Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Belajar dari Efektivitas Gaya Kepemimpinan Bercerita Steve Jobs

31 Oktober 2024   20:15 Diperbarui: 31 Oktober 2024   20:17 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era ketika banyak karyawan merasa tidak terlibat dan kehilangan motivasi, pemimpin menghadapi tantangan baru untuk membangun kembali semangat dan keterikatan tim mereka.

Salah satu pendekatan yang semakin relevan adalah seni storytelling atau bercerita, yang sering digunakan oleh mendiang Steve Jobs untuk menginspirasi dan memimpin generasi melalui kisah-kisah penuh makna. Jobs sendiri mengingatkan bahwa, "Orang yang paling berkuasa di dunia adalah pendongeng. Pendongeng menetapkan visi, nilai, dan agenda seluruh generasi.".

Artikel ini akan mengeksplorasi bagaimana gaya kepemimpinan bercerita Jobs dapat diterapkan oleh para pemimpin masa kini, khususnya di Indonesia, untuk meningkatkan keterlibatan (engagement) dan inspirasi di tempat kerja.

Menghadapi Krisis Keterikatan di Tempat Kerja

Banyak organisasi saat ini menghadapi kesulitan serius dalam menjaga keterlibatan karyawan. Di antara sekitar 35 persen karyawan yang mengatakan mempertimbangkan untuk meninggalkan pekerjaan mereka, sepertiga dari mereka menyebutkan bahwa "pemimpin yang tidak peduli dan tidak menginspirasi" adalah salah satu alasan utama di balik keputusan ini.

Ketika pemimpin gagal memperhitungkan apa yang penting bagi karyawan dalam merencanakan arah masa depan, hal ini dapat menurunkan moral tim, meningkatkan risiko kehilangan bakat, memperlambat perubahan budaya, dan menghambat penerapan cara kerja baru yang diperlukan untuk mencapai strategi organisasi.

Lebih jauh lagi, tindakan beberapa perusahaan yang menolak untuk menerima Generasi Z (Genzie) menunjukkan tantangan baru dalam gaya kepemimpinan yang mungkin kaku dan tidak responsif terhadap harapan generasi muda saat ini.

Genzie, yang dikenal dengan nilai-nilai kolaboratif dan keinginan untuk terlibat dalam dialog terbuka, seringkali merasa tidak terhubung dengan pemimpin yang tidak mau bercerita atau berbagi visi dengan cara yang inspiratif.

Ketidakselarasan ini dapat menyebabkan keterlibatan yang lemah dan keinginan untuk meninggalkan pekerjaan, karena generasi ini mengharapkan gaya kepemimpinan yang lebih inklusif dan berbasis cerita.

Oleh karena itu, alih-alih menolak menerima Gen Z sebagai pekerja, perusahaan perlu mencoba mengubah gaya kepemimpinan konvensional yang kaku menjadi gaya kepemimpinan yang sesuai dengan masanya, mengedepankan pendekatan storytelling.

Steve Jobs dan Seni Bercerita yang Menginspirasi

Jobs adalah contoh pemimpin yang berhasil menghubungkan teknologi dengan kehidupan sehari-hari melalui cerita yang relevan dan emosional. Ia tahu bahwa cerita adalah alat yang ampuh untuk menyampaikan visi besar dengan cara yang tidak hanya mudah diingat, tetapi juga menyentuh emosi audiens.

Dengan storytelling, Jobs menyederhanakan pesan yang kompleks sehingga dapat diakses dan dipahami oleh semua orang.

Dalam setiap peluncuran produk, Jobs tidak hanya berbicara tentang teknologi tetapi juga menempatkan inovasi sebagai bagian dari pengalaman hidup para penggunanya. Dengan begitu, karyawan dan audiens merasa terlibat secara pribadi dalam visi Apple, yang kemudian membangkitkan komitmen kuat terhadap merek dan produk.

Hal tersebut adalah pendekatan yang sangat relevan bagi para pemimpin masa kini yang ingin menginspirasi tim mereka, terlebih di tengah rendahnya tingkat employee engagement yang dialami oleh banyak organisasi saat ini.

Memanfaatkan Storytelling untuk Return on Inspiration

Di era digital yang cepat berubah, keterikatan emosional karyawan dengan visi perusahaan telah menjadi salah satu kunci keberhasilan organisasi. Return on inspiration (ROI) atau laba atas inspirasi adalah hasil dari keberhasilan pemimpin dalam membangun keterhubungan emosional, yang menciptakan semangat dan aksi nyata di kalangan karyawan.

Penelitian menunjukkan bahwa storytelling yang efektif dapat menciptakan ikatan emosional antara pemimpin dan karyawan, sehingga mereka merasa terlibat dan terinspirasi untuk mewujudkan visi yang disampaikan.

Sebagai contoh, CEO sebuah perusahaan teknologi yang berfokus pada narasi bisnis konvensional mungkin tidak akan mampu menghidupkan visi di benak karyawannya. Namun, jika mereka mulai berbagi cerita yang relevan dengan perjuangan dan aspirasi karyawan, tim akan lebih mudah merasa terhubung secara emosional dengan perubahan yang diperlukan.

Mengadaptasi Gaya Kepemimpinan Bercerita Steve Jobs di Indonesia

Meski tidak semua pemimpin harus meniru gaya Jobs sepenuhnya, mereka bisa mengambil pelajaran dari prinsip-prinsip utamanya, yaitu otentisitas, empati, dan fokus pada apa yang relevan bagi audiens.

Di Indonesia, adaptasi storytelling dapat dilakukan dengan pendekatan yang lebih bersahaja, berempati, dan disesuaikan dengan nilai budaya lokal. Para pemimpin bisa memulai dengan:

  1. Memahami Aspirasi dan Kebutuhan Karyawan: Cerita yang baik dimulai dari pemahaman terhadap kebutuhan, harapan, dan kekhawatiran karyawan. Saat pemimpin menyampaikan visi yang relevan dengan realitas dan aspirasi tim, keterlibatan pun akan meningkat.
  2. Menyampaikan Narasi yang Beragam dan Tepat Sasaran: Jobs sering kali menyesuaikan pesan berdasarkan relevansi audiensnya. Hal ini juga dapat diterapkan oleh pemimpin di Indonesia, misalnya, dengan menyesuaikan narasi bagi tim operasional dan tim inovasi sesuai dengan peran dan tanggung jawab mereka.
  3. Menghubungkan Tujuan Bisnis dengan Kehidupan Sehari-hari: Seperti Jobs yang selalu mengaitkan teknologi Apple dengan pengalaman hidup penggunanya, pemimpin Indonesia dapat menghubungkan visi perusahaan dengan nilai-nilai budaya seperti gotong royong atau kesederhanaan, sehingga tim merasa lebih dekat dengan tujuan organisasi.

Menjembatani Kesenjangan dengan Narasi yang Bermakna

Dalam storytelling, pemimpin berperan sebagai jembatan antara kondisi karyawan saat ini dan arah yang diharapkan di masa depan. Cerita yang bermakna dapat membantu karyawan merasa bahwa perubahan yang terjadi sejalan dengan aspirasi dan harapan mereka.

Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal
Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal

Misalnya, CEO yang melibatkan karyawan dalam dialog terbuka terkait perubahan perusahaan akan lebih berhasil membangun rasa memiliki dan keterikatan tim terhadap tujuan organisasi.

Otentisitas dan Kejujuran dalam Kepemimpinan Bercerita

Storytelling yang efektif bukan hanya tentang teknik menyampaikan pesan, tetapi juga mencakup kejujuran dan keberanian pemimpin dalam menunjukkan sisi otentiknya.

Jobs tidak ragu menunjukkan antusiasme, harapan, bahkan kerentanannya saat berbicara mengenai visi besar Apple kepada dunia. Pemimpin di era modern juga diharapkan memiliki otentisitas dan keterbukaan serupa agar dapat memenangkan hati tim mereka.

Selain itu, elemen-elemen komunikasi seperti citra, metafora, dan anekdot bisa menjadi bagian penting dalam storytelling, membantu audiens memahami pesan dengan cara yang lebih visual dan mudah diingat.

Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal
Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal

Pemimpin bisa menambahkan anekdot atau cerita tentang awal mula perjuangan organisasi untuk menginspirasi dan memberikan motivasi kepada timnya.

Kesimpulan: Merangkul Gaya Kepemimpinan Bercerita untuk Inspirasi yang Berkelanjutan

Pendekatan storytelling ala Steve Jobs telah menunjukkan betapa kuatnya pengaruh cerita dalam membentuk budaya dan keterlibatan tim. Di Indonesia, pemimpin yang mengadopsi storytelling untuk menyampaikan visi dan nilai organisasi akan mendapatkan manfaat besar, baik dalam membangun keterlibatan karyawan maupun dalam mencapai tujuan perusahaan.

Bagi pemimpin yang ingin membangkitkan inspirasi di era modern, menghidupkan cerita yang relevan dan otentik adalah langkah penting. Storytelling memberikan kesempatan untuk menyentuh hati karyawan, membangun kepercayaan, dan menciptakan motivasi yang bertahan lama.

Jika dikelola dengan baik, gaya kepemimpinan bercerita ini akan menjadi investasi berharga untuk menciptakan return on inspiration yang tinggi di tengah era ketidakpastian ini.

Penulis: Merza Gamal (Advisor & Konsultan Transformasi Corporate Culture)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun