Kemudian jika melihat dari cara kerja dari petugas PPDP yang sebenarnya cukup berat dengan data potensial pemilih yang mereka pegang berisi nama-nama acak. Yang pertama daftar nama itu berdasarkan urutan abjad bukan berdasarkan alamat tempat tinggal.
Yang kedua, perekrutan petugas PPDP ini harusnya berdasarkan RT atau TPS sehingga nama-nama yang ada dalam daftar mudah terlacak dan diketahui, namun kenyataannya nama-nama yang ada dalam daftar petugas PPDP berasal dari RT lain yang tidak diketahui oleh petugas. Hal ini membuat banyak nama yang tidak terverifikasi karena tidak diketahui dimana alamatnya.
Kemudian dengan data yang acak kadut, dengan lokasi tempat pemilih yang jauh dari tempat tinggal, ini menyulitkan pemilih apalagi yang lansia, ibu rumah tangga yang punya urusan anak dll, yang membuat mereka akhirnya enggan pergi menyalurkan hak pilihnya.
Ini selain merugikan bagi si pemilih, juga merugikan kontestan serta bisa saja merugikan daerah dan negara bilamana orang terbaik yang seharusnya terpilih menjadi kalah karena orang yang akan memilihnya tidak datang ke TPS.
Belum lagi jika aturan bisa memilih dengan hanya bukti KTP, meski tidak terdaftar dalam daftar pemilih, sebagaimana yang pernah berlaku di beberapa pemilihan yang lalu. Hal ini sangat rawan, bisa jadi muncul KTP/KTP sementara siluman yang asli tapi palsu.
Pemilihan yang berkualitas itu sebenarnya terukur dari penyusunan daftar pemilih, jika pendataan pemilih akurat, tepat dan berkualitas pasti akan menghasilkan data pemilih yang baik.
Tapi jika sebaliknya maka kualitas pemilihan yang dilaksanakan patut dipertanyakan dan potensi kecurangan sangat besar dan terbuka disitu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H