Pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2024 untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota berdasarkan Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2024 akan dilaksanakan pada tanggal 27 November 2024.
Saat ini proses tahapan pemilihan telah berjalan, dan saat ini telah memasuki salah satu tahapan yang cukup krusial untuk memenuhi hak warga negara untuk menyalurkan hak pilihnya yakni pemutakhiran data pemilih.
Jika menilik bahwa, kita baru saja melewati Pemilu legislatif dan Pilpres, tentunya pemutakhiran data penduduk tidaklah begitu rumit.
Mengingat penyelenggara tentu masih memiliki data aktual yang hanya perlu dimutakhirkan dengan penambahan pemilu baru (yang baru memasuki batas umur) dan pindah alamat, serta penghapusan data pemilih yang meninggal dunia atau pindah alamat.
Namun kenyataannya, persoalan carut marut data pemilih yang acak kadut masih terus terulang dari pemilihan ke pemilihan.
Padahal sederhananya basic data yang akan dimutakhirkan tinggal menyodorkan data pemilih Pileg dan Pilpres yang akan disinkronkan dengan data pemilih baru dari data Kantor Catatan Sipil, dan data itulah yang diverifikasi oleh Petugas Pemutakhiran Data Penduduk (PPDP) yang bertugas di masing-masing RT.
Namun, kenyataannya tidak seperti itu, seperti halnya yang dihadapi oleh petugas pemutakhiran data pemilih di tempat saya, seharusnya data potensial pemilih yang diberikan kepada PPDP untuk diverifikasi di lapangan alangkah baiknya kalau berdasarkan data pemilih pada Pileg dan Pilpres yang baru saja dilaksanakan.
Tetapi data Pileg dan Pilpres yang juga dulunya masih acak kadut, kini bertambah acak kadut.
Pemilih yang tadinya namanya ada di daftar pemilih pada Pileg dan Pilpres, kini justru hilang, ada yang hilang karena tercatat pindah di RT lain dan ada yang setelah di check oleh petugas PPDP sama sekali hilang dari daftar.
Di era dengan kemajuan IT seperti sekarang ini, tentu untuk membuat aplikasi data penduduk dan pemilih bukanlah hal yang sulit dan mahal. Tetapi kok kesemrawutan data pemilih ini tidak pernah terselesaikan, ada apa?
Padahal kita tahu, bahwa tahun ini saja pemerintah mengucurkan dana hingga mencapai Rp. 6,2 triliun untuk pembuatan platform baru baik itu di kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah yang sepertinya berlomba membuat inovasi aplikasi baru yang jumlahnya mencapai puluhan ribu aplikasi.
Terus berulangnya kesemrawutan pendataan daftar pemilih, bukan saja menimbulkan tanda tanya "ada apa?", tetapi sudah menimbulkan kecurigaan, dan syak wasangka terhadap kejujuran pemerintah dan penyelenggara pemilihan, terhadap manipulasi data pemilih untuk kepentingan tertentu dan juga yang tak kalah riskannya ini menjadi ladang korupsi.
Mungkin ada yang berpikir bahwa kondisi carut marut data ini adalah hal yang biasa dan tentu bisa diselesaikan oleh petugas dengan mencatat dan melaporkannya ke pihak penyelenggara untuk dimutakhirkan. Tetapi tunggu dulu, kita tidak bisa berpikir dan berkesimpulan semudah itu.
Kenapa? Yang pertama ada teknologi yang bisa memudahkan pekerjaan itu, lalu mengapa tidak diupayakan.
Wong ada 27.000 aplikasi di kementerian, lembaga dan pemerintah daerah yang menghabiskan hingga Rp. 6,2 triliun yang sampai membuat Presiden Jokowi 'marah' karena bukan saja tidak saling terintegrasi tetapi justru malah kontraproduktif dengan tujuan yang sebenarnya.
Dengan teknologi/aplikasi yang tepat akan sangat memudahkan proses perencanaan, penyusunan dan penetapan data pemilih yang akurat dan terpercaya. Bukan itu saja, beban kerja dan waktu kerja juga bisa lebih ringan dan lebih singkat.
Yang kedua, bahwa yang namanya pemilihan, baik itu pemilihan legislatif, presiden, dan kepala daerah itu dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk pemerintahan, dalam upaya melanjutkan perjuangan mengisi kemerdekaan, dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bahwa Pemilu termasuk Pilkada adalah cara untuk mengangkat eksistensi rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara, untuk itu hak suara rakyat harus mendapat jaminan untuk tersalurkan dengan baik, mudah, langsung, bebas dan rahasia.
Haram hukumnya hilangnya hak suara rakyat karena kecerobohan, keteledoran dan ketidakbecusan pihak penyelenggara.
Yang ketiga, dengan kerja yang tidak profesional seperti dalam proses penyusunan data pemilih ini yang menyimpan banyak celah untuk dimanipulasi, baik itu untuk kepentingan oknum penyelenggara maupun untuk kepentingan kelompok/golongan.
Ruang korupsi bisa terbuka lebar, pekerjaan yang seharusnya tidak ada menjadi ada, pekerjaan yang seharusnya bisa cepat menjadi lambat dll, yang menyebabkan timbulnya biaya yang sebenarnya tidak perlu.
Kemudian jika melihat dari cara kerja dari petugas PPDP yang sebenarnya cukup berat dengan data potensial pemilih yang mereka pegang berisi nama-nama acak. Yang pertama daftar nama itu berdasarkan urutan abjad bukan berdasarkan alamat tempat tinggal.
Yang kedua, perekrutan petugas PPDP ini harusnya berdasarkan RT atau TPS sehingga nama-nama yang ada dalam daftar mudah terlacak dan diketahui, namun kenyataannya nama-nama yang ada dalam daftar petugas PPDP berasal dari RT lain yang tidak diketahui oleh petugas. Hal ini membuat banyak nama yang tidak terverifikasi karena tidak diketahui dimana alamatnya.
Kemudian dengan data yang acak kadut, dengan lokasi tempat pemilih yang jauh dari tempat tinggal, ini menyulitkan pemilih apalagi yang lansia, ibu rumah tangga yang punya urusan anak dll, yang membuat mereka akhirnya enggan pergi menyalurkan hak pilihnya.
Ini selain merugikan bagi si pemilih, juga merugikan kontestan serta bisa saja merugikan daerah dan negara bilamana orang terbaik yang seharusnya terpilih menjadi kalah karena orang yang akan memilihnya tidak datang ke TPS.
Belum lagi jika aturan bisa memilih dengan hanya bukti KTP, meski tidak terdaftar dalam daftar pemilih, sebagaimana yang pernah berlaku di beberapa pemilihan yang lalu. Hal ini sangat rawan, bisa jadi muncul KTP/KTP sementara siluman yang asli tapi palsu.
Pemilihan yang berkualitas itu sebenarnya terukur dari penyusunan daftar pemilih, jika pendataan pemilih akurat, tepat dan berkualitas pasti akan menghasilkan data pemilih yang baik.
Tapi jika sebaliknya maka kualitas pemilihan yang dilaksanakan patut dipertanyakan dan potensi kecurangan sangat besar dan terbuka disitu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H