Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Perbedaan Fenomena Doom Spending di Indonesia dan Amerika

4 Oktober 2024   09:47 Diperbarui: 4 Oktober 2024   10:17 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dampak Media Sosial dan Budaya Konsumtif di Indonesia

Fenomena doom spending tidak hanya terjadi di Amerika, tetapi juga mulai tampak di Indonesia, meskipun dengan konteks yang sedikit berbeda. Di Indonesia, inflasi, tekanan media sosial, dan budaya konsumtif juga menjadi pemicu utama doom spending di kalangan generasi muda.

Sama seperti di Amerika, inflasi di Indonesia menyebabkan banyak orang merasa kewalahan. Kenaikan harga kebutuhan pokok dan energi, seperti BBM dan listrik, memaksa generasi muda mengorbankan tabungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, belanja impulsif tetap dilakukan untuk "melepaskan stres" dari tekanan ekonomi yang menghimpit.

Media sosial juga menjadi faktor kuat di Indonesia. Gaya hidup mewah yang dipamerkan di platform seperti Instagram dan TikTok menciptakan dorongan kuat bagi anak muda untuk "mengikuti tren", meskipun kemampuan finansial mereka terbatas. FOMO dan tekanan sosial untuk selalu tampil trendi mendorong banyak orang melakukan pengeluaran yang seharusnya bisa dihindari.

Faktor-faktor Khusus di Indonesia: Literasi Keuangan dan Tekanan Status

Perbedaan mendasar yang terlihat di Indonesia dibandingkan dengan Amerika adalah rendahnya literasi keuangan di kalangan generasi muda.

Meskipun ada kesadaran tentang pentingnya menabung dan mengelola keuangan, pengetahuan praktis tentang cara melakukannya masih terbatas. Akibatnya, pengeluaran impulsif sering kali dilakukan tanpa pertimbangan yang matang, memperburuk kondisi finansial seseorang dalam jangka panjang.

Selain itu, di Indonesia, tekanan sosial dan status memainkan peran penting dalam perilaku doom spending. Barang-barang konsumtif seperti pakaian bermerek atau gadget terbaru sering kali digunakan sebagai simbol status sosial, mendorong orang untuk membeli barang-barang mewah agar dianggap "berada" atau mengikuti tren.

Promosi agresif dari e-commerce dan marketplace online, seperti flash sale atau diskon besar-besaran, semakin memudahkan orang untuk berbelanja tanpa banyak berpikir.

Mengatasi Doom Spending: Pendidikan dan Kesadaran Finansial

Menghadapi fenomena ini, penting untuk meningkatkan literasi keuangan di kalangan masyarakat, terutama generasi muda. Mereka perlu memahami pentingnya menabung, mengelola anggaran, dan menahan diri dari pengeluaran impulsif yang tidak perlu.

Hal ini bisa dimulai dengan edukasi yang lebih intensif melalui sekolah, kampanye publik, serta program-program peningkatan kesadaran finansial yang mudah diakses.

Selain itu, membangun kesadaran bahwa tidak perlu mengikuti tren konsumtif yang dipamerkan di media sosial bisa membantu generasi muda untuk lebih bijaksana dalam mengelola keuangan mereka.

Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal diolah dengan Copilot.Microsof.AI
Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal diolah dengan Copilot.Microsof.AI

Menumbuhkan mindset bahwa menabung dan investasi untuk masa depan lebih penting daripada pembelian barang-barang konsumtif yang sifatnya sementara dapat menjadi langkah awal yang signifikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun