata orang lain saat saya sendiri belum tertata, apalagi menjaga bathin orang lain, sedang bathin saya sendiri porak poranda. Dan yang terakhir, bagaimana saya bisa melihat semuanya secara utuh, jika saya hanya sesekali berada di sini, dan saat saya berada di sini, saya tetap harus berhadapan dengan tugas utama saya, melawan kekuatan kegelapan, dimana semuanya membutuhkan kekuatan yang harus kita kuatkan dari waktu ke waktu. Dan kali ini saya tumbang, jatuh dan tidak mampu menghadapinya. kali ini saya berada di bawah kendali mereka, saya tidak bisa lagi menentukan arah perjalanan negeri, karena jagad bathin di bawah kekuatan mereka. Dan secara lahiriah sesepuh bisa melihat, semua momongan saya mengalami saat-saat yang tidak mudah, sama halnya saya juga mengalami hal yang juga lebih tidak mudah lagi. Siapa lagi yang harus berdiri di depan, atas nama tidak tega, antara pamomong dan momongan, tanggung jawab moral dan tanggung jawab negeri, saya akhirnya memutuskan untuk kembali utuh, berjalan seperti dulu, kembali di sini, lengkap dengan gemblengan lahir dan bathin, bersiap menghadapi segala hal yang terjadi, jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Saya tidak peduli lagi, dekat atau jauh mereka, menutup atau tidak, yang penting saya harus bisa konsisten di jalan ini. Untuk jiwa dan raga saya sendiri, untuk negeri ini dan tentu saja jika saya masih harus dibutuhkan oleh semua penduduk negeri ini".

"Anakku, kamu telah memilih yang terbaik. Dengan kembalinya kamu di tempat latihan ini, maka itu sudah membuktikan niatmu yang sesungguhnya. Niat bathin yang akan kau wujudkan, semoga engkau diberi kekuatan. Bersiaplah, kita akan memulai kembali. Apa yang akan kau lakukan, kami para sesepuh akan mendampingimu, menemani dalam setiap laku dan pikiranmu. Mari kita mulai, anakku". BK dan Panembahan Senopati mengambil posisi mereka kembali di pinggir arena dan membiarkan aku memasuki arena.

Aku memulai dengan melihat ke dalam diri, berkaca dengan kehidupan dan kekuatan bathinku, mengukur dan melihat kembali. Apa yang sedang terjadi, apa yang sudah dilewati, apa yang masih tersisa. Bagian mana yang lemah dan harus dikuatkan, bagian mana yang masih harus diisi dengan hal yang baru.

Memejamkan mata dan memantapkan hati, mengosongkan pikiran. Menep untuk masuk ke dalam sanggar pamujan Gusti. Menenangkan diri, memusatkan segala jiwa raga, lahir bathin, Pikiran dan perasaan untuk menghadap kepada-Nya dengan segala kepasrahan. Menutup mata untuk semua yang terjadi, dan hanya kepadaNya aku berserah. Kehidupanku adalah milik-Nya, diriku dan segala isinya, jagad semesta dan segala yang menaunginya,tidak ada lagi yang tersisa. Menyerahkan semua titipan yang ada padaku untuk mengembalikan kepadaNya. Tidak ada lagi aku, karena aku adalah milikNya. Menjadi kosong dan menep, hanya kepadaNya, untukNya dan milikNya.

Ketika aku membuka mata, mengembalikan kesadaran diri pada sebuah kehidupan nyata. Melihat kembali apa yang sedang terjadi, kegaduhan karena putaran negeri, benturan demi benturan, kekuatan bukan hanya satu lawan satu, tetapi sudah satu lawan banyak. Beberapa kekuatan berusaha mengambil kesempatan dalam kesempitan, berusaha "numpang udut", siapa tahu dalam gegeran ini mereka akan mendapat kabejan, pulung karena mereka yang bertempur lengah dan leno, asyik dengan alur dan jebakan yang mereka buat sendiri, dan akan ada pihak-pihak lain yang muncul dan memanfaatkan kesempatan yang ada. Selalu banyak kemungkinan, demikianlah perputaran dari sebuah kehidupan. Selalu ada bagian-bagian yang lowong, dan hanya mata-mata yang jeli dan tajam bisa melihat segala kemungkinan yang ada.

Ingatlah penonton selalu lebih bisa melihat segalanya dengan jelas apa yang terjadi di lapangan, pahamlah bahwa seseorang yang berada di luar arena lebih bisa melihat segala kemungkinan yang bisa terjadi.

Bencana alam masih terjadi tanpa henti, tanah longsor dan pergerakan tanah tidak dapat dihindari. Menghalau dan membangunkan mereka yang tertidur di dalamnya, sama saja membuat mereka harus berpindah dari tempat yang selama ini mereka tinggali. Setiap pergerakan menimbulkan kedasyatan angin puting beliung. Selalu demikian, cuaca tak menentu. Korban jiwa dan materi berjatuhan terus menerus tanpa bisa kita hindari. Aku memejamkan mata menguatkan diri untuk meneruskan semua putaran, tidak mau melihat apa yang terjadi.

Jika saja mereka mengerti, bahwa selama ini, saat mereka masih menjadi dan menempatkan diri dari perputaran ini, maka mereka sebenarnya akan selalu terjaga dari putaran dan kegaduhannya. Tetapi tidak kali ini, mereka memilih ikut dalam arusnya, memilih menjadi bagian dari putaran negeri. Haha, akdang-kadang memang niat baik itu tidak selalu bisa diterima dengan baik dan dipahami dengan baik. Mereka akhirnya merasakan, menjadi bagian dari perputaran itu sungguh tidak mudah. Tetapi itu adalah sebuah pilihan. Menang atau hancur, atau sama sekali tidak ambil bagian dari semua kejadian ini.

Dengan keadaanku saat ini, akhirnya aku memilih menguatkan diri sendiri, dan terus menjalankan tugas dan kewajiban tanpa harus bertanggung jawab atas satu dengan yang lainnya. Justru keadaan ini memudahkan langkahku, saat aku berjalan sendiri tanpa beban tanggungan, bergerak tanpa batas, berjalan tanpa beban. Sangat ringan dan mudah. Melihat segalanya lebih jelas.

"Bolehkah aku memilih, kali ini?"

"Kenapa, anakku?" Panembahan Senopati langsung menjawab dengan cepat.

"Bisakah aku berjalan sendiri tanpa menanggung beban seperti hari ini, dan aku akan mengerjakan semuanya dengan lebih baik".

"Nduk, anakku cah ayu. Bukankah engkau memahami bahwa hidupmu adalah pilihanmu, sama halnya seperti hidup mereka adalah pilihan mereka. Kali ini, Nduk, kamu bebas menentukan. Mau mengambil pilihan langkah yang mana. urip kuwi ono sing olo ono sing apik, nglewati bener nglewati salah, ora iso bener terus opo salah terus, kabeh kudhu dilakoni kanthi roso sing podho penake. Ono susah ono kepenak, ning ora iso sak penake dewe, opo benere dewe, kabeh kuwi ono jatahe dewe-dewe.  Sliramu wes paham opo kang kudu dilakoni".

Ki Juru melanjutkan, "Dalam perjalanan yang kau lalui nanti akan ketemu sendiri apa yang kau butuhkan, jika kamu butuh pertolongan akan datang pertolongan yang kau butuhkan, jika kamu butuh teman akan datang teman yang kau inginkan. Perjalanan harus tetap diteruskan dengan segala konsekuensinya, dan kamu paham bahwa kamu akan belajar dari peristiwa demi peristiwa, dari kejadian demi kejadian. Semua ini yang akan menggemblengmu menjadi manusia otot kawat balung wesi, ora kobong karo geni, ora ambyar keno angin, ora teles keno banyu, ora ambrol kurugan lemah. Kekuatanmu akan semakin bertambah jika engkau terus belajar di sini".

"Kalau aku kesepian dan butuh teman, Khi?" Aku melihat Ki Juru dengan sorot mata nakalku, menanyakan sesuatu yang berbeda tetapi maknanya sama.

Semua sesepuh langsung menahan senyum, tetapi tidak demikian dengan Ki Juru Martani, "Hohoho.. ". Tawanya menggelegar, pecah. "Kamu selalu begitu, bocah iki pinter ning pancen kurang ajar, bocah iki ngerti ning pancen yo ora nggenah. Jaman saiki kuwi jaman edan, lelakone kabeh memang ora karu-karuan, amargo sing mlaku wes dho kedanan bondho, kedanan kamukten. Kabeh kang dilakoni wes ora waras, hanya orang-orang gendheng yang bisa meelwati semua ini dengan baik, dan kamu cah ayu thur genep gendhengnya, hoho, kuat mesthi kuat. 

Semakin edan  semakin kamu bisa menjalani semua ini dengan lebih mudah. Hohoho,kenthir tenan, uthekmu pancen rodhok owah, ora genep. Eh opo kokehan sing nggenepi yo, saking genepe, iso wae koyo ngono". Tanpa sadar, tangan Ki Juru meraih rambutku yang mulai panjang dan dengan penuh kasih sayang rambutku diacak-acak, gemas. kasih sayang orang tua kepada anak kesayangannya. Di mata Ki Juru aku bagaikan bayi yang masih wajar jika diperlakukan seperti itu, dan tanpa bisa menghindar, aku hanya bisa pasrah dan ikut tertawa mendengar apa kata Ki Juru.

"Teruskan, anakku. Nduk Cah Ayu. Lakumu masih panjang. Hati-hati, kali ini bahaya lebih sering akan menghampirimu, dan kita semua tahu bahwa setiap bahaya yang kau lalui artinya adalah pertaruhan hidup dan matimu. Setiap kejadian yang kau lewati, artinya adalah pertaruhan perjalanan negeri ini dan seluruh kehidupan lahir bathin yang ada di dalamnya. Segenap kawulo yang tinggal di dalamnya".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun