Mohon tunggu...
Meti Irmayanti
Meti Irmayanti Mohon Tunggu... Lainnya - senang membaca, baru belajar menulis

Dari kota kecil nan jauh di Sulawesi Tenggara, mencoba membuka wawasan dengan menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Fiqih Ramadan bagi Muslimah

8 Maret 2024   18:47 Diperbarui: 8 Maret 2024   18:48 913
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bulan Ramadan sudah di depan mata,  bulan yang sangat istimewa yang sangat dinanti-nantikan oleh ummat Islam. Ummat muslim menyambutnya dengan penuh keceriaan, dan menjalankannya dengan berlomba-lomba memperbanyak pahala lewat amalan-amalan sholeh.

Di siang hari, ada kewajiban puasa. Di malam hari, ada banyak amalan-amalan sunnah dengan balasan pahala berlipat ganda seperti shalat Tarawih, membaca Alquran, memberi sedekah, dan lain sebagainya.

Namun, perlu dipahami bahwa dalam kaidah fiqih, ketika suatu ibadah disyariatkan dalam islam, maka dalam menjalankannya itu tidak boleh asal kecuali ada tuntunan dan dalil dalam ibadah tersebut. Dan puasa Ramadan termasuk salah satu rukun islam, dan sepakat para ulama hukum puasa di bulan Ramadan adalah wajib bagi laki-laki dan perempuan yang telah baligh.

Tetapi secara kodrati, fiqih puasa antara kaum laki-laki dan perempuan ada perbedaan. Ada kondisi-kondisi tertentu yang secara kodrati membuat perempuan tidak wajib berpuasa atau bahkan berdosa jika berpuasa.

Untuk itu sebagai muslimah kita tentu wajib tahu hukum-hukum puasa bagi muslimah, agar puasa yang kita laksanakan tidak hanya sekedar menggugurkan kewajiban dan hanya mendapatkan lapar dan haus semata, rugi dong.

Yang pertama, mungkin harus kita ketahui kapan seorang muslimah telah wajib berpuasa. Ukuran baligh dalam islam bukan semata-mata berpatokan pada usia akil baligh (15 tahun) tetapi ada tanda yang menandakan bahwa seseorang telah memasuki usia baligh meski belum berusia 15 tahun, yakni ketika seorang anak perempuan yang telah menstruasi, meski usianya masih 9 atau 10 tahun.

Wanita muslimah yang sudah menstruasi (haid), maka ia sudah wajib berpuasa di bulan Ramadan apabila di bulan tersebut ia tidak dalam keadaan haid atau nifas.

Wanita Haid dan Nifas

Berbeda dengan laki-laki, secara kodrati wanita punya siklus haid dan juga nifas (masa pasca persalinan), dimana dalam kondisi ini para muslimah diharamkan melakukan puasa, jika ia melakukannya maka ia berdosa.

Disini yang perlu dipahami secara fiqih adalah bahwa apabila seorang wanita yang sedang berpuasa kemudian ia mengalami haid baik itu di pagi hari, siang ataupun sore bahkan saat menjelang waktu berbuka puasa, maka ia wajib membatalkan puasanya, dan wajib mengqadhanya di lain kesempatan di luar bulan Ramadan.

Begitu pula sebaliknya jika wanita tersebut telah suci sebelum fajar bahkan walaupun semenit misalnya sebelum subuh, maka ia wajib berpuasa pada hari itu walaupun ia belum sempat mandi bersih dari haid.

Hukum nifas sama dengan hukum haid, Merujuk pada riwayat yang shahih, batas masa nifas adalah 40 hari. Ummu Salamah RA mengatakan: "Adalah para wanita yang melahirkan pada masa Rasulullah SAW biasa menjalani masa nifasnya selama 40 hari setelah proses persalinannya." (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah).

Namun, jika yakin darah nifas telah benar-benar bersih sebelum 40 hari, boleh segera mandi suci dan menjalankan ibadah yang sebelumnya tidak boleh dilakukan karena nifas, termasuk berpuasa.

Ingat, hukum puasa yang ditinggalkan karena haid dan nifas adalah menggantinya (mengqadhanya) di bulan di luar Ramadan, mulai sehari setelah lebaran hingga sebelum masuk bulan Ramadan berikutnya, kecuali saat Idul Adha dan hari-hari tasyrik yang memang diharamkan untuk berpuasa. Boleh dilakukan secara berturut-turut dan boleh juga tidak.

Tetapi perlu diingat bahwa mengqadah puasa ini tidak boleh di akhirkan sampai datangnya bulan Ramadan berikutnya, barang siapa yang mengakhirkan qadha puasa sampai datangnya Ramadan berikutnya tanpa ada udzur syar'i, maka di samping mengqadha ia harus membayar fidyah dengan memberi makan satu orang miskin dalam satu hari puasa yang ditinggalkannya sebagai hukuman atas kelalaiannya.

Wanita Hamil dan Menyusui

Secara syariat wanita yang sedang hamil atau yang sedang menyusui tetap wajib berpuasa di bulan Ramadan, sama halnya dengan wanita-wanita lain, selagi ia mampu melakukannya.

Namun, jika ia tidak mampu untuk berpuasa karena kondisi fisiknya yang tidak memungkinkan, maka ia boleh berbuka (tidak berpuasa) sebagaimana wanita yang sedang sakit, dan wajib mengqadhanya jika kondisinya telah memungkinkan untuk berpuasa.

Allah berfirman: "Maka barang siapa di antara kamu yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajibnya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain" (QS. Al Baqarah: 184).

Dan apabila muslimah itu mampu untuk berpuasa, tapi karena ada kekhawatiran akan berbahaya bagi kandungan atau anak yang disusuinya, maka ia boleh berbuka (tidak berpuasa) dengan kewajiban untuk mengqadha di hari lain dan membayar fidyah dengan memberi makan setiap hari satu orang miskin.

Disini harus diingat bahwa dalam kondisi seperti di atas, mengganti puasa yang ditinggalkan bukan saja hanya dengan mengqadhanya tetapi juga harus dengan membayar fidyah, tidak boleh hanya salah satunya.

Wanita dan Shalat Tarawih di Masjid

Shalat Tarawih sekalipun hanya merupakan shalat sunnah, namun masjid-masjid selalu ramai dengan jamaah shalat Tarawih, baik itu jamaah laki-laki maupun perempuan. Secara fiqih, seorang perempuan diperbolehkan untuk datang ke masjid, baik untuk shalat Tarawih, berdzikir maupun mendengarkan pengajian, namun dengan catatan bahwa kehadirannya tidak menyebabkan terjadinya fitnah baginya atau bagi orang lain.

Hal itu sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam:
"Janganlah kalian melarang wanita-wanita untuk mengunjungi masjid-masjid Allah" HR. Muslim. 

Namun demikian, tentunya ada syarat-syarat bagi perempuan jika mereka akan ikut beribadah ke masjid, di antaranya adalah harus berhijab, tidak berhias, tidak mengeraskan suara, dan tidak menampakkan perhiasan, serta yang penting juga adalah jangan memakai wangi-wangian. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam:

"Jika salah seorang di antara kalian (para wanita) ingin mengunjungi masjid maka janganlah menyentuh wangi wangian" HR. Muslim.

"Wanita manapun yang memakai wangi wangian, kemudian pergi ke masjid, maka shalatnya tidak diterima sampai ia mandi". HR. Ibnu Majah.

Wanita dan I'tikaf

I'tikaf ibadah yang biasanya dilakukan oleh ummat muslim di bulan Ramadan, khususnya di sepuluh hari terakhir Ramadan, i'tikaf ini disunnahkan bagi laki-laki dan juga bagi perempuan. Sama seperti istri Rasulullah SAW juga melakukan I'tikaf atau berdiam diri di masjid dengan tujuan semata-mata beribadah kepada Allah SWT,

Tetapi selain syarat-syarat seperti yang disebutkan di atas tentang syarat perempuan ke masjid, I'tikaf bagi kaum perempuan juga harus memenuhi syarat, yakni harus atas izin (ridha) suami atau orang tua (bapak) jika masih gadis. Dan apabila suaminya telah mengizinkan si isteri untuk beri'tikaf, maka ia (suami) tidak dibolehkan untuk menarik kembali persetujuannya itu.

Tempat I'tikaf bagi perempuan, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang masjid yang dipakai wanita untuk beri'tikaf. Apakah masjid (tempat shalat) di rumahnya atau di masjid seperti umumnya, namun lebih afdolnya tentu di tempat shalat di rumahnya. Tetapi jika ia merasa mendapatkan manfaat dari I'tikaf di masjid, maka tidak masalah bila ia melakukannya.

Mencicipi Masakan

Bagi perempuan apalagi di Indonesia, secara kodrati biasanya mereka tidak bisa dipisahkan dengan urusan dapur. Salah satu yang menjadi andalan di sebuah rumah tangga adalah masakan ibu, dimana dalam proses penyiapan makanan itu biasanya si juru masak akan mencicipi rasa makanannya terlebih dahulu untuk mengetahui kesesuaian rasanya.

Nah, bagaimana hal ini dilakukan ketika sedang berpuasa? Para ulama memfatwakan tidak mengapa perempuan mencicipi masakannya, asal hanya sekedarnya saja, dan tidak sampai ke tenggorokannya, hal ini diqiyaskan kepada berkumur-kumur ketika berwudhu. (jami' ahkamin nisa').

Mengkonsumsi Obat Anti Haid

Karena secara kodrati perempuan itu diberikan oleh Allah memiliki siklus haid, maka seorang muslimah meskipun punya keinginan untuk berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadan, hendaknya tidak mengkonsumsi obat penahan haid, sebaiknya mengikuti saja sesuai dengan ketentuan yang telah Allah gariskan, karena dibalik keluarnya darah tersebut pastilah ada hikmah yang sesuai dengan tabiat kewanitaan. Bisa jadi jika ditahan akan membawa dampak negatif pada kesehatan perempuan tersebut.

Namun apabila ada muslimah yang melakukan hal seperti itu, maka hukumnya adalah:

- Jika darah haidnya benar-benar dapat berhenti, maka puasanya sah dan tidak diwajibkan untuk mengqadha.

- Tetapi apabila masih ada darah karena belum benar-benar berhenti dan ia ragu, maka hukumnya seperti wanita haid, ia tidak boleh berpuasa.

Demikian sekedar berbagi info seputar fiqih Ramadan bagi muslimah, semoga membawa manfaat bagi kita bersama, dan selamat menyambut Ramadan mubarak, segala berkah untuk kita semua. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun