Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Perbedaan Fenomena Doom Spending di Indonesia dan Amerika

4 Oktober 2024   09:47 Diperbarui: 4 Oktober 2024   10:17 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kecemasan dan Ketidakpastian Ekonomi Mendorong Doom Spending yang Membuat Semakin Terpuruk

Dalam situasi ekonomi yang penuh ketidakpastian, banyak orang justru terjebak dalam perilaku yang tidak rasional, belanja impulsif atau "doom spending". Doom spending secara bahasa bermakna "pengeluaran untuk bencana".

Fenomena ini terjadi ketika seseorang menghabiskan uang secara berlebihan sebagai pelarian emosional dari tekanan atau kecemasan finansial, meskipun mereka sadar akan kondisi ekonomi yang memburuk.

Perilaku doom spending semakin sering terlihat di berbagai negara, termasuk di Amerika Serikat dan Indonesia, terutama di kalangan generasi muda seperti Generasi Z dan milenial, dan juga terjadi pada sebagian Gen X.

Sebuah studi pada tahun 2023 oleh Qualtrics yang bekerja sama dengan Intuit Credit Karma menemukan bahwa orang-orang yang merasa tekanan finansial, seperti tidak mampu membayar tagihan atau kesulitan menabung, cenderung memilih pengeluaran impulsif sebagai bentuk pelarian.

Kondisi tersebut mirip dengan pola perilaku seseorang yang mengalami stres tinggi dan mencari kepuasan instan, meskipun itu berarti harus mengorbankan tujuan finansial jangka panjang.

Kondisi ini semakin lazim di Amerika Serikat. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa hampir 96% warga Amerika mengaku khawatir tentang situasi ekonomi saat ini, dan dua per tiga menyatakan kekhawatiran tersebut memicu kecemasan.

Inflasi yang meningkat, ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar, dan beban utang adalah beberapa faktor utama yang berperan. Sebagai contoh, biaya hidup di AS meningkat sebesar 20,8% sejak 2020, yang semakin membuat banyak orang merasa tertekan secara finansial.

Lingkaran Setan Pengeluaran Impulsif

Menurut Kendall Meade, seorang perencana keuangan, inflasi yang tidak terkendali membuat orang merasa kehilangan kendali atas keuangan mereka, memaksa mereka untuk mengabaikan rencana keuangan jangka panjang dan hanya berfokus pada cara bertahan hidup.

Meskipun begitu, dorongan untuk sesekali menikmati hidup membuat mereka mengeluarkan uang lebih banyak, meskipun mereka sadar itu memperburuk kondisi finansial mereka.

Selain inflasi, utang kartu kredit dan suku bunga yang meningkat juga memperparah masalah. Pembayaran utang terus menyerap pendapatan yang seharusnya bisa dialokasikan untuk tabungan atau kebutuhan dasar lainnya.

Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal diolah dengan Copilot.Microsof.AI
Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal diolah dengan Copilot.Microsof.AI

Hal ini diperparah oleh media sosial, yang meningkatkan fenomena FOMO (Fear of Missing Out). Menurut Cameron Burskey, media sosial menampilkan gaya hidup mewah yang membuat orang merasa tertinggal jika tidak ikut terlibat, mendorong mereka untuk membelanjakan uang meski itu tidak sesuai dengan kemampuan mereka.

Dampak Media Sosial dan Budaya Konsumtif di Indonesia

Fenomena doom spending tidak hanya terjadi di Amerika, tetapi juga mulai tampak di Indonesia, meskipun dengan konteks yang sedikit berbeda. Di Indonesia, inflasi, tekanan media sosial, dan budaya konsumtif juga menjadi pemicu utama doom spending di kalangan generasi muda.

Sama seperti di Amerika, inflasi di Indonesia menyebabkan banyak orang merasa kewalahan. Kenaikan harga kebutuhan pokok dan energi, seperti BBM dan listrik, memaksa generasi muda mengorbankan tabungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, belanja impulsif tetap dilakukan untuk "melepaskan stres" dari tekanan ekonomi yang menghimpit.

Media sosial juga menjadi faktor kuat di Indonesia. Gaya hidup mewah yang dipamerkan di platform seperti Instagram dan TikTok menciptakan dorongan kuat bagi anak muda untuk "mengikuti tren", meskipun kemampuan finansial mereka terbatas. FOMO dan tekanan sosial untuk selalu tampil trendi mendorong banyak orang melakukan pengeluaran yang seharusnya bisa dihindari.

Faktor-faktor Khusus di Indonesia: Literasi Keuangan dan Tekanan Status

Perbedaan mendasar yang terlihat di Indonesia dibandingkan dengan Amerika adalah rendahnya literasi keuangan di kalangan generasi muda.

Meskipun ada kesadaran tentang pentingnya menabung dan mengelola keuangan, pengetahuan praktis tentang cara melakukannya masih terbatas. Akibatnya, pengeluaran impulsif sering kali dilakukan tanpa pertimbangan yang matang, memperburuk kondisi finansial seseorang dalam jangka panjang.

Selain itu, di Indonesia, tekanan sosial dan status memainkan peran penting dalam perilaku doom spending. Barang-barang konsumtif seperti pakaian bermerek atau gadget terbaru sering kali digunakan sebagai simbol status sosial, mendorong orang untuk membeli barang-barang mewah agar dianggap "berada" atau mengikuti tren.

Promosi agresif dari e-commerce dan marketplace online, seperti flash sale atau diskon besar-besaran, semakin memudahkan orang untuk berbelanja tanpa banyak berpikir.

Mengatasi Doom Spending: Pendidikan dan Kesadaran Finansial

Menghadapi fenomena ini, penting untuk meningkatkan literasi keuangan di kalangan masyarakat, terutama generasi muda. Mereka perlu memahami pentingnya menabung, mengelola anggaran, dan menahan diri dari pengeluaran impulsif yang tidak perlu.

Hal ini bisa dimulai dengan edukasi yang lebih intensif melalui sekolah, kampanye publik, serta program-program peningkatan kesadaran finansial yang mudah diakses.

Selain itu, membangun kesadaran bahwa tidak perlu mengikuti tren konsumtif yang dipamerkan di media sosial bisa membantu generasi muda untuk lebih bijaksana dalam mengelola keuangan mereka.

Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal diolah dengan Copilot.Microsof.AI
Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal diolah dengan Copilot.Microsof.AI

Menumbuhkan mindset bahwa menabung dan investasi untuk masa depan lebih penting daripada pembelian barang-barang konsumtif yang sifatnya sementara dapat menjadi langkah awal yang signifikan.

Penutup

Doom spending, meskipun tampak sebagai solusi sementara untuk menghadapi tekanan emosional akibat ketidakpastian ekonomi, pada akhirnya hanya akan memperburuk situasi finansial seseorang.

Bagi generasi muda, baik di Amerika maupun Indonesia, penting untuk memahami bahwa pengeluaran impulsif sebagai pelarian dari stres dapat berdampak buruk jangka panjang.

Dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi, meningkatkan literasi keuangan dan membuat keputusan yang bijak adalah kunci untuk menghindari jebakan doom spending yang bisa membuat masa depan semakin suram.

Penulis: Merza Gamal (Pemerhati Sosial Ekonomi Syariah)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun